12

1.7K 255 103
                                    

Sewaktu mengantar Edith pulang sehabis makan malam di rumahnya, Dimitri yakin dia sudah membuat keputusan yang benar. Dia mengucapkan semuanya dalam keadaan sadar. Tidak ada keraguan dan tidak ada pikiran akan kemungkinan timbulnya penyesalan. Lagi pula, mau dipikir berapa kali pun, tidak ada yang salah dengan apa yang terjadi hari itu.

Dimitri memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Edith. Keadaan bangunan itu masih sama seperti saat sebelum mereka tinggalkan beberapa jam yang lalu. Belum tampak adanya tanda-tanda kehadiran yang baru.

"Kayaknya belum ada orang," ucap Dimitri.

"Emang belum. Kan tadi gue bilang orang tua gue baru bakal tiba tengah malam, sedangkan sekarang belum tengah malam."

Dimitri melirik jam mobil yang menunjukkan pukul 22.00. Masih lama, pikirnya. "Kalau gitu gue temenin sampai orang tua lo datang, ya?"

"Eh?" Edith mengerjap, lalu menggeleng. "Nggak usah, Dim. Gue nggak apa-apa, kok. Lagian ini bukan pertama kalinya gue sendirian di rumah."

"Tapi ini pertama kalinya lo sendirian di rumah sejak lo kenal gue. Emangnya masuk akal kalau gue ninggalin lo dalam keadaan tanpa penjagaan?"

"Emm, masuk-masuk aja, tuh?"

Dimitri menghela napas. "Nggak masuk akal, Dith," katanya. "Nggak ada yang mengharapkan hal buruk terjadi, tapi nggak ada yang bisa nebak juga rencana Tuhan ke depannya bakal gimana. Kita cuma bisa mengantisipasi. Dan bentuk antisipasi itu adalah dengan gue nggak meninggalkan lo sendirian di rumah. Jadi gue temenin. Ya?"

Edith tersenyum, tapi dia masih menggeleng. "Dimi, di jaman sekarang ini udah ada alat komunikasi canggih bernama handphone. Kan lo sendiri yang nyuruh gue beli. Sayang dong, kalau nggak dipake? Jadi sekarang, mending lo pulang ke rumah dengan tenang, terus istirahat. Besok masih harus kuliah, kan? Kalau ada apa-apa gue bakal kabarin lo, kok."

Sejujurnya, Dimitri masih sangsi. Tapi mau bagaimana lagi? "Bener, ya? Pokoknya lo janji sama gue, kalau ada apa-apa, lo harus bilang sama gue. Kalau nggak ada apa-apa dan orang tua lo tiba dengan selamat juga lo tetap harus bilang sama gue. Nggak usah pikirin jamnya. Mau tengah malam, dini hari, atau subuh sekalipun, hubungin aja. Pasti gue respons. Gue nggak terima penolakan. Oke?"

Kembali Edith mengerjap, lalu berakhir tertawa pelan. "Iya, Dimi. Iyaaa. Ya ampun, Tuhan. Lo segitu takutnya ya gue kenapa-napa?"

Dimitri hanya diam, tidak membiarkan Edith tahu kalau dalam hati, dia mengiyakan tuduhan perempuan itu.

Iya, Dith. Gue segitu takutnya. Makanya jangan kenapa-napa.

Malam itu, Edith menepati janjinya. Dia menghubungi Dimitri ketika orang tuanya sudah di rumah meski hari sudah berganti dan jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Edith juga mengirim video singkat berdurasi 5 detik yang menampilkan kedua orang tuanya tengah berjalan keluar dari kamarnya. Terakhir, Edith mengirim foto dirinya yang sudah dibalut selimut hingga di bawah mata. Konten-konten yang Edith kirim tanpa diminta itu, entah dia sadari atau tidak, telah memberi ketenangan dan kesenangan sendiri pada Dimitri sebelum dia menjemput mimpinya.

Tapi kejadian manis itu hanya terjadi sekali. Keesokan harinya, kabar dari Edith justru membuat Dimitri mengerutkan dahi. Dia sedang mengerjakan tugas yang mengharuskannya begadang ketika panggilan dari Edith masuk pukul setengah 2 pagi.

"Dim, gue pengen pelihara ikan pari."

"Gue juga."

"Pengen pelihara ikan pari?"

"Pengen lo tidur."

"Eish! Lo tuh, ya!"

Lalu hari selanjutnya, pukul 3 pagi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 26, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Candle LightWhere stories live. Discover now