01. Prolog

3.1K 254 13
                                    

Gladys membuka matanya perlahan-lahan begitu seberkas cahaya mulai mengusik tidur ayam-ayamnya, disusul dengan sebuah tawa renyah yang tiba-tiba saja mengudara dan mengisi keheningan di dalam kamar mereka berdua.

Ya, kamar mereka berdua. Lebih tepatnya lagi kamar Gladys dan Devan, karena mereka berdua sudah menikah.

"Kamu tuh ya!" Gladys melemparkan bantal ke arah Devan yang masih berdiri di dekat jendela dan langsung menangkap bantalnya dengan sigap. "Bener-bener enggak sabaran. Kan aku udah bilang, hari ini aku mau bangun jam sembilan."

Sejak jam enam pagi, Devan selalu saja merecoki Gladys. Meminta dibuatkan sarapan dengan segera, dan melakukan berbagai macam cara agar Gladys memenuhi permintaannya.

"Lama, Dys. Aku udah laper nih." Devan mengusap-ngusap kulit perutnya dengan wajah nelangsa. Ia hanya memakai celana pendek tanpa atasan, karena ia tidak bisa tidur jika tidak bertelanjang dada. Tapi ia tetap memakai baju sebelum benar-benar memejamkan mata.

Gladys yang merasa tidak tega, langsung menyingkirkan selimut dan beranjak dari atas tempat tidur. Ia segera mencepol rambutnya, dan mencuci wajah serta menggosok gigi di wastafel kamar mereka. Setelah menyelesaikan ritual singkatnya, ia mulai berjalan keluar dari kamar diikuti oleh Devan yang mengekor dari arah belakang.

Begitu sampai di area dapur rumah mereka, Gladys langsung menyiapkan semua bahan yang diperlukan karena ia akan membuat nasi goreng untuk bayi besarnya yang saat ini sedang mengoleskan selai kacang ke atas selembar roti tawar.

"Lain kali kalau kamu udah kelaperan, kamu cari aja sarapan di luar." Gladys mulai menggosok-gosok permukaan wajan dengan air mengalir. Padahal wajan itu adalah wajan bersih. Tapi wanita itu memang memiliki kebiasaan yang cukup unik, yaitu selalu menguras peralatan masak yang akan ia gunakan.

Sedangkan Devan yang sedang mengganjal perutnya dengan selembar roti tawar, langsung mendongakkan wajah, menatap Gladys yang tampak sibuk di dekat meja kompor sana. "Aku enggak mau, soalnya aku udah kecanduan sama nasi goreng buatan kamu."

Gladys kontan memutar bola mata begitu mendengarnya.

Devan selalu saja mengatakan kalau dia sudah kecanduan dengan nasi goreng buatan istrinya. Bahkan dia juga pernah bersumbar kalau suatu saat nanti dirinya diPHK, dia ingin mengajak Gladys berjualan nasi goreng saja. Karena nasi goreng buatan Gladys memang juara, buatan ibunya saja kalah.

Dan setelah nasi goreng buatan Gladys terhidang di atas meja, Devan langsung bergerak untuk menyantap nasi gorengnya.

Sedangkan Gladys masih sibuk di dekat kitchen island, membuat susu coklat yang selalu ia konsumsi di pagi hari. Kemudian bel rumah mereka berbunyi tepat setelah Gladys duduk di atas kursi.

"Biar aku aja yang buka pintunya." Devan langsung menawarkan diri, tetapi Gladys melarangnya karena ia masih bertelanjang dada. Sehingga wanita itu yang bergerak menuju ke arah pintu utama rumah mereka.

Begitu pintu rumah sudah terbuka, Gladys kontan menghela napas samar. Ternyata kunjungan dari ibu mertua. Gladys segera menampilkan senyum terbaiknya dan mempersilakan ibunya Devan masuk ke dalam rumah.

"Baru bangun tidur ya?" Tembak Jia sambil mengamati piama bermotif bunga yang masih melekat di tubuh anak menantunya. Padahal ini sudah hampir jam sembilan.

Gladys langsung meringis pelan. "Sebenarnya udah dari tadi, Ma. Tapi aku sama Mas Devan memang sengaja belum mandi."

Jia tampak manggut-manggut. "Dimana Devan?"

"Masih sarapan di meja makan." Gladys menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Mama udah sarapan?"

"Udah." Tapi Jia tetap melangkahkan kakinya ke arah dapur rumah yang selama ini ditempati oleh anak dan menantunya.

"Ngomong-ngomong, kamu udah ‘isi’ belum?" Tanya Jia tak lama kemudian, yang membuat raut wajah Gladys langsung berubah seketika. Untung saja ia berjalan di belakang ibu mertuanya, sehingga wanita paruh baya itu tidak menyadari perubahan di raut wajahnya.

"Belum, Ma."

Jia tidak memberikan tanggapan apa-apa, karena ia tidak ingin putra sulungnya mengetahui topik pembicaraan mereka.

"Loh, Mama? Kok enggak bilang-bilang kalau mau datang?" Tanya Devan dengan dahi yang berkerut dalam. Lalu segera berdiri untuk mencium tangan ibunya.

Jia berdecak kesal. "Memangnya kenapa kalau Mama datang enggak bilang-bilang?"

"Ya ..., enggak kenapa-napa." Devan segera menarikkan kursi agar ibunya bisa duduk di sana. "Aku kan cuma nanya."

"Malam ini kamu ikut makan malam di rumah Mama ya? Udah lama kita enggak makan malam bersama."

Devan langsung melirik Gladys yang sedang membuatkan secangkir teh untuk ibunya. "Iya, aku bakalan makan malam di rumah Mama, sama Gladys juga."

Diam-diam Gladys tersenyum kecil saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut suaminya. Meski begitu, tetap saja ada rasa sesak yang bercokol di dalam dada karena sang Ibu Mertua tidak mengucapkan kata ‘kalian’ saat sedang berbicara dengan putra sulungnya.

Artinya, ibu mertuanya itu tidak mengundang Gladys untuk ikut serta, ‘kan?

Tapi tidak apa-apa, Devan pasti akan tetap mengajak Gladys untuk ikut bersamanya. Karena wanita itu adalah istrinya.

Dan Jia tidak mengatakan apa-apa. Sebelah tangannya malah bergerak untuk mengambil sendok yang berada di tengah-tengah meja, dan mencicipi nasi goreng dari piring anaknya. Harus ia akui kalau masakan Gladys memang tidak pernah mengecewakan. Hanya saja ... Jia mulai menarik napas pelan, istri dari putra sulungnya itu belum juga memberikan keturunan.

***

Repost: 28 Oktober 2020

Because Of You: GladysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang