Part 1-Family

108 12 0
                                    

Love is unlimited. But sometimes, you can't show it. Just try, believe, and keep going. Then you will find, it showing something.

Hai. Perkenalkan. Namaku, Aya. Aku tak memiliki nama panjang. Karena namaku, hanya Aya saja. Nama tersebut diambil dari bahasa Jepang, yang artinya warna-warni. Berbeda dengan namaku, hidupku tidaklah warna-warni. Sebaliknya, hidupku bisa dikata agak suram disebabkan kepribadianku yang sulit mengekspresikan rasa.

Aku jarang menangis, sulit tersenyum, dan hampir tidak pernah marah di depan orang lain. Namun, di balik itu semua, sebenarnya hatiku sering kali berbicara dan bermonolog jika dibutuhkan. Rasanya di dalam diriku, terdapat sosok lain yang berbeda dengan sosokku di dunia nyata. Hanya saja, sosok itu belum sepenuhnya bangkit.

Berbeda denganku, keluargaku memiliki sifat yang berkebalikan. Mereka adalah orang-orang yang sangat pandai mengekspresikan diri. Aku bersyukur. Karena dengan begitu, aku memiliki peluang untuk memperbaiki daya rasaku menjadi lebih peka di masa depan nanti, kuharap.

Ya, kuharap.

Namun, apalah aku yang hanya manusia kelebihan harapan.

Apa yang disebut dengan harapan itu pupus seketika ketika dia datang. Menginjakkan kaki di rumahku, dengan raut wajah datarnya. Dia yang memiliki aura yang mirip denganku. Aura yang sama suramnya. Aura yang menyebalkan.

Tidak hanya sampai di situ. Mimpiku untuk bisa memiliki kehidupan yang lebih cerah rasanya harus semakin memudar pada pertemuan pertama kami di ruang keluarga, di detik saat ayahku berkata bahwa...

"Anak-anakku dan istriku tersayang, perkenalkan. Namanya Rai. Mulai hari ini, dia tinggal di sini. Aku harap, kalian baik-baik dengannya."

"Untuk penjelasan lebih lanjut, kalian bisa tanyakan nanti. Biarkan Rai pergi ke kamar tamu dan beristirahat dulu. Dia pasti capek setelah menempuh perjalanan jauh," ucap ayahku segera ketika melihat Dava kakakku, sudah akan membuka mulut untuk bertanya.

Di menit berikutnya, ayahku tampak memaksakan senyumnya seraya bangkit dan menepuk bahu Rai. Rai kemudian ikut bangkit dan mengangguk pelan ke arahku, kedua kakakku, dan ibu yang jelas-jelas merasa kebingungan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian, dia berbalik dan berjalan mengikuti ayahku yang sudah lebih dahulu berjalan menuju kamar tamu di lantai atas.

Aku menarik nafas panjang. Apa-apaan itu. Orang itu tidak berbicara apapun, bahkan hanya untuk memberi salam. Itu kan sangat tidak sopan. Sudah begitu, matanya. Kenapa bahkan matanya tidak mau menatap kami?

Aku terus bermonolog ria di dalam hatiku, sampai aku tersadar bahwa Dion ternyata tengah menatapku lekat-lekat. Kukira sudah tidak ada orang selain aku di ruang keluarga ini.

"Apa?" tanyaku dengan nada khasku yang monoton dan agak rendah kepada Dion yang masih terus menatapku ingin tahu.

"Kamu pasti sangat terganggu sekarang kan, Ay?" tatap Dion prihatin.

"Ya," jawabku pelan, setengah berbisik. Tentu saja aku terganggu. Kenapa masih nanya, sih.

"Kamu tenang aja, Ay. Aku dan Dava ngga akan biarin anak itu bikin kamu ngerasa terganggu. Entar aku tanya ayah deh tentang detail alasan kedatangan mahluk satu itu. Oh, dan... Hari ini hari terakhir UAS, kan? Gimana kalau kamu sekarang naik aja ke kamarmu dan segera selesaikan tugas UAS kuliah kamu?"

Wah. Ide bagus itu. Tanpa disuruhpun sebenarnya aku memang berniat akan pergi ke kamar. Apalagi kalau ada Dion di depanku. Rasanya, terbersit sedikit penyesalan kenapa aku tidak pergi ke kamar sedari tadi dan malah asik melamun ria.

SAKURAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang