Satu

670 91 63
                                    

"Meyra Fahrani! Ayah enggak pernah ngajarin kamu buat jadi pembangkang ya!" Suara pria baya dengan intonasi tinggi menggema di ruang keluarga. Itu adalah suara Kendra, ayah Meyra, yang kini tengah menahan geram melihat reaksi sang anak tentang niat perjodohan yang telah ia rancang bersama sahabatnya sejak dahulu.

"Sudah, Yah. Kalau Meyra enggak mau ya jangan dipaksa." Suara lembut seorang wanita membelanya. Artha, ibu Meyra berusaha menenangkan suaminya.

"Meyra tetep enggak mau, Yah. Siapa sih dia mau dijodohkan sama Mey?" Meyra memutar bola matanya malas.

Baginya sangat tidak "elit" ketika dia harus menerima perjodohan yang diajukan ayahnya. Dia sudah 25 tahun dan merasa bisa mencari jodohnya sendiri. Lagian diluar sana banyak laki-laki romantis yang mau sama dia. Bukan laki-laki "kulkas" seperti Ammar.

Ammar Syauki adalah putra dari sahabat ayahnya sejak kecil. Meyra mengenal pasti sosok Ammar karena mau tidak mau mereka sering berinteraksi sejak kecil. Pria kaku dan pendiam, yang bagi Meyra tidak ada manis-manisnya sama sekali. Iya sih wajahnya lumayan tampan, terpaksa Meyra akui itu.

Jangan mengira jika saat ini Meyra sedang bersimpu memohon belas kasih sang ayah, justru kini gadis itu tengah duduk santai memoles kutek pada kuku jari tangannya sendiri di ujung sofa.

"Pokoknya Ayah tidak mau tau, pertemuan keluarga akan segera kita laksanakan. Suka tidak suka, jaga sikap kamu Maeyra." Sang ayah bangkit meninggalkan ruang keluarga begitu saja.

Meyra hanya mengendikkan bahu, melanjutkan kembali polesan kukunya yang sempat terhenti sejenak, seolah tidak terjadi apapun. Dia yakin sang ayah tidak akan sungguh-sungguh dengan ucapannya, sama seperti saat ayahnya meminta untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri namun Meyra lebih memilih melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi tak jauh dari rumahnya dengan alasan agar bisa merasakan masakan ibunya setiap hari. Sungguh ajaib.

Begitulah Meyra, terkadang hanya dia yang tau alasan sebenarnya di balik alasan konyol yang sering ia buat. Sebanyak ia membantah aturan ayahnya, pada akhirnya justru ayahnya selalu dibuat tak berkutik olehnya.

***

"Bagaimana Ammar? Kamu mau?" Suara Angkasa bertanya setelah menjelaskan tentang rencana perjodohan Ammar.

"Terserah Papa," jawab Ammar yang kala itu tengah bersiap berdiri dan melangkahkan kaki menuju ruang kerjanya.

"Sebaiknya kita segera mendatangi Kendra untuk meminang Meyra." Rina hanya menganggukkan kepala mendengar keputusan suaminya.

***

Suasana hangat tampak di ruang makan. Tentunya hanya para orang tua yang mendominasi percakapan. Kali ini setelah acara makan malam bersama, suasana terkesan lebih formal dari sebelumnya.

"Ken, kedatanganku kemari sebenarnya ingin melanjutkan rencana kita. Bagaimana dengan keputusanmu?" Angkasa memulai pembicaraan.

"Kita lanjutkan saja. Berikan waktu satu bulan untuk mendekatkan mereka, meski sebenarnya mereka sudah saling kenal." Kendra terkekeh.

"Tap.." Artha menahan lengan anaknya dan mencubit pelan saat menyadari Meyra hendak melakukan protes.

Meyra melirik kesal pada ibunya, kenapa dia harus menerima Ammar? Ah, melayang sudah angannya untuk mendapatkan lamaran romantis.

"Ammar, Meyra. Sepertinya kalian butuh waktu bicara berdua. Mey, ajak Ammar ke taman belakang. Selesaikan semua ganjalan kalian, karena setelah satu bulan kalian akan menjadi suami-istri." Kendra memberi kode agar Meyra segera beranjak.

Meyra nampak terpaksa beranjak, dia tak peduli apakah Ammar akan mengikutinya atau tidak. Pria itu bagi Meyra terlalu membosankan. Pria yang sangat irit bicara. Tidak bisa dia banyangkan jika dia dan Ammar benar-benar menikah.

***

Gazebo malam ini berbalut keremangan dari cahaya lampu. Ammar dan Meyra duduk bersisihan tanpa ada yang membuka suara. Hingga Ammar melakukan pergerakan seperti mencari sesuatu dari sakunya. Kemudian mengulurkan kotak kecil yang terbuka dihadapan Meyra seraya berkata, "Kita menikah."

Meyra hanya memandang Ammar dan cincin di depannya secara bergantian. Lamaran??

Ini seperti kesepakatan, bukan lamaran. Oh Tuhan, mimpi apa aku dijodohin sama dia. Batin Meyra mencibir.

...

Lanjut?? Nggak??

Romantis MinimalisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang