Bab 1. Jabang Narada Shaki

2.8K 344 107
                                    

          "Bangsat!"

Brai berjengit. Teriakan itu membuncah ke angkasa, menggema jadi suara-suara tak kasat mata. Dia menoleh, celingak-celinguk. Dia tidak tahu kalau di zaman sekarang masih ada yang mengumpat dengan kosakata itu. Biasanya jauh lebih modern, dengan imbuhan bule. Ternyata sekarang masih ada, dan Brai bingung.

Dia berjingkat sekilas, mencoba mencari jalan steril. Sekiranya bebas dari serangan batu dan sepatu kedua belah pihak. Matanya memindai sekeliling, namun tak dia temukan barak perlindungan yang mumpuni. HP-nya berbunyi, namun dia tidak cemas ketahuan. Suara teriakan dan pukulan-pukulan berhasil meredam suara HP-nya dengan nada tulalit biasa itu.

Jami is Calling...

Brai mengembuskan napas. Nanti saja dia angkat, sekarang suasana tidak memungkinkan. Dia sayang HP-nya, meski sudah bertahun-tahun dia gunakan. Kakinya kembali melangkah cepat, melompat ke balik pohon untuk menghindari lemparan batu yang sedari tadi memburu satu sama lain.

Dia berhasil mencari tempat berlindung untuk menelepon sahabatnya.

"Gua terjebak!" lirihnya.

"Ha? Apa?" Suara di sana terdengar menyebalkan karena sama sekali tidak bisa membaca keadaan. Mungkin budeg, atau memang Jami yang sok tidak tahu.

"Jemput gua!"

"Hih, ogah!"

Tuh, kan!

Jami tahu, namun dia sok tidak tahu.

"Kalo lo nggak jemput gua, gimana gua bisa pulang?"

"Gua nggak ada guna di sana. Menghindar dari perasaan sayang ke Namida ada gua nggak bisa, gimana gua bisa menghindar dari lemparan batu!"

Sialan, malah gombal!

Brai menggerutu. Dia memutus sambungan telepon, lantas memasukkan benda itu ke dalam saku. Beberapa saat setelahnya dia menoleh ke sekeliling. Namun naas, seorang cowok memergokinya.

"Jancuk!" umpatnya.

Brai jelas tahu itu umpatan yang sudah biasa zaman sekarang. Bukan sekadar bangsat-bangsat tak jelas yang jarang digunakan oleh kalangan anak muda. Cowok itu melotot garang, mengacungkan balok kayu ke arahnya. Brai menelan ludah.

"Lo anak mana?!"

Sudah jelas seragamnya sama! Jangan salahkan Brai, lah! Ini kan jalan pintas untuk pulang. Kalau tahu akan begini jadinya, dia tidak akan lewat tempat ini! Sebenarnya ini bukan jalan pintas untuk pulang saja, tetapi juga untuk bolos. Sayangnya jalan ini adalah perpotongan antara SMA swasta sebelah dan sekolahnya. Jadi kalau ada materi "bolos", jelas mereka akan reunian di sini.

"Bukan anak mana-mana, Bang! Eh..." Brai keder. Selain karena ogah berurusan dengan para gerombolan yang sedang tawuran ini, dia juga tidak ingin menghabiskan waktu percuma.

"Awas lo kalo sampe berkhianat buat jadi mata-mata musuh!" ancamnya lagi.

Elah, begini doang sok jadi mata-mata macem agen FBI aja, ah!

Brai ingin meloloskan diri, namun suara yang sangat dihafal oleh ratusan siswa sekolahnya kembali terdengar. Bel masuk jam ketiga. Suara belnya begitu norak, mirip suara sirine kebakaran yang ada di mobil PMK. Cowok tawuran itu menoleh ke arah temannya, lalu mengangguk dan melarikan diri.

Sialan! Nggak jadi bolos!

Brai menggerutu, lantas kembali ke sekolah. Rencananya gagal untuk bolos barang sejam atau dua jam untuk menemui Jami di warung depan perempatan sana. Gara-gara jam pelajaran pertama dan kedua dihuni oleh Mr. Semit – begitu anak-anak kelas memanggilnya – mengharuskan Brai harus melarikan diri. Dia tidak suka Mr. Semit, lantaran guru bule itu senang main mata dengannya.

Secret YouthKde žijí příběhy. Začni objevovat