01. New house

86 18 46
                                    

"Bun, Ameena sekolahnya di sekolah biasa aja ya, jangan yang elite. Biayanya pasti mahal banget."

Remaja SMA bernama Ameena Audy Arsyad itu bersuara. Meski kedua tangannya bekerja mengeluarkan baju-baju dari dalam koper yang akan disusun kembali ke dalam lemari, namun tatapannya menyiratkan banyak kegundahan. Bahkan Ameena selalu menghela napas yang terasa berat selama tangannya bekerja membereskan baju.

Violetta yang baru menyadari wajah sendu sang putri tertuanya itu menghentikan sebentar aktifitasnya, menaruh barang-barang milik suami lalu menghampiri Ameena.

"Teteh kenapa bingung gitu?"

Ameena menatap manik teduh sang Bunda, lalu menyadarkan kepalanya dipundak wanita parah baya itu. Lelah, karena seharian ini Ameena bersama Bunda, beserta adik-adiknya itu berbenah.

Hari ini hari pertama mereka pindah ke Jakarta, yang artinya Ameena bersama saudara-saudaranya yang lain juga harus pindah sekolah.

Rumah baru, lingkungan baru, sekolah baru, dan... Teman baru. Jujur saja, Ameena tipe gadis yang tidak gampang akrab dengan orang baru. Rasanya sangat malas ketika harus bertemu lagi dengan orang asing, lalu berkenalan, lalu melakukan hal-hal pendekatan. Ameena payah dalam hal bergaul.

"Ameena takut aja ngerepotin Bunda, sama Papa. Ameena nggak enak ngerepotin Bunda, sama Papa terus."

Ameena masih memiliki empat adik yang usianya terpaut tidak terlalu jauh darinya. Nomor dua masih duduk di bangku kelas 3 SMP, sedangkan si kembar tiga masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Sedangkan dirinya sendiri sudah memasuki tahap jenjang pendidikan terakhir di bangku SMA.

"Teteh ngalah aja Bun, teteh nggak papa sekolah di sekolah biasa juga."

Terharu, Aletta memeluk erat Ameena. Putrinya itu selalu bisa membuat hatinya bergetar. "Teh, Bunda nggak pernah membeda-bedakan teteh sama adek-adeknya. Kalo adek-adek teteh makan ayam, Bunda pastiin teteh juga makan ayam. Lagian, Papa juga udah ngurus masalah pendaftaran sekolah baru teteh," kata Aletta memberikan pengertian.

"Yang penting buat Bunda itu teteh belajar aja dengan tekun, jangan ngecewain Bunda ataupun Papa, oke?"

Ameena mengangguk singkat, berhambur kedekapan Bunda. Setidaknya Bunda adalah tempat sandaran bagi Ameena ketika dia lelah. Bundanya adalah teman terbaik ketika Ameena membutuhkan tempat untuk berbicara, Bunda adalah segalanya bagi Ameena.

"Makasih, Bun. Maaf, selama ini Ameena cuma bisa ngerepotin Bunda sama Papa."

Aletta menggelengkan kepalanya tidak setuju. "Nggak boleh ngomong gitu ah, teteh tuh nggak pernah ngerepotin Bunda ataupun Papa, justru teteh itu penyemangat buat Papa nyari cuan." bisiknya diakhir kalimat membuat senyum Ameena mengembang walaupun tipis. Gadis itu kembali pada pekerjaannya, sebelum larut semua pakaian itu harus sudah tersusun dengan rapi di dalam lemari.

"Semangat teteh beresin bajunya." Aletta mengelus puncak kepala Ameena sebelum kembali mengerjakan hal yang sempat tertunda.

"Kalo ngantuk tidur aja teh, bisa dilanjut besok. Di sini aja sama Bunda bobo nya."

"Eh? Terus aku tidur nya di mana?"

Bersamaan dengan suara klontang, Papa nya itu terlihat berkacak pinggang menatap ke arah Bunda membuat Ameena geleng-geleng kepala.

Dimaklumi rumah barunya masih sangat berantakan. ART yang bekerja dengan mereka hari ini belum bisa bekerja dikarenakan masih ada urusan lain di kampung halaman, mau tak mau Ameena harus bergotong royong seperti semut dengan kawanannya.

Aletta melihat kearah sekeliling lalu menunjuk pada sebuah sofa dengan menggunakan dagu. "Di situ."

Papa nya terlihat mengerucutkan bibir, lalu memelas kepada Ameena untuk membelanya.

SagameenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang