Epilogue

82 5 2
                                    

Hubunganku dengan Adrian bisa dibilang berjalan mulus walaupun memang pasti ada saja perdebatan kecil diantara kami. Salah satunya adalah diterimanya Adrian sebagai salah satu penerima beasiswa program doktoral sempat membuatku agak sedikit ragu apakah kami bisa menjalani hubungan jarak jauh. Aku mencurahkan kegundahan hatiku padanya setelah tiga bulan kami bersama kembali.

Reaksi Adrian sempat membuatku sedikit kesal. Ia hanya tenang-tenang saja saat itu dan Aku sempat mempertanyakan pada diriku sendiri apakah memang dia hanya ingin menjadi sebatas 'pacaran' saja (akupun sampai sekarang masih tidak tahu statusku dengannya dari awal kami memutuskan untuk dekat-break-dekat kembali) atau mengarah ke jenjang yang lebih serius. Kami pun tidak pernah menyatakan cinta satu sama lain, hanya berjalan begitu saja. Ya, mungkin disisi lain dia mencoba untuk menenangkanku jika semuanya akan baik-baik saja.

Saat Aku tanyakan pada Mas Rizal dan Mbak Inas, mantan pasangan LDR yang sudah tinggal seatap ini mereka hanya menjawab "ditunggu aja, tipe orang beda-beda." Atau "Positive thinking aja, kita juga LDR fine-fine aja. Asal percaya satu sama lain."

Ya, kupikir lebih baik aku menyingkirkan segala pikiran negatif itu dan hanya menunggu.

Tetapi berusaha tenang diantara api yang berkobar itu tidaklah mudah.

Sampai akhirnya aku tau mengapa ia bisa bersikap begitu tenangnya menghadapi LDR.

Dua minggu setelah mendiskusikan perihal LDR, hari sabtu pagi ia mengajakku piknik ke kebun raya Cibodas. Kami berangkat sekitar jam 9 pagi untuk menghindari jalur buka tutup pada akhir pekan. Ya walaupun memang tidak akhir pekan saja jalanan sudah pasti macet.

Kami berkeliling sebentar menyelusuri kebun raya Cibodas yang berada di kaki Gunung Gede-Pangrango ini. Cuaca sedang cerah dan tidak berkabut sehingga kami bisa melihat dengan jelas kemegahan gunung itu.

Kami memutuskan untuk menggelar picnic mat di area yang cukup lapang untuk bersantai sambil memakan cemilan yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Adrian tampak sibuk dengan laptopnya sementara Aku melihat-lihat hasil foto yang diambilnya pada kamera digital maupun polaroidnya.

"Tjena! hur är det? Jag är ledsen att störa dig tidigt på morgonen.*"

"Bra tack, själv? Ja, inga problem.**"

Aku memandangi Adrian yang tampaknya sedang melakukan video call dengan Ayahnya. Terkadang ia menggunakan bahasa inggris, swedia, atau bahasa Swedia campur Inggris. Aku hanya bisa menangkap beberapa yang mereka sedang bicarakan.

"Cibodas botanical garden. It's pretty out here."

"Oh really? Can't wait to see that place someday. Are you with Farra right now?"

"Yep, she is."

"May I talk to her?"

"Sure"

"Far, Ayah mau ngobrol sama kamu katanya."

"Oke." Kataku, lalu Adrian meletakan laptopnya di pangkuanku kemudian ia duduk di sisi lain agak dibelakangku.

Aku sudah beberapa kali mengobrol dengan Ayah Adrian, pertama kali aku mengobrol dengannya kurang lebih sekitar dua minggu setelah kami bertemu di pernikahan Mas Rizal dan Mbak Inas atau beberapa hari setelah pesta pernikahan Austin dan Cassandra. Dari situ Aku dapat mengetahui darimana Adrian mendapatkan iris coklat terangnya yang hampir selalu membuatku terhipnotis maupun bentuk rahangnya yang kokoh itu.

"Good Morning Mr Dahlgren, how are you?"

Selebihnya Aku mengobrol hal-hal kecil dengan Ayah Adrian seperti bagaimana cuaca disana, bagaimana restaurannya, apakah dia masih senang memancing dengan teman-temannya. Kami juga mengobrol soal resep kue asal Swedia dan aku juga menunjukan padanya kue yang berhasil kubuat berdasarkan resepnya.

Second ChanceWhere stories live. Discover now