8

1.9K 368 173
                                    

"Hahahahahahahahaha!"

Wajah Dimitri sudah benar-benar tertekuk sempurna sekarang, berbanding terbalik dengan sosok yang kini suaranya tengah menggema memenuhi seisi ruangan. Sudah nyaris 5 menit berlalu dan Edith masih belum berhenti tertawa. Bahkan ketika tawanya diinterupsi batuk panjang sekalipun, perempuan itu sama sekali tidak menyerah, masih sangat bernafsu menertawakan kalimat terakhirnya.

"Awas kotak ketawa lo rusak," sungut Dimitri.

"Gue bukan penduduk Bikin Bottom, Dimi. Gue nggak punya kotak ketawa." Edith kembali melanjutkan tawanya setelah membalas sungutan Dimitri. Barulah ketika perut dan tulang pipinya sudah sakit sekali, dia akhirnya menghela napas panjang, menahan udara yang mengisi rongga dadanya sejenak sambil menyeka ujung matanya yang berair kemudian mengembuskannya perlahan. Edith lalu menyusul Dimitri yang sudah melantai sejak tadi, ikut duduk bersila di hadapan laki-laki itu. "Nice try. Makasih buat hiburannya pagi ini."

"Lo nggak nganggap gue serius, ya?"

"Hn? Emangnya lo serius?"

"Tck, ya iyyalah!" Dimitri berdecak sambil menopang wajahnya dengan satu tangan, sama sekali tidak berniat menyembunyikan kekesalannya pada perempuan di hadapannya. Siapa sangka sosok yang 3 jam lalu dia kira sudah sekarat sekarang bisa menertawakannya sebegini hebat? Sia-sia semua kekhawatirannya berjam-jam yang lalu.

"Loh, loh? Kok nyolot?"

Dua bola mata Dimitri berotasi. "Gue paling anti sama yang namanya mempermalukan diri sendiri. Gue bisa putar badan dan langsung keluar di detik pertama lo ketawa kalau gue mau. Tapi gue nggak ngelakuin hal itu dan malah menunggu sampai lo selesai. Jadi, sampai sini ada yang kurang jelas, Edith Seraphim?"

"Heeeee, gitu, ya?" Edith mengerutkan dagu sambil mengamati Dimitri, bertingkah seolah-olah baru mendapat informasi yang penting. Ketika dia tidak mendapat perubahan ekspresi dari Dimitri, akhirnya Edith menyunggingkan senyum tulusnya. "Iya, iya. Gue minta maaf, deh. Gue nggak ada maksud jelek kok, Dimi. Jangan galak-galak gitu. Gue kan nggak tau."

"Kalau nggak tau itu nanya, bukannya ketawa."

"Ya abisnya lo lucu gimana, dong?"

"Gue nggak ngelucu."

"Gue juga nggak bilang tadi lo ngelucu, Dimi. Gue bilang, lo lucu." Edith beringsut mendekat lalu menopang wajahnya dengan kedua tangan. "Sebelumnya gue udah bilang kalau gue nggak keberatan buat jawab pertanyaan tentang keadaan gue nggak peduli siapa pun yang bertanya, tapi lo tetap memilih buat ngasih jawaban seperti itu. Padahal gue tau kalau buat lo, pasti nggak gampang buat ngomong kayak gitu. Jadi makasih. Gue sangat menghargai usaha lo tadi. Tapi belum terlambat kok kalau lo mau narik kata-kata lo—"

"Kenapa harus ditarik?" potong Dimitri, yang lantas membuat kedua alis Edith meninggi. "Kenapa lo berpikir gue mau menarik kata-kata gue tadi?"

"Ng ... karena ..." Edith menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Karena kalau yang gue pahami, omongan lo itu seperti mengatakan kalau setelah lo ngambil jaket dan earphone yang semalam lo pinjamin ke gue, kita masih bakal ketemu lagi. Padahal kan—"

"Emang begitu."

"E-eh?"

"Kenapa? Lo nggak berpikir begitu?"

"Ng ... nggak?"

"Kenapa?"

"Ng ... karena ... begitu?"

Dimitri mendengus geli. "Bego."

Edith sontak melotot, tidak terima dikatai seperti itu oleh orang yang tidak tahu apa-apa tentangnya. Tapi belum sempat dia melayangkan bentuk ketidaksetujuan, Dimitri sudah memotongnya dengan mengangkat satu tangan, mengisyaratkan bahwa dia belum selesai.

Candle LightWhere stories live. Discover now