05. Ulah Foza

52 5 0
                                    

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Entah sudah berapa menit Foza bertahan di bawah teriknya sinar matahari bersama Jova. Akhirnya desahan panjang pun keluar dari mulut cowok itu setelah merasa kakinya kram.

Foza beranjak berdiri, kedua tangannya berada di pinggang. "Lo mau nungguin kertas itu sampai lebaran gajah?"

Jova hanya mengintip dari balik rambutnya yang terurai tanpa berniat menjawab pertanyaan Foza. Dia menahan kesal sejak cowok itu datang.

"Woy, gue doain bisu beneran tahu rasa lo." Foza mulai naik pitam karena Jova tidak mengindahkan ucapannya. "Lo budek beneran apa pura-pura budek, sih?"

Masih diam, Jova hanya membalik kertas yang dijemurnya agar cepat kering.

"Gue doain lo budek—"

"Kakak, kok, resek banget, sih? Lagian Kakak pikir doa Kakak bakal dikabulin Tuhan gitu?" sentak Jova. Dia tidak kuat lagi menahan kesal karena Foza.

"Lagian lo dari tadi nggak nyahut. Makanya kalau diajak ngomong itu jawab," protesnya dengan intonasi suara yang meninggi.

Jova menatap bayang-bayang Foza sambil mendesis. "Lagian siapa suruh Kakak di sini?"

"Lo mau nunggu kering kertas itu sampai bel masuk bunyi? Udah dekil, bego lagi."

"Lo kenapa, sih?!" Jova mendongak menatap Foza tajam. "Suka banget ngerusuhin hidup gue? Gue salah apa sama lo?!" Suara cewek itu meninggi. Bodo amat dengan sopan santun kalau kakak kelasnya macam Foza begini.

Foza mencondongkan tubuhnya agar semakin dekat menatap Jova. Lalu tawanya meledak tanpa beban. "Gue suka nindas lo," akunya sambil mengacak-acak puncak kepala Jova.

"Biar apa?!" Jova menepis kasar tangan Foza dari kepalanya. Sambil cemberut cewek itu memperbaiki rambutnya yang kusut.

"Biar gue bahagia. Semakin lo sedih, semakin lo sengsara, atau semakin lo nangis, gue semakin senang." Foza menyeringai, seringai yang lebih mirip hantu di mata Jova.

"Nggak waras." Jova menyerah, dia geleng-geleng mendengar alasan Foza yang tidak ada untungnya itu.

Cewek itu kembali menunduk melindungi wajahnya dari paparan sinar matahari. Kalau terus meladeni Foza sepertinya tidak akan ada habisnya, akhirnya dia memilih diam.

"Biar Arion cemburu," lirih Foza pelan agar Jova tidak mendengarnya. Namun, Jova tetap mampu mendengar ucapan Foza itu, meski samar-samar.

"Biar apa?" tanya Jova sambil mengerutkan kening. Dia mendongak lagi menatap Foza, matanya menyipit karena silau.

Foza menunduk menatap wajah Jova. "Eh, lo bisa tambah gosong kalau tetap di sini. Lo bisa keringin itu kertas di kelas," kata Foza mengalihkan pembicaraan dengan dalih memberi saran.

"Sejak kapan lo kasihan sama gue?" tanya Jova ketus. Sepertinya mulai sekarang dia akan selalu ketus di depan Foza, karena semakin diberi hati, maka orang seperti Foza semakin menjadi.

"Kapan gue bilang kasihan sama lo, Dekil?" tanya Foza geregetan.

Tanpa mengucapkan apa pun lagi, Foza mengulurkan tangan meraih kertas-kertas di atas rumput itu. Jova yang kaget akan tingkah tiba-tiba Foza langsung berdiri. Jangan sampai cowok menyebalkan itu membuat bebannya semakin bertambah.

"Mau ngapain? Jangan nambah masalah lagi, deh!" ujar Jova dengan wajah memelas, berharap Foza mengembalikan kertas-kertas itu.

Akan tetapi, bukan Foza namanya kalau tidak membuat masalah dengan Jova. Cowok itu mengangkat tinggi-tinggi tangannya saat Jova ingin mengambil alih kertasnya.

C H E M I S T R Y ✔️ (TAMAT)Where stories live. Discover now