EMPAT: REKAM JEJAK I

28 10 0
                                    

Hai, bagi kawan-kawan. Yuk kepoin Instagramku di @wahyuekaputra_. Selamat membaca!

***

Orang bilang, Pijar adalah gambaran perempuan idaman. Olehku menyetujui sekali. Pijar menurut sudut pandangku adalah seorang perempuan yang tidak akan pernah menjadi laki-laki selamanya. Hei, aku serius! Tidak ada alasan, terutama atas laki-laki untuk tidak menyukai perempuan. Dengan keadilan Allah, aku yang penuh kesadaran menyukai perempuan bernama Pijar Auri tanpa harus memberikan komentar.

Iya, katanya mencintai tak butuh alasan. Memang, pada faktanya yang menjadi curiga ialah mencintai seseorang dengan alasan orangnya belum ditemukan.

Selanjutnya, percaya atau tidak, Pijar adalah seorang perempuan yang lucu, lugu, dan berterus terang terhadap apa yang dirasakan; baik dengan ekspresi ataupun ucapan. Pijar tidak peduli sama sekali tentang latar belakangku. Sebab, jika aku bertemu dengannya selalu senyum, tidak marah-marah serta tidak menggondok. Pijar tahu, ke orang lain aku boleh berulah, ke Pijar aku pasti ramah.

Hei, tunggu. Kalau dipikir-pikir, atas dasar apa aku marah ke Pijar? Kalaupun suka mencari bermacam cara agar tidak putus komunikasi serta suka modus. Biarlah menjadi modus dan komunikasi yang paling aku sukai. Lagi, menurutku, baik Pijar atau perempuan lainnya, jika tidak tersenyum dan bahagia hanyalah perumpaan laki-laki yang memakai lace wig panjang.

Diragukan keperempuannya? Aku tidak bilang begitu.

***

Pijar Auri adalah seorang anak dari calon legislatif di kotaku, pada waktunya setahun lalu. Ayahnya seorang yang baik dan ramah. Di waktu-waktu tertentu terkadang juga tidak. Seperti pernah aku bertemu dengannya sewaktu ayahnya masih mengantar Pijar di kelas dua SMA. Di depan gerbang, waktu itu sedang ramai motor dan mobil yang lewat. Ayahnya hendak berpamitan dengan Pijar. Lagaknya, waktu itu, ayahnya hendak kembali ke mobil. Aku dari arah berlawanan datang, berpapasan, aku memanggilnya.

"Assalamu 'alaikum, Ayah!" ucapku, sopan.

Ayah Pijar melihatku. Sedetik kemudian memegang ponselnya kembali. Tidak mengubrisku, atau suaraku tertimpa dengan bunyi kendaraan barusan? Aku tidak tahu. Juga tidak tahu mengapa mengabaikan seseorang yang ingin berkenalan. Ayah Pijar berlalu ke mobil. Aku menyadari, ternyata orang sibuk memang susah untuk diganggu. Bahkan untuk mengabiskan waktu bersama seseorang yang tidak dikenal, bahkan sebatas menjawab salam. Pula, panggilan ayah tidak asal-asal sebut. Barangkali, jika aku memanggilnya Om, ceritanya sedikit berbeda.

"Sangga sih, manggil Ayah!" ucap Rindu, saat aku ceritakan kejadian itu di kedai kopi Raja.

"Lah? Semua laki-laki yang menjadi orang tua dipanggil Ayah!" jawabku. "Apa salahnya?"

"Ya bisa, tapi sebelum menjadi Ayah. Kebanyakan jadi Om dulu, Ga!" pintas Kara.

"Gini, Ga," Raja memotong. "Sederhananya, Ayah Pijar sedang gak punya uang."

"Kok gitu?" kutanya serius.

"Soalnyo, Ga manggia Ayah. Dikiro nio mintak pitih lanjo!" jawab Raja. (Soalnya, Ga manggil Ayah. Dikira mau minta uang jajan!)

"Sial!"

Kara tertawa.

Tapi, ini jujur. Di saat kampanye. Di kesibukannya, ayah Pijar kulihat sangat berbeda. Dia murah senyum. Suka bicara pada siapa yang tidak dia kenal. Barangkali begitu. Pun, aku pernah melihatnya ketika Pandu, tetanggaku yang kebetulan satu sekolahan bicara dengan ayah Pijar.

BUMANTARA (REVISI)Where stories live. Discover now