Nothing

7.4K 1K 108
                                    

Rachel Arumi.

Aku masih berdiri mematung menatap pusara dengan nisan bernama perempuan yang pernah mengejekku begitu rupa.

Aku tidak sendirian, di gandenganku, ada gadis kecil berusia hampir genap lima tahun menatap pusara tersebut dengan datar, tidak ada tangisan atau apapun di matanya, membuat keheningan diantara kami bertiga semakin menjadi.

Ya, kami bertiga, pemakaman mantan menantu presiden ini hanya dihadiri segelintir orang, berita percobaan pembunuhan pada Dokter Aleefa Sengkala Malik yang gagal, membuat para pelayat enggan untuk mengantar jenazah tersangka, termasuk oleh keluarga angkat Rachel Arumi sendiri.

Menyedihkan sekaligus tragis secara bersamaan. Ambisi selalu berakibat buruk, membuat kita kehilangan segalanya dalam sekejap.

Rachel Arumi, kamu mendapatkan suami yang baik, laki-laki yang begitu mencintaimu hingga sulit untuknya berpaling, sekalipun luka menganga telah kau torehkan padanya, kamu mempunyai putri yang begitu cantik, pintar dan lembut tutur katanya, kamu juga mendapatkan mertua yang sempurna, posisimu merupakan idaman seluruh perempuan Di negeri ini, tapi kenapa ambisi membuatmu melupakan syukur.

Kini, semua ambisimu tidak dihentikan siapapun, tapi dihentikan oleh Tuhan secara langsung dengan cara yang begitu tragis. Kamu hendak melenyapkan perempuan yang tengah mengandung, tapi Tuhan justru langsung mengutus malaikat maut untuk menjemputmu.

Tindakan yang begitu tidak manusiawi yang membuatmu mengakhiri hidupmu.

Meninggalkan laki-laki yang masih  terpekur dalam kepedihan atas kepergianmu, terluka saat melihat jenazahmu hancur oleh ulahmu sendiri. Tapi cintanya begitu besar untukmu, membuat seorang laki-laki tangguh sepertinya bisa terpuruk sedemikian rupa.

"Sarach mau pulang, Mbak!" aku mengalihkan perhatianku dari Sandika pada Sarach yang ada disampingku.

Gadis kecil ini tampak begitu datar hingga nyaris ganjil untukku, "Sarach nggak mau nemenin Ayah?"

Sarach menggeleng langsung, membuatku menunduk menyejajarkan diriku pada anak perempuan yang kuasuh ini.

Perlahan kuusap rambut dan wajahnya, Sarach mungkin tidak menangis layaknya anak seusianya, tapi ini justru membuatku semakin khawatir terhadapnya.

"Sarach nggak sedih? Sarach boleh nangis kok sekarang."

Tapi gelengan keras justru kudapatkan darinya, membuatku semakin mengernyit keheranan, "Buat apa Sarach sedih, Ibu juga sudah ninggalin Sarach selama ini. Ibu nggak pernah sayang Sarach. Ibu suka dandanin Sarach yang nggak Sarach suka, Ibu suka ninggalin Sarach sama Mbak Yanti, waktu Ibu pergi, Sarach nggak diajak, Ibu ninggalin Sarach berdua sama Ayah. Mungkin Tuhan lebih sayang Ibu daripada Sarach sama Ayah."

Suara datar Sarach membuat hatiku tercubit, entah sepedih apa yang dikatakan Sarach hingga anak berusia kecil sepertinya bisa mengucapkan kalimat polos bernada menyakitkan ini, rasanya begitu sedih saat sebuah perpisahan membekas begitu dalam memory seorang anak kecil selekat ini.

Sarach memang gadis kecil yang pintar untuk usianya, tapi kepintarannya justru membuatnya mengerti banyak kepedihan yang tidak patut dirasakannya.

Tidak ada yang bisa kulakukan untuk sekarang ini pada Sarach, kecuali hanya membawanya kedalam pelukanku, entah dia mengerti atau tidak, aku ingin Sarach tahu, jika ada aku tempatnya berbagi suka dan duka untuknya.

Karena jika mengharapkan Ayahnya yang akan merangkul dan menenangkannya sekarang ini, itu sangat mustahil terjadi.

Sandika meratapi kepergian Rachel, hingga nyaris lupa dengan orang yang ada disekelilingnya, lupa jika ada Sarach yang juga kehilangan, lupa jika ada aku di dekatnya.

Jelita dan Sandika Tersedia EbookDove le storie prendono vita. Scoprilo ora