5 | Repaired

275 45 4
                                    

Suara petir memekik di telingaku.

"DAZAI, HENTIKAN!!!"

Tali tambang baru saja akan aku kalungkan di leher, namun tubuhku terlanjur didorong oleh seseorang. Aku tersungkur ke tanah.

Orang itu tak bergeming, aku dapat mendengar napasnya yang terengah-engah.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Dia masih membungkam.

"Kenapa kau mencegahku, Ango?"

Aku bangkit dan menoleh ke Ango, sosok tinggi itu terlihat jauh lebih kurus dari terakhir kali aku melihatnya.

Dua tahun telah berlalu sejak tragedi itu.

Wajahnya tertunduk ke makam Odasaku, nampaknya dia enggan memandangku. Entah karena rasa bersalah atau rasa malu.

Atau, mungkin, keduanya.

"Odasaku yang menyuruhku," jawabnya dengan lemah, suaranya terdengar kering. "Odasaku datang dalam mimpiku semalam."

"Oh, Ango, selama dua tahun dia mendatangiku dalam mimpi. Kau tak perlu bertindak dramatis begini." Ucapku, meremehkannya.

Ango menghela napas panjang.

"Dazai, mengenai hancurnya persahabatan kita bertiga, itu semua salahku."

Oh? Setelah dua tahun kau baru menyadari itu, Ango?

"Aku tahu, meski milyaran kata maaf kuucapkan, kau tak akan pernah memaafkanku."

Betul.

"Karena apa yang telah diperbuat oleh bajingan seperti aku memang tak pantas untuk dimaafkan, aku tahu itu."

Suara Ango melemah, samar-samar kudengar napasnya terputus-putus.

Aku menunduk dalam-dalam, rintikan hujan mulai turun dari langit, membasahi bumi,

Membasahi kami bertiga.

Untuk sesaat, suara hujan yang mengambil alih suasana menyesakkan itu.

Setelah berdiam sejenak, Ango mengangkat wajahnya, menatapku dengan tatapan bersungguh-sungguh.

Aku hampir yakin pria di hadapanku ini menangis. Hanya saja, aku tak bisa membedakan antara air hujan atau air mata yang membasahi wajahnya.

"Berpisah darimu dan Oda bukanlah hal yang mudah bagiku, apalagi setelah aku menyadari kebencianmu padaku yang begitu besar. Namun, aku tak punya pilihan lain, aku mengkhianati persahabatan kita bertiga."

Dia kembali terdiam sejenak, kurasa dia berusaha menegarkan hati.

Tak kusangka dia masih punya hati.

"Dengar, aku tahu kau begitu membenciku, dan aku tak akan memaksamu untuk memaafkanku. Aku tahu kau akan membenciku selamanya. Tapi, Dazai, aku menyadari sesuatu..."

Napasku tercekat.

"Odasaku tak akan menyukai itu."

Hujan sempurna membasahiku dari ujung kepala hingga kaki. Kini, aku pun tak tahu apakah air hujan yang membasahi wajahku, atau air mata.

"Maafkan aku."

Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku yang kelu. Tak kusangka aku sanggup mengatakannya pada Ango.

Karena, jauh di dalam lubuk hatiku, aku memahami Ango, sangat memahaminya.

Dari awal, tujuan dia bergabung dengan Port Mafia adalah karena tugas dari pemerintah. Lalu berteman denganku dan Odasaku adalah takdir.

Takdir yang terukir dengan sangat indah dalam sejarah hidup kami bertiga.

Tapi tugas tetaplah tugas, Ango harus kembali ke pemerintahan, meninggalkanku dan Odasaku.

Selama ini, aku meyakinkan diriku bahwa ini semua adalah salah Ango.

Tapi kini kusadari...

Aku egois.

Ango berdiri mematung, mungkin juga tak menyangka aku akan meminta maaf padanya. "Ini bukan salahmu, Dazai."

Aku menatap iris kelabunya dalam-dalam, "Bukan pula salahmu, memang garis takdir yang telah menetapkan segalanya seperti ini."

"Segala sesuatu yang kujaga, selalu pergi meninggalkanku bahkan sebelum aku sempat menggenggamnya,"

"Odasaku telah pergi, dan tak ada yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan dia ke sini, atau untuk mengembalikan waktu ketika kita duduk bersama di Bar Lupin dan membahas segala sesuatu yang terlintas di benak kita,"

"Tapi, setidaknya aku ingin Odasaku bahagia di atas sana, dan kebahagiaan itu tak akan bisa dia dapatkan jika dia tahu kita tak lagi saling menyapa."

Ango berjalan mendekat, kemudian meletakkan tangan kanannya di bahuku.

"Dazai, aku telah berjanji pada Odasaku di malam kepergiannya, untuk selalu membantumu kapan pun kau membutuhkanku. Sekarang, aku akan membantumu mendapatkan kehidupan yang layak, dan pekerjaan yang pantas."

Aku tersenyum kecut, sambil menggeleng pelan, "Mustahil, Ango. Rekam jejakku dipenuhi darah dan kekerasan, akan sulit bagiku untuk mendapat pekerjaan yang baik."

Lalu, Ango...

Tertawa???

"Kau mengejekku, hah?"

Tangannya mengibas-ibas wajahku, "Dazai, ketahuilah, sejak dua tahun yang lalu saat kau meninggalkan Port Mafia di malam kematian Odasaku, aku langsung mengambil tindakan."

"Tindakan apa?"

"Rekam jejakmu yang kotor itu sudah sempurna kuhapus, sejujurnya butuh waktu yang cukup lama, bahkan proses penghapusannya baru selesai pekan lalu."

"Maksudmu... aku bebas dari kekangan masa laluku?"

Ango mengangguk dengan senyuman meyakinkan.

Aku.. bebas?

Odasaku, kau dengar itu? Aku bebas!

"Kalau begitu, aku butuh pekerjaan itu secepatnya!" Seruku dengan antusias.

"Baik, baik. Memangnya, pekerjaan seperti apa yang kau inginkan?"

"Apa saja, asalkan aku bisa menolong orang lain."

KINTSUKUROI - Bungou Stray Dogs FanfictionWhere stories live. Discover now