Dua

476 63 29
                                    

Sebulan waktu yang diberikan ayahnya berlalu begitu cepat. Padahal Meyra malah berharap jika waktunya melambat saja. Ia tidak siap, bahkan Ammar pun ia rasa tak menunjukkan kemajuan sama sekali ketika bersamanya. Bukan menyelesaikan ganjalan, tapi semakin banyak ganjalan dalam hati Meyra.

"Mey, kenapa manyun gitu sih?" Artha heran melihat anaknya berubah uring-uringan pagi ini saat menyiapkan sarapan.

"Bun, Bisa enggak kalau recana Ayah sama Om Angkasa dibatalin aja? Atau ... Bunda sama Ayah punya anak lagi deh, biar si Ammar sama adiknya Meyra aja nikahnya." Meyra berujar antusias di akhir kalimatnya yang langsung dihadiahi Artha sebuah tepukan ringan di mulut cerewet putri semata wayangnya itu.

"Sembarangan kamu. Bunda tuh cocoknya punya cucu, bukan punya anak bayi. Lagian, apa salahnya sih sama Ammar? Dia itu anak baik, ibadahnya juga bagus, udah gitu mapan dan sopan sama orang tua. Apa kurangnya coba? Yang ada malah beruntung kamu dapat suami kayak dia." Artha melanjutkan menata sarapan pagi itu di atas meja.

"Kurang anget, kurang santai dan kurang senyum. Yang jelas dia kayak orang kurang piknik, kaku kayak papan. Emang enggak ada yang lain apa, Bun? Meyra bisa kok cari yang lebih baik dari dia." Meyra yang semula ikut menata sarapan kini duduk menghadap bundanya mencoba bernegosiasi.

"Suka nggak suka, mau nggak mau, kamu cuma Ayah ijinin nikah sama Ammar. Nggak ada laki-laki yang pantas buat kamu selain dia. Sudah, sana mandi. Meeting dimulai pukul delapan, dan Ayah tetep akan kasih sanksi jika kamu telat, meski kamu anak Ayah sendiri." Belum Meyra melanjutkan obrolannya dengan sang ibu, Kendra datang menyela keduanya, dengan setelan kemeja yang telah rapi dan duduk di tempatnya.

"Tapi, Yah..., "

"Lima belas menit, Ayah tunggu. Kalau kamu belum selesai juga, siap-siap aja ke kantor naik angkutan umum. Ayah enggak mau telat cuma buat denger omongan nggak faedah kamu." Kendra menyeruput kopi yang telah disiapkan Artha di atas meja.

Mendengar ucapan Ayahnya, Meyra segera bergegas masuk ke kamarnya untuk bersiap, gila aja dia mesti naik angkutan umum di hari senin padat begini. Auto kena hukum yang ada kalau sampai telat datang meeting pagi di kantor.

***

Entah apa yang terjadi dalam mimpi Meyra semalam. Saat makan siang, tiba-tiba Amar datang dan membuat mereka terdampar dalam kawasan butik yang lumayan elit. Awalnya Meyra berusaha menolak, namun ucapan Ayahnya membuat dia sama sekali tidak bisa berkutik.

"Kalau kamu cuma mau nikah di kantor KUA, Ayah sih nggak keberatan kalau kamu mau pakai baju mama sewaktu nikah dulu, masih mama simpen tuh ada di rumah. Lumayan lah Ayah enggak perlu repot." Ayahnya berujar santai saat mendengar penolakan Meyra ketika Ammar membawa Meyra ke ruangan Kendra untuk meminta ijin keluar.

Yang benar saja, apa-apaan ayahnya ini? meski dijodohkan, tapi Meyra kan juga berhak menentukan pernikahan seperti apa yang dia mau.

"Oke, Meyra pergi."

Pada akhirnya Meyra menyerah. Ayahnya tidak pernah bercanda soal apapun meski terkadang ucapannya terdengar santai.

Meyra berbalik keluar tanpa menunggu pergerakan dari Ammar. Bahkan pria itu takengeliarkan sepatah kata pun setelah meminta ijin pada ayahnya.

***

Suasana hening mengiringi sepasang calon pengantin yang sejak tadi sibuk dengan contoh desain masing-masing. Hanya ada satu pegawai laki-laki dan satu pegawai perempuan yang mendampingi mereka untuk sesekali menjelaskan jika diperlukan. Tidak berselang berapa lama, dua orang wanita baya seketika membuat suasana menjadi heboh dengan mulai memilihkan pakaian yang sejak tadi desainnya hanya dilihat tanpa minat oleh keduanya.

"Sayang, kamu coba deh pakai yang ini." Wanita yang merupakan mama dari Ammar, menunjuk seraya mendekatkan sebuah gaun pengantin pada Meyra.

Meyra diam sesaat, kemudian dengan ragu menerima sebuah gaun dan beberapa gaun pilihan mama Ammar dan bundanya untuk dicoba. Dia memang menentang perjodohan ini, tapi dia juga tidak bisa berkutik jika dihadapkan dengan mama Ammar. Wanita itu terlalu baik untuk ia sangkal. Bahkan mama Ammar memperlakukannya dengan sangat baik semenjak Meyra kecil.

Setelah Meyra beberapa kali keluar dengan gaun yang dicoba, rasanya tidak ada satu gaun yang cocok dengan seleranya. Sudah lima gaun, dan Meyra hampir menyerah. Hingga Ammar yang sejak tadi tak bersuara, tiba-tiba berdiri dan mengambil dua buah gaun yang entah kapan disiapkan.

"Pakai ini saja."

Dua buah gaun berbeda warna yang masing-masing memiliki model serta hiasan sama persis seperti yang ia idamkan sedari kecil. Gaun putih model sederhana namun berhias mewah yang membuatnya nampak seperti puteri dalam dongeng yang sering ia baca. Dan gaun lain berwarna biru, salah satu warna yang sangat ia sukai.

Cantik. Meyra terpana sesaat pada dua gaun itu, namun kemudian  berusaha keras menutupi kekagumannya di depan Ammar. Bagaimana pria itu menyiapkan ini? Meyra pernah bahkan sering bercerita pada mama Ammar ketika mereka beberapa kali tidak sengaja bertemu di pesta pernikahan rekan bisnis ayahnya, tentang gaun yang ia inginkan jika ia menikah saat dewasa nanti, namun setiap ia  bercerita, Ammar kecil selalu mengoloknya dengan mengatakan bahwa tidak akan ada yang mau menikah dengan gadis cerewet seperti Meyra kemudian meninggalkan gadis itu tanpa peduli pada rasa jengkel Meyra setelahnya.

"Mey? Mau dicoba dulu enggak?" Suara sang bunda membuat perhatian Meyra pada dua gaun itu teralihkan.

"Kayaknya cocok banget buat Meyra. Kapan kamu nyiapinnya, Mar?" Mama Ammar melihat pada kedua gaun itu kemudian beralih menatap sang anak dengan sorot menggoda Ammar. Tidak ia sangka, sang putera yang selama ini tidak pernah mengurus hal-hal mengenai wanita bisa melakukan sejauh ini.

"Cuma mengira saja." Ammar menjawab singkat kemudian membalikkan badan, menjauh agar Meyra leluasa mencoba gaun pilihannya.

"Apa Bunda bilang, Ammar itu pria yang tepat buat kamu Mey. Udah sana coba."

"Bun..." Meyra sedikit kesal pada ucapan bundanya. Namun hati kecilnya mengakui jika sikap Ammar ternyata diluar prediksi Meyra selama ini.

Dalam ruang ganti ditemani oleh seorang pegawai butik yang membantu Meyra, matanya tak lepas dari pantulan sendiri di cermin. Gaunnya terasa pas di badan, dan Meyra terlihat sangat manis.

"Wah, Mbak cantik banget. Enggak salah Mas Ammar pesen gaun ini dari bulan lalu sampai bolak balik telpon saya buat pastiin kalo pesanannya bisa jadi tepat waktu, ternyata buat orang yang spesial toh," ucap sang pemilik butik sembari merapikan hasil rancangannya agar terlihat lebih rapi dikenakan Meyra.

Mendengar ucapan pemilik butik tersebut, Meyra hanya bisa tersenyum  canggung. Dia tidak mengira jika Ammar diam-diam menyiapkan gaun untuknya. Lantas kenapa pria itu sedari tadi membiarkannya mencoba beberapa gaun jika dia sendiri sudah menyiapkan gaun untuk Meyra?

...

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Sep 11, 2023 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Romantis MinimalisDonde viven las historias. Descúbrelo ahora