8. Ciuman Pertama

1.7K 152 14
                                    

Aku sampai di rumah tepat pukul 11 malam, Vanno yang sebelumnya menawariku untuk berkeliling kota kutolak karena malam yang hampir larut. Kini pria itu duduk di atas motornya dan aku berdiri tepat di sampingnya untuk mengucapkan perpisahan sementara kami malam ini.

"Masih gugup?" aku menyelipkan nada geli di dalam pertanyaanku.

Vanno menggeleng, "Kayanya udah enggak, terapi lo boleh juga"

Aku terkekeh geli, "Aku tidak habis pikir, kalian sering ngejob tapi masih aja takut buat tampil?"

Vanno menghembuskan nafas pelan, "Beda Widuri. Kita ngejob di acara kawinan, jarang dapat perhatian dari tamu kondangan yang mayoritasnya penyuka dangdut, dan lagi kita selalu tampil di dalam ruangan," kata Vanno, aku sudah dapat menangkap maksudnya namun kubiarkan pria itu tetap melanjutkan, "Sementara lo bawa gue sama anak-anak buat tampil di lapangan, di depan banyak kaum milenial dan jelas kami mendapat banyak perhatian, gimana kami ga gugup coba?"

Aku mengangguk paham.

"Tapi sekarang udah ringan 'kan? Kalau kamu masih takut buat maju di kompetisi aku bakal kasih kamu terapi yang lebih ampuh" gurauku.

Mendadak aku menjadi gugup ketika Vanno mengangkat sebelah alisnya, "Terapi yang lain?" tanyanya mengulang kalimatku. Aku mengangguk meskipun leherku terasa kaku, "Terapi yang gimana?" tanyanya lagi.

Kugigit bibir bawahku seraya menjawab, "Entahlah....," aku menarik nafas dalam-dalam, "Belum aku pikirkan"

Vanno mengambil tanganku untuk menarikku semakin dekat dengannya. Pria itu melingkarkan kedua lengannya di pinggangku lalu berkata dengan sangat manis, "Terima kasih buat hari ini"

Aku mengangguk, "Ya, ya, tentu" sahutku gelagapan.

Aku menyingkirkan kedua tangan Vanno yang melingkar di pinggangku kemudian mengambil langkah mundur untuk menciptakan jarak aman di antara kami. Aku tidak mau kejadian nyaris ciuman itu kembali terulang karena rasanya benar-benar memalukan. Butuh satu minggu bagi kami untuk mengatasi kecanggungan yang terjadi saat itu, aku tidak mau kecanggungan itu kembali terulang.

Perasaan menyesal menyerbuku saat aku melihat guratan kecewa di wajah Vanno, tunggu....apa aku melakukan sesuatu yang salah dengan menyelamatkan kami berdua dari situasi canggung setelah berciuman?

"Lo kenapa sih? Akhir-akhir ini lo kok jaga jarak dari gue?" tanya Vanno.

Oh dia salah paham.

"Aku tidak bermaksud—"

"Tapi itu yang lo lakukan akhir-akhir ini, lo gamau lama-lama berduaan sama gue, lo bikin jarak minimal 2 langkah dari gue. Apa ini karena kita yang hampir ciuman?"

"Vanno, kamu salah paham oke?"

Vanno menggeleng, "Gue ga bodoh Widuri, lo jelas-jelas takut berduaan sama gue" sahutnya. Sial, bagaimana aku mengatasi ini?

"Ya Tuhan Vanno, aku tidak takut!" kataku dengan gusar, aku melangkah semakin dekat ke arahnya dan mengabaikan jarak aman yang kubuat akhir-akhir ini. Aku memang bodoh 'kan?

"Lo udah punya pacar?" tanyanya lalu dia tertawa miris, "Duh, gue bego banget. Untung gue ga jadi nyium lo waktu itu kalau ga lo pasti bakal benci banget sama gue—mphh"

Aku membungkam bibir itu dengan ciuman. Persetan dengan keadaan yang akan menjadi canggung setelah ini, aku hanya tidak tahu bagaimana caranya membuat Vanno mengerti dan satu-satunya cara agar dia berhenti berasumsi yang tidak-tidak adalah dengan membungkam bibirnya.

Tapi aku salah, ciuman yang awalnya menjadi strategi kini justru tidak dapat membuat aku berhenti. Bibir dan lidah Vanno membelai mulutku dengan lembut, menghisap dan menyesap dengan menuntut. Aku melingkarkan kedua tanganku di lehernya dan Vanno mulai menjalankan tangannya untuk memeluk pinggangku. Dia terasa manis dan mengirimkan sengatan aneh ketika bulu-bulu di sekitar rahangnya menyentuh pipiku.

Pulang (completed)Where stories live. Discover now