CHAPTER2:Geprobeerd (berusaha)

85 29 10
                                    


Uang mungkin disumbangkan, batu dan kapur mungkin dapat dibeli, tukang gambar bisa dibayar untuk membuat rencana dan tukang batu mungkin dipekerjakan untuk memasang batu-batu.Tapi iman yang hilang dan masih dihormati, yang melihat puisi dalam bentuk bangunan;puisi dari granit, yang bicara begitu lantang kepada orang-orang;puisi dalam bentuk marmer, yang tegak disana sebagai doa abadi yang terus menerus dan tak tergoyahkan, tidak bisa dibeli dengan uang.

   Eduard Douwes Dekker(Muktatuli).
Penulis dari Belanda

  Dibawah teriknya mentari Alin berjalan santai mengunjungi beberapa toko di pinggir kota untuk mendapatkan sebuah pekerjaan.

Langkah kecilnya sudah cukup jauh dan persendian remaja ini juga terasa kaku. Sedari tadi setiap toko atau pun kedai yang ia datangi telah mengusir dirinya dengan kasar.

Mungkin mereka mengira Alin hanyalah seorang gadis muda yang terlalu lemah untuk di pekerjakan.

Namun gadis remaja satu ini memiliki kegigihan yang kuat bila perlu ia akan menyusuri semua jalan di Amsterdam demi mencari pekerjaan paruh waktu.

Kebanyakkan remaja seusia dirinya tentu tidak mau melakukan hal melelahkan seperti Alin hanya agar tetap bisa sekolah.

Bahkan mereka rela berhenti sekolah jika harus melakukan hal serupa dengan Alin. Begitu miris memang permasalahan ekonomi yang di hadapi orang-orang kelas menengah.

Segala pekerjaan akan mereka perbuat meski hasilnya tak mampu menutup kekurangan ekonominya. Tapi setidaknya ada sedikit uang untuk bertahan hidup di kota besar ini.

Amsterdam, kota yang berkembang pesat di Belanda ini penduduknya cukup kaya sebab mempunyai amat banyak lapangan kerja.

Walau pun begitu tetap saja masih ada keluarga yang kurang mampu yang mereka juluki kalangan kelas menengah.

Tentu  perihal ini menjadikan suatu perbedaan yang menonjol di antara masyarakat kelas atas dan menengah.

Dilihat dari segala arah semuanya memiliki banyak perbedaan yang pada akhirnya sebuah konflik di tengah kehidupan sosial.

Lihatlah sekarang hari  sudah menjelang sore. Demikian Alin ia pun memutuskan untuk pulang sebelum gelap tiba.

Akhirnya di perjalanan pulang remaja 16 tahun itu sangat tergesa-gesa se-sekali dirinya berlari kecil.

Ia cemas kalau sampai terlalu larut pasti orang tuanya akan mengintimidasi Alin. Pasalnya keluarganya tidak ada yang tahu bahwa ia ingin bekerja paruh waktu untuk mendapatkan uang.

Alin merasa yakin bahwa mereka semua tak akan mengizinkan dirinya. Dengan penampilan yang berantakan serta keringat yang ber-cucuran dan nafasnya pun terengah-engah ia pun tiba di rumahnya.

Seketika pintu rumah terbuka dan menampilkan Ellen saudarinya.

"Menjijikan."
Satu kalimat sinis yang keluar dari mulut adik perempuannya ini membuat Alin merasa sedih.

Berusaha tidak mendengar perkataan Ellen barusan dirinya pun melenggang masuk ke rumah di ikuti senyum tipis miliknya.

"Aku pulang."
Dengan penuh keberanian yang ia kumpulkan Alin berucap demikian seraya menuju kamarnya.

Setelah ia membersihkan tubuhnya Alin berniat keluar dari kamar untuk makan malam bersama.

Saat dirinya membuka pintu kamarnya ia di kejutkan dengan kehadiran Ellen di ambang pintu kamar Alin dengan sikap angkuhnya.

"Ellen, kau sudah makan?"
Tanya Alin dengan ragu ia ingin menghilangkan kecanggungan antara ia dan adiknya.

"Tentu...., kami bahkan akan pergi bersama untuk berbelanja dan aku sarankan kau tidak mengusikku, Alin."
Ellen memberi peringatan pada Alin.

Ya, meski Alin adalah kakaknya sendiri tapi Ellen tak menggubris kenyataan ini sama sekali. Bahkan Ellen enggan memanggil Alin dengan sebutan kakak.

Mengerti akan pernyataan adiknya Alin pun mengurungkan niatnya untuk keluar kamar.

Dirinya akan berbohong pada ayah dan ibunya jika ia sudah tertidur. Dengan begitu mereka akan pergi tanpa Alin.

Itulah yang di inginkan oleh Ellen menjadi satu-satunya putri di keluarga Eldam. Sejak dulu ia sangat terganggu dengan keberadaan Alin.

Dan benar saja beberapa menit setelahnya Ny.Levi ibu dari Alin memanggil dirinya untuk ikut berbelanja.

"Alin...kau mau ikut ibu berbelanja atau tidak?"
Karena tidak ada respons dari putri sulungnya itu Ny.Levi pun bergegas menuju kamar Alin.

Kemudian dengan perlahan ibu dua anak ini membuka pintu lalu ia merasa bingung sebab gadis muda itu ternyata sudah terlelap.

"Mungkin ia kelelahan, baiklah sebaiknya tidak perlu membangunkannya."Monolog Ny.Levi pada dirinya sendiri.

Begitu ibunya sudah meninggalkan kamar kepunyaan Alin ia pun langsung terduduk diatas kasur sederhananya.

"Maaf...."
Kalimat penuh rasa bersalah itu lolos dengan mulus dari bibir mungil remaja ini.

Semua kepedihannya ia ungkapkan dengan deraian air mata yang mengalir tanpa henti dari sepasang manik coklat Alin.

Dirinya terisak seorang diri tanpa ada seorang pun yang mendengarnya. Kesunyian hanyalah saksi bisu kehidupan Alincea Eldam yang sulit diartikan.

Lebih baik terluka dari pada harus berhenti  berusaha meski pun akan hilang semua rasa kecewa.

WILLENWhere stories live. Discover now