Never Give Up

495 72 3
                                    

Kebahagiaan itu sederhana. Yah sesederhana bisa melihat senyuman sang pujaan hati lebih dekat. Dan Ketika jarak tak lagi jadi masalah. Seakan membuat dunianya menjadi sangat berharga. Hingga tak ada keinginan satu momen pun yang terlupakan.

Dan membiarkan rak dengan sejuta ilmu menjadi saksi. Sebuah pertemuan singkat namun berbekas. Hingga tanpa sadar waktu seakan menjadi jadwal pasti dua insan yang sedang di mabuk asmara. Meski yang di lakukan hanya saling diam dengan menyibukkan diri membaca buku masing masing. Namun tidak dengan hati dan fikiran mereka. Akal logikanya seakan masih menahan diri untuk tidak terjatuh tapi faktanya tubuhnya tak bergeming, membiarkan momen itu berlalu tanpa ada kata yang di keluarkan.

Bukankah ini kesempatan?

Kesempatan untuk saling mengungkapkan?

Dan sayangnya mereka kalah dengan hatinya. Hati yang penakut. Ketakutan sebuah penolakan yang berakhir sia sia.

Hingga hari itu tiba. Hari dimana masa sekolahnya berakhir. Dan mereka tak lagi mempunyai kesempatan untuk sekedar duduk bersama. Dan menikmati kesunyian bersama maupun memperpendek jarak lagi.

"Kau mau kemana, Sasuke - Kun!" Pekik gadis Gulali. Ia bergelayut manja di bahu kokoh sang sahabat. Melihat ekpresi sang sahabat yang menyembunyikan sesuatu. Seakan itu lebih penting darinya.

"Bukan urusanmu!" Ucapnya halus. Ia melepaskan pelan tangan lembut Sasuke. Melangkah dengan tegas. Meninggalkan sang gadis dengan wajah sedihnya.

"Kau masih saja dingin, Sasuke! Padahal sebentar lagi kita akan berpisah!" Bisiknya halus. Memandang bahu yang akhirnya menghilang dari kerumunan Siswa.
.
.
.
.
.
.
.
.

Hinata menatap senduh lapangan Outdoor yang di penuhi siswa bersorak ria. Mengeluarkan segala ekpresi kebahagian mereka atas kelulusannya. Sedangkan hatinya tidak secerah dengan nilai yang ia dapatkan. Seakan pencapaiannya hanya kebahagiaan semu yang menutup kesedihannya untuk sementara waktu.

Hatinya berdenyit tatkala ia mengingat momen kebersamaan dengan sang pujaan hatinya akan berakhir. Yah sebuah perpisahan yang sangat ia benci. Bahkan satu kata pun belum sempat ia siapkan untuk sang tambatan hati. Rasanya waktu begitu cepat menyita kebahagiaanya. Dan ia tak punya kesempatan untuk mengutarakannya.

Bukankah ini kesempatannya?

Kesempatan yang takkan ada untuk kedua kalinya.

Hingga ia menyadari keinginannya. Dan perlahan membalik tubuhnya. Menggerakkan kedua kakinya yang semakin berat. Bahkan untuk melewati lorong yang kosong pun ia merasa sesak. Terasa sesak di hatinya. Seakan dunia akan menyudutkannya pada lubang yang tak berujung. Fikirannya tak lagi normal. Begitu pun dengan pendengarannya yang terganggu. Seakan suara suara sahabatnya hanyalah hembusan angin yang tak mampu menyadarkan akal sehatnya. Tubuhnya berpacu seiring dengan detak jantungnya yang memompa cepat. 'Aku tak ingin kehilangan kesempatan lagi!' Fikirnya.

Hingga langkahnya terhenti. Menatap bahu kokoh yang membelakanginya. Menatap sebuah taman yang terhalang oleh kaca. Bahkan ribuan buku yang di sampingnya tak lagi mengganggu fokusnya. Menatap lurus tanpa ada alat yang membuatnya beralasan untuk mendekatinya.

Untuk kali ini ia akan terlihat bodoh. Hanya untuk mengenal lebih dekat sang pujaan hati. Tak ada buku lagi yang menjadi alasannya. Hanya membawa diri dengan segudang keberanian yang ia kumpulkan. Bahkan Peluhnya tak lagi ia hiraukan. Begitu pun dengan bentuk seragamnya yang tak tertata rapih. Dan rambut indigonya sedikit berantakan. Menampilkan poni kebanggaannya yang tersingkap penuh hingga jidat sempitnya terlihat.

Ia meneguk salivanya dengan kasar saat Sasuke membalikkan tubuhnya. Menatapnya dengan rakus seakan besok adalah hari akhir. Dan tak lagi memperdulikan penampilannya yang jauh dari kata baik. 'Ini kesempatannya tapi..... !' Lidahnya keluh. Dan waktu seakan berhenti. Namun tidak dengan langkah Sasuke yang mendekatinya.

89Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang