ᴏᴛʜᴇʀ ꜱɪᴅᴇ

1K 184 43
                                    

"Tolong, Asahi. Balik lagi ke Klub ya?"

Kata Kak Suga seraya melemparkan tatapan memelas. "Iya Kak, balik lagi dong?"

Kak Asahi masih duduk, diam seraya memasang senyum tipis. Aku tahu dia masih merasa berat hati bahkan hanya untuk mengobrol dengan sesama anggota klub voli.

"Nishinoya udah nggak diskors, dia dateng lagi kemarin."

"Oh iya? Bagus deh, aku ikut seneng." Kak Asahi berkata seraha menutup kedua matanya. "Kalau ada Nishinoya di belakang kalian, tim kita aman ya? Rasanya tenang gitu."

Nah, kan? Kak Asahi tuh, penampilannya aja sangar, mirip tukang obat, preman sekolah. Tapi hatinya super sensitif. Apalagi kalau ngomongin soal hal yang paling ia sukai.

Perasaan akan sesuatu yang kamu suka punya peluang besar buat nyakitin kamu juga, 'kan?

"Kamu juga!" Kak Suga mulai meninggikan suara, "Temen-temen yang lain pada nunggu Asahi balik tau!"

Cowok jenggotan itu menghela nafas, "Kayaknya kalau balik pun aku cuma jadi beban aja deh."

"Nggak. Denger ya, kelas satu yang baru masuk pada bagus mainnya. Apalagi yang posisi setter kayak aku, si Kageyama. Ada juga yang badannya tinggi banget. Terus-"

"Azumane, dipanggil guru."

Seruan teman sekelas Kak Asahi memotong ucapan Kak Suga yang tengah serius-seriusnya. Duh, aku sebenernya pengin lebih ngegas. Sayangnya Kak Asahi itu kakak kelas, juga hal ini bukan urusanku sepenuhnya karena aku bukan siapa-siapa.

Aku dan Kak Suga berjalan mengikuti Kak Asahi, diluar ternyata ada Kageyama dan Hinata yang tengah sedikit beradu mulut.

"Tuh, katanya mau lihat ace!"

"Iya nggak dateng ke kelasnya juga!"

Kak Suga sekali lagi memanggil, "Tunggu dong Asahi!"

"Asahi?" Kata dua orang adik kelas itu berbarengan.

"Iya?"

Percakapan mereka tak berlangsung lama, Kak Asahi keburu dipanggil guru. Kebetulan, seorang teman mengirimiku pesan yang berisi aku juga harus ke ruangan itu menemui wali kelas. Sekalian saja aku berjalan bareng Kak Asahi, kulihat Kak Suga masih mengobrol dengan si duo-aneh.

Mungkin Kageyama dan Hinata belum tau soal pertandingan melawan Dateko?

"Kamu... jadinya kan manajer ya?"

Kak Asahi nanya dengan susunan kalimat yang aneh. Nggak aku hiraukan sih, kadang cowok tampang preman ini emang susah ngobrol sama cewek.

"Enggak, aku suka ikut nangkring aja di gym." Jawabku seraya melemparkan senyum tipis, Kak Asahi ber-oh ria.

"Tanaka!"

Seorang guru yang kuketahui mengisi posisi bimbingan konseling memanggil nama keluargaku. "Iya Bu?"

Kak Asahi memisahkan diri setelah bergumam 'aku duluan' menyisakan aku yang berhadapan dengan Bu Maiko.

Perasaanku kurang enak.

"Tahu kenapa kau dipanggil kesini?"

Aku mengerutkan dahi. Teman sekelasku bilang aku harus menemui wali kelas, alias Pak Takeda. Bukan Guru pada bagian bimbingan konseling. Kenapa urusannya sama Bu Maiko?

"Err, setahuku yang memanggil itu Pak Takeda deh. Ibu ada perlu juga denganku?"

"Ada!" seru Bu Maiko keras, "Wali Kelasmu itu terlalu baik. Dia nggak akan menyampaikan hal ini dengan benar."

Lihat, kan? Belum apa-apa saja dia sudah ngomong seenaknya. Kuakui memang Pak Takeda sangat baik, terlalu baik malahan. Tapi bapak-bujang satu itu tak pernah melalaikan tugasnya sebagai seorang guru. Sepenglihatanku sih begitu.

"Nilaimu turun. Enam dari total sebelas pelajaran."

Sedikit. Biar kukoreksi, turun dua angka. Itupun nilai satuan saja. Sampai diperhatikan sebegitunya?

Tadinya ingin kusangkal, sungguh. Aku ingin sekali menjelaskan kenapa nilaiku bisa turun. Ada apa dan bagaimana
hari-hariku berjalan belakangan. Tapi nggak jadi deh. Siapa sangka beberapa Guru BK justru orang dibalik menyebarnya gosip di lingkungan sekolah? Menceritakan masalah-masalah anak didiknya ke setiap kelas yang ia masuki.

Nggak semuanya gitu, tapi Bu Maiko gitu. Aku diam saja.

"Ibu lihat kamu sering berkumpul bersama anak voli ya?"

"Benar, Bu." Aku mengangguk pelan, menyembunyikan gestur gusar sebaik mungkin. "Kembaranku pemain starter. Aku sering ikut nonton."

"Oh, si Tanaka kelas IPS 1." Bu Maiko berkata dengan nada sinis, "Sama saja kalian."

Helaan nafas tak bisa kutahan, "Baik, Bu. Setelah ini aku akan berusaha lebih baik lagi."

Kulihat Bu Maiko mengangguk puas,
"Baguslah. Kalau tidak, kesempatanmu untuk kuliah di Tokyo akan hangus. Butuh nilai rapor yang stabil untuk diterima di universitas ternama seperti itu. Mengerti?"

"Mengerti."

Netraku menangkap figur Kak Shimizu yang berjalan keluar, beriringan dengan Kak Asahi yang membawa setumpuk buku. Keduanya tersenyum kearahku, aku membalas singkat.

Kemudian Bu Maiko menatapku.
Lekat-lekat, dari atas ke bawah.

"Pantas saja kau betah di Klub Voli, enak ya dikerumuni cowok-cowok? Serasa diperlakukan seperti tuan putri?"

Ah, kesini lagi bahasannya.

"Maksud Ibu?"

"Kamu itu harusnya nyadar. Kamu nggak cantik kayak Shimizu. Makannya kamu harus pinter, biar bisa bertahan. Kamu nggak punya apa-apa lagi selain otak."

Aku mengangguk tanpa menjawab, membungkuk sebagai tanda pamit. Berjalan keluar dengan dada yang sesak. Sialan. Guru macam apa Bu Maiko?

Setiap manusia itu bentukan dari masa lalu. Betul. Benar. Tapi sayangnya nggak semua proses pendewasaan berakhir mendewasakan, ada yang justru malah semakin menjerumuskan. Aku capek banget. Selalu dituntut harus melakukan ini-itu, dipaksa berpikir dewasa sebelum waktunya.

Kalau boleh jujur, setiap kali seseorang berkata "kamu dewasa banget untuk anak seusiamu" pikiranku melayang ke belakang. Jauh-jauh hari, saat ada manusia yang melakukan hal yang tidak sepatutnya dilakukan. Mengatakan topik yang seharusnya tidak diperbincangkan.

Tak peduli seberapa kuat aku berusaha, sebanyak apa dukungan yang kudapat, seberuntung apa aku memiliki kakak yang siap membantu kapapun, pada akhirnya aku tetap jatuh. Aku tetap diam pada pemikiran bahwa aku tak cukup baik. Aku masih kurang, dan akan selalu kurang.

Padahal sejak awal aku tak pernah peduli pada valiadasi. Hidup dari pengakuan orang lain adalah penyiksaan, jauh dari yang namanya kebahagiaan. Pikiran sehari-harinya terfokus untuk memenuhi ekspektasi lain orang.

Tapi kenapa tetap saja rasanya sakit? Aku tahu aku nggak bisa buat semua orang ngerti bahwa membandingkan derita bukanlah cara memanusiakan manusia. Bahwa berpikir "ah, orang lain ada yang lebih sulit hidupnya daripada aku" adalah salah. Aku tahu teorinya, semua untaian kata itu masih melekat dalam kepala.

Tapi kenapa sesakit ini? Disadarkan oleh realita bahwa fisik bukanlah segalanya namun tetap saja awal dari semuanya?

effort. | tobio Donde viven las historias. Descúbrelo ahora