Namanya Kim Jungwoo, pemuda berparas manis dan imut itu sebentar lagi akan berulang tahun yang ke delapan belas. Ia ingin merayakan ulang tahunnya kali ini bersama sang Ayah. Biasanya ia melewatkan ulang tahunnya bersama teman-teman yang kebetulan menjadi tetangganya di kota.
Pemuda itu memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di mana sang Ayah di besarkan.
Ia mengikuti permintaan sang Ayah, bersekolah hingga tamat SMA lalu kembali ke kampung halaman demi mengurus pekerjaan yang di tekuni Ayahnya sebagai petani.
Ia berjalan setelah turun dari bus. Jarak rumahnya dan halte bus cukup jauh, namun tidak ada angkutan umum yang melintasi jalan setapak itu. Ia berjalan dengan membawa tas ranselnya yang lumayan besar, dia membawa semua barang-barangnya karena ia memutuskan untuk tinggal di desa dan tak akan kembali ke kota kecuali sang Ayah memintanya.
Jungwoo mengaggumi pepohonan yang menjadi batas hutan dan juga membuatnya tenang saat melihat keadaan desa begitu asri. Para warga tidak menggunakan hutan secara berlebihan, mereka ikut turut melestarikannya agar desa tetap asri dan terhindari dari polusi.
Sekitar tiga puluh menit lamanya, akhirnya Jungwoo sampai di depan gerbang. Sekilas ia melihat kata-kata di papan yang tertancap di samping patung berbentuk malaikat, tulisan itu tampak tak terlihat jelas karena ada rumput ilalang yang tinggi sehingga menutupi papan itu.
Jungwoo tak peduli, ia segera melanjutkan langkahnya. Hembusan angin lembut menerpa dirinya, membuat rasa kantuknya cepat datang. Jungwoo berjalan sembari melihat keadaan sekitar yang memiliki pemandangan yang enak untuk di lihat.
Ia tak bisa mengingat masa kecilnya, mungkin karena dia sudah melupakannya dan di sibukkan dengan ujian-ujian sehingga lupa. Ya, semakin ia tumbuh besar. Ingatannya cukup memburuk, tapi hanya untuk ingatan masa kecilnya. Sementara ingatan tentang yang lain ia masih bisa mengingatnya dengan baik.
“Darling,”
Suara itu terdengar begitu jelas olehnya. Beberapa kali ia menoleh ke arah kanan dan kirinya untuk mencari tau siapa yang membuat suara itu, dan tiba-tiba saja beberapa Anak kecil berlarian di depannya. Jungwoo menghembuskan nafasnya, ia kira seseorang telah menyambutnya. Tapi, ternyata itu berasal dari Anak-Anak yang berlari-lari.
“Kau akan kutangkap, dasar pengganggu, jangan lari kamu!”
“Kau tak akan bisa menangkapku, aku terlalu cepat untuk kau tangkap!”
Jungwoo kembali melanjutkan perjalanannya, ia harus berjalan lurus melewati ladang jagung. Ia sudah bisa melihat dari kejauhan bentuk atap rumahnya, ia begitu bersemangat hingga berlari-lari kecil agar cepat sampai.
Dan ia juga tak sabar untuk berjalan-jalan di sekitar danau yang terletak di dekat rumahnya. Ia ingin berenang di sana, dan bermain dengan teman-teman sebayanya di desa.
“Ayah!” Jungwoo memanggil seorang Pria yang baru saja selesai memberi pakan untuk ayam.
Pria itu menyipitkan matanya, dan saat melihat sosok yang memanggilnya pun ia terkejut bukan main, “Kau kembali, Jungwoo!”
Jungwoo memeluk Pria itu karena merindukannya, “Tentu saja aku kembali, aku rindu Ayah dan teman-temanku di sini,”
“Kau tampak lebih dewasa dari terakhir yang kulihat. Kau benar-benar mirip dengan Ibumu,” sang Ayah tampak bangga melihat Anaknya sudah beranjak dewasa, “Ayo masuk ke dalam rumah, aku yakin kau juga lapar, Nak.”
“Apakah Mark masih tinggal di desa, aku ingin menunjukkan sesuatu kepadanya,”
“Kau baru saja kembali, beristirahatlah dulu. Kebetulan Ayah juga sudah memasak makanan kesukaanmu,”
“Aye aye captain!”
Keduanya tertawa, setelah itu masuk ke dalam rumah. Jungwoo menghabiskan waktu yang ia miliki saat ini untuk mengobrol dengan Ayahnya, bahkan saat acara makan siang berlangsung dengan heboh dan juga seru karena Jungwoo menceritakan pengalaman lucu selama dia tinggal di kota.
Tapi, jauh di lubuk hatinya ia merasa ada yang kurang. Ibu, ia ingin sekali merasakan kasih sayang dari Ibunya. Namun, Ayahnya bilang bahwa Ibunya meninggal saat ia lahir ke dunia. Jungwoo tak ingin mengeluhkan kekosongan hatinya, ia lebih memilih memendamnya agar sang Ayah tak terluka jika membahas Ibunya.
Sang Ayah beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil dessert. Sementara Jungwoo memainkan handphonenya dan membalas satu persatu pesan yang ia dapatkan dari beberapa sahabatnya. Baru saja ia sampai di desa, namun ia sudah merindukan sahabat-sahabatnya.
Jungwoo kembali mengingat momen kebersamaan dirinya dengan sahabatnya. Mereka sudah bersama sejak sekolah dasar, dan sekarang mereka sudah berpisah demi mengejar tujuan dan cita-cita mereka.
“Kau terlihat cemas, apakah terjadi sesuatu?” tanya sang Ayah yang baru saja meletakkan puding buah dan juga beberapa kue kesukaan Jungwoo.
Jungwoo mengambil kue tersebut lalu memakannya, “Aku baru saja sampai di sini. Aku sangat senang, tapi aku merindukan sahabat-sahabatku yang tinggal di kota,” Jungwoo kembali potongan kue yang ada di atas piring. “Dan pasti seiring waktu, komunikasi kami akan berkurang karena kesibukan masing-masing. Jungwoo belum siap dengan semua itu,”
“Jangan khawatir, Jungwoo. Kamu bisa kembali ke kota dan bertemu dengan sahabat-sahabat kamu. Lagi pula, kamu juga sudah besar dan bebas mau menetap di kota atau di desa,” ujar sang Ayah membebaskan Jungwoo memilih. Namun, tatapannya berbeda. Terlihat cemas dan juga takut.
Jungwoo sadar bahwa setiap Orang tua pasti mengalami ketakutan dan risau saat Anaknya sudah beranjak dewasa. Dan Anak-Anak tidak bisa di paksa untuk menetap selamanya bersama para Orang tua, dan itu pilihan yang cukup sulit.
“Mungkin aku bisa bermain-main ke kota, dan bertemu dengan sahabat-sahabatku. Tapi, aku akan tetap tinggal di sini bersama Ayah,”
Sang Ayah tersenyum, ia terharu mendengar jawaban dari Anaknya. “Anak Ayah sudah dewasa. Bahkan membuat Ayah terharu dengan jawabanmu, Ayah bangga,”
“Aku sudah lama meninggalkan Ayah demi menuruti keinginan Ayah, tapi aku tidak akan pernah pergi tinggalin Ayah. Aku akan tinggal di sini dan menemani Ayah, dan juga membantu Ayah menjadi petani,”
“Ayah lega mendengarnya, tapi di sisi lain Ayah khawatir.” Sebelah alis Jungwoo terangkat.
“Loh, kenapa Yah?”
Sang Ayah tertawa setelah mengerjai Jungwoo dengan ekspresi cemas sang Ayah. “Kamu itu baru saja kembali, dan mungkin masih awam soal menjadi petani. Jadi, kamu harus di ajari oleh Mark,”
“Kalau itu sih gampang, aku yakin kalau aku bisa menguasainya dalam beberapa hari,”
Tok!
Tok!
Tok!
“Biar Jungwoo saja yang buka. Ayah di sini saja,”
Jungwoo segera beranjak dari tempatnya dan pergi menuju pintu utama. Sementara Ayahnya menunggu Jungwoo, saat pemuda itu bersamanya. Ekspresi wajahnya terlihat baik-baik saja, tenang dan juga cerah. Namun, saat Jungwoo pergi. Ekspresinya berubah menjadi datar, sorot matanya kosong.
“Ini rumahmu, sudah pasti kau akan kembali untuk pulang,” ucapnya sembari melihat ke arah jendela yang menampilkan langsung ke arah danau yang menampilkan riak-riak kecil di danau. “Tak ada tempat seindah dan senyaman di rumah sendiri, bukan?”
⚫⚫⚫⚫
Hohoho...
Blue balik lagi dengan fanfiction baru nih, dan tentunya berbeda dari genre yang sebelumnya. Semoga yang baca pada suka ya 😁😁
Bagaimana awalnya, apakah kalian sudah penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya?
Kalau ada yang mau join ke group Jaewoo, silahkan lihat bio saya.
Link-nya ada di sana, dan selamat join teman-teman.Ada yang ingin di tanyakan?
Kalau tidak ada mari kita akhiri sampai di sini dulu.See you next time.
With love, fanboy Red Velvet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Home | Jaewoo ✔
Mystery / Thriller[ T A M A T ] Ide cerita murni hasil imanjinasi Blue ⛔ Homophobia segera menjauh dari lapak ini ⛔ ⚠ Trigger Warning ⚠ Murder, Violence, Slight Adult Scene 🔞🔞 and Abuse. [ S I N O P S I S ] Banyak yang mengatakan jika mimpi bisa menjadi sebuah keny...