DUA PULUH LIMA

6.7K 907 79
                                    

Bayu memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri sambil berkonsentrasi pada lalu lintas Jalan Taman Siswa. Mengemudikan mobil dalam keadaan sakit kepala parah pada jam sibuk di akhir pekan bukanlah hal yang mudah. Para pengendara motor dengan seenaknya menyelinap di sela-sela, sedangkan pengemudi mobil membunyikan klakson bersahut-sahutan.

Sejak bangun pagi Bayu mulai merasa tidak enak badan. Awalnya hanya kepala bagian kiri yang terasa pusing dan tidak butuh waktu lama sakit itu menyebar ke seluruh bagian kepala. Kepalanya terasa berat dan nyut-nyutan. Sesuatu yang sangat jarang dia alami.

Kehujanan dalam kondisi perut kosong dan tubuh kelelahan selepas bermain futsal tak ayal membuatnya tumbang juga. Bayu mengernyit menahan pening. Berapa lama dia kehujanan kemarin malam? Satu jam? Sepertinya lebih.

"Kenapa, Yang? Sakit?" tanya Ayu cemas. Tindakan Bayu memijit pelipisnya tak luput dari pengamatannya, meski dia sedari tadi sibuk dengan ponsel.  "Dari tadi kamu kayak lemas banget."

"Nggak papa. Sedikit pusing, nanti dibawa tidur juga hilang sendiri," jawab Bayu diikuti bersin kencang.

"Kayaknya kamu flu," tukas Ayu seraya menjulurkan tangan, menyentuh dahi Bayu. "Astaga. Badan kamu panas. Kita ke dokter aja ya."

Mobil berbelok memasuki pelataran parkir Prime English. Bayu memarkirkan kendaraan roda empat itu dengan mulus lalu mematikan mesin.

"Nggak usah. Kamu ada les."

"Kan bisa izin nggak masuk. Kondisimu lebih penting daripada les. Ratna juga pasti ngerti kok."

Mendengar nama Ratna disebut, hati Bayu tercubit. Dia kembali teringat penolakan Ratna, kemesraan gadis itu dengan Raja. Bahkan semalam Bayu bermimpi melihat Ratna dicium oleh Raja. Mimpi terburuk yang pernah mampir dalam tidur Bayu.

"Kalau kamu nggak ke dokter, aku nggak bisa tenang. Kamu kan tahu nanti malam aku harus ke Semarang. Aku nggak bisa ngerawat kamu."

Ayu mencoba membujuk. Ini pertama kalinya dia mendapati Bayu sakit yang sialnya terjadi di saat yang tidak tepat. Selepas Magrib, Ayu sekeluarga harus bertolak ke Semarang untuk menghadiri pernikahan salah satu sepupu. Ayu tidak bisa mangkir dari acara tersebut demi merawat Bayu.

"Nanti aku ke dokter sendiri, kalau tambah parah." Mengunjungi dokter pun akan percuma. Hanya buang-buang uang. Bayu benci minum obat. Satu fakta yang tidak Ayu ketahui.

"Jangan gitu, dong. Ke dokter ya, biar dikasih obat supaya cepat sembuh. Biar aku di Semarang nggak kepikiran kondisimu terus."

"Ya udah kita ke dokter." Bayu mengalah, dia sedang tidak ingin berdebat.  "Aku ke dalam dulu, mau ambil sertifikat teman-teman. Bang Gian bilang udah jadi."

"Sekalian aku mau minta izin Ratna. Kita langsung ke klinik aja. Malam Minggu biasanya klinik ramai."

Bayu keluar dari mobil dan mengernyit lama saat denyutan di kepalanya semakin menghebat. Sial, kapan terakhir kalinya dia sakit?

Langkahnya lemas. Bayu ingin segera sampai di ruangan Gian lalu pergi dari sini. Untuk pertama kalinya semenjak tahu Ratna bekerja di PE, Bayu berharap tidak bertemu dengan gadis itu. Namun, semesta memang kerap bergurau dengan keinginan manusia. Saat tidak ingin berjumpa, Bayu justru disuguhi pemandangan Ratna tengah duduk bersebelahan dengan Raja di lobi resepsionis.

"Ratna," panggil Ayu. Gadis itu berlari kecil menghampiri Ratna. Suara ketukan ujung heels-nya pada lantai marmer terdengar nyaring, mengisi udara lobi. "Ratna, aku nggak bisa masuk kelas hari ini. Mau antar Bayu ke klinik," terangnya setelah tiba di hadapan Ratna.

Ratna sontak memperhatikan Bayu yang masih berjalan beberapa meter di belakang Ayu. Ya, lelaki itu tampak pucat dan lesu. Kenapa?  Bukannya Bayu pernah bilang kalau dirinya tidak pernah sakit. "Bayu sakit?"

Tiga Sisi Where stories live. Discover now