One

2.8K 256 200
                                    


"are you okay bro?" tanya Javier di tempatnya memperhatikan sahabat lamanya. Di tangannya tergenggam segelas brendi yang ia bawa sendiri. Yang sempat ia tawarkan kepada Rafael namun ditolak mentah-mentah oleh laki-laki culas itu seperti biasa.

Laki-laki berambut hitam cepak itu tampak tenang di tempatnya. Tanpa sedikitpun terganggu oleh kehadiran sahabat lamanya yang sedari 2 jam lalu sudah merusuh di ruangannya. Entah hanya memainkan gitar dengan nada random tidak jelas atau sedekar bersila berbicara dengan tanaman hias. Ia tahu temennya ini hanya butuh sedikit penyegaran, menjadi sinting sekali-kali, efek dari patah hati.

"gue kenapa?" balas Rafael acuh sedikit melirik ke arah Javier yang sudah duduk bergelantungan dengan pandangan menerawang keluar jendela. Seharusnya itu bukan pertanyaan yang ditujukan untuk Rafa. Bukankah kewarasan Javier lebih perlu dikhawatirkan?

"is that so this fucking hurt losing her?" pertanyaan itu keluar begitu saja. Membuat laki-laki yang sedang sibuk dengan dokumennya itu berhenti sejenak, mengambil jeda barang sebentar hanya untuk memikirkan ucapan Javier barusan.

Is that so fucking hurt losing her?

"35 tahun gue hidup dan baru kali ini gue ngerasain apa yang namanya patah hati. Gue pernah denger seenggaknya setiap orang akan patah hati paling enggak sekali dalam hidupnya. Demi pendewasaan katanya. Hahaha... pendewasaan my ass. Gila aja gue udah bangkotan gini kenapa baru patah hati sekarang ini? Telat banget gak sih? hahaha..." Ujar Javier tertawa tidak jelas. Bukan jenis tawa yang menular seperti kebiasaan laki-laki ini. Lebih seperti tertawa miris menertawakan diri sendiri.

"I thought I would just be fine like usual. I never knew that letting her go would be so this dramatic damn fucking annoying here. Rasanya kalo bisa gue pengen nyekik diri gue sendiri, Yan. Even dying sounds so much better than living without her." Imbuhnya lagi mengusap bagian tubuhnya yang terasa begitu ngilu menyesakkan.

Even dying sounds so much better.

Ya... dia juga ingin mati saja rasanya daripada ditinggal sendiri di dunia yang membosankan ini.

"siapa suruh juga lo nyerah. You just need to kneel on your one knee , give her a ring, ask her to marry you, and you will get a happy ending, coward."

"hei... you better talk to your hand. Siapa yang udah mundur duluan bahkan sebelum ngeluarin pedang buat mati-matian berperang? Hahahah... it mustn't be me, jerk." balas Javier tidak ingin kalah.

"so how does it feel, mati untuk ke dua kalinya?"

Rafael tak langsung menjawab. Pikirannya berterbangan entah kemana. Sudah tidak lagi memperdulikan dokumen rencana bisnisnya, ataupun kepuasan investornya. Pandangannya mengarah pada botol kaca yang berdiri tidak jauh dari jangkauan tangannya. Tanpa pikir panjang, Laki-laki itu lantas meraih botol brendi yang sedari tadi ia hindari. Menenggaknya kasar dalam sekali tenggukan. Entahlah, padahal ia sudah berjanji kepada seseorang bahwa apapun yang terjadi ia tidak akan menyentuh minuman laknat itu lagi, namun pertanyaan Javier membuatnya memerlukan sesuatu untuk membantunya menemukan sedikit saja insanity.

"I only lost my love once."

"dan dia?"

"gue cuma kehilangan satu kali. Dan itu cuma terjadi waktu mami Noah pergi." Ujar Rafael menerawang.

"hahaha... denying?" ejek Javier menatap Rafael. "everyone knows that you're madly in love with her, dude. What's the point of lying?"

"there is no more dia."

Iya kan? Karena seharusnya memang iya.

_____

Noah's Papa [COMPLETED]Место, где живут истории. Откройте их для себя