"SAH!!!"
Teriakan menggema di dalam sebuah ruang tamu, yang luas dan megah. Semua yang ada di sana tertawa dan tersenyum bahagia. Terutama sang pengantin, yang kini sah menjadi suami istri.
Selesai ijab kabul, proses tukar cincin dan tanda tangan buku nikah pun dilakukan. Semua saksi ikut tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah sang mempelai perempuan. Hanya satu orang, yang tak sanggup mendongak dan hanya mampu menunduk untuk menyembunyikan kesedihan.
Bella, adalah orang itu. Kakak kandung dari sang mempelai wanita, yang jelas sedih karena suami adiknya adalah pria yang beberapa minggu lalu masih berstatus kekasihnya.
Bella tak mengerti, alasan apa yang membuat mantan kekasihnya itu berpaling darinya. Jika pada orang lain, mungkin Bella masih bisa memaklumi. Tapi pada adik sendiri? Bella tak bisa melupakan kesedihannya dalam waktu yang singkat.
Semua orang di sana bersorak riang. Sementara Bella, harus menahan tangis sekuat tenaga saat melihat pengantin pria mencium kening pengantin wanita. Pelan, Bella bangkit berdiri dan menaiki tangga. Berjalan menuju kamarnya. Mengabaikan tatapan ejek dan prihatin dari semua yang menyaksikan.
***
Pagi hari, Bella sudah siap dengan pakaian kasualnya. Celana jeans panjang berwarna hitam dan blouse berwarna hijau tosca. Rambutnya yang panjang kecoklatan disanggul ke atas. Dengan sebuah tas selempang hitam tersampir di bahu kanannya.
Hari ini, Bella berniat pergi dari rumah. Maksudnya, pergi jalan-jalan bersama dengan teman-temannya. Berdiam diri di rumah dengan kondisi yang menyesakkan hanya akan membuat dirinya semakin terpuruk. Dan Bella tak mau terus menerus dikasihani.
Setelah selesai memakai flatshoes hitam miliknya, Bella pun berjalan keluar dari kamarnya. Pemandangan pertama, Bella harus bertatap muka dengan mantan kekasih, yang sejak kemarin berubah status menjadi adik ipar.
Tak mau terlalu lama bertatapan, Bella pun langsung membuang muka. Berjalan menuruni tangga tanpa menyapa terlebih dulu. Di lantai satu, ada orangtuanya. Mereka, yang mungkin memiliki sedikit perasaan bersalah pada Bella berusaha menyapa ramah. Namun, Bella sadar kalau sejak dulu dia memang anak yang paling diasingkan. Bahkan, Bella mendengar sendiri bagaimana ibunya berkata kalau Bella adalah anak yang tak berguna.
"Selamat pagi, Bel. Sarapan dulu bareng. Ibu sudah siapkan."
"Tak perlu. Aku mau sarapan di luar bersama teman." Bella menjawab singkat dengan senyum kecil. Kemudian berjalan lagi, mengabaikan tatapan kedua orangtuanya.
Saat berada di teras, Bella tersenyum. Memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Ah, suasana luar rumah memang selalu menjadi yang terbaik bagi Bella. Berbeda dengan di rumah.
Bella sudah janjian dengan salah satu teman seprofesinya untuk bertemu dan sarapan bersama di cafe. Katanya sih, ada yang perlu di diskusikan. Berharap saja, tentang pekerjaan. Karena sudah sebulan ini Bella tak bekerja. Anak didiknya yang terakhir sudah masuk asrama.
Setelah taksi online yang dipesan Bella datang, Bella pun segera masuk. Menyebutkan alamat cafe, tempat janjian dia dengan temannya.
***
Lazzis cafe, adalah sebuah cafe yang cukup terkenal di daerah tempat tinggal Bella. Bella sering mengunjungi cafe itu untuk sekedar menghabiskan waktu, atau berkumpul dengan teman-temannya. Tak jarang, Bella mengajak anak didiknya untuk makan bersama di sana.
Sekarang, Bella sedang bersama Tria, teman satu profesinya. Mereka berteman sejak masih kuliah dan sampai sekarang masih sering berkomunikasi. Tria yang sangat sibuk sering mendapatkan permintaan jadi guru privat. Karena tak bisa memenuhi semua permintaan, kadang Tria menawarkannya pada Bella. Dan Bella yang tak sesibuk Tria selalu menerima tawarannya.
"Sekilas, kamu terlihat baik-baik aja, Bel. Tapi aku yakin, hatimu enggak," ucap Tria lalu menyeruput es jeruknya perlahan.
"Mau bagaimana lagi. Revan lebih memilih Hera ketimbang aku. Dan keluargaku pun, lebih mendukung Revan bersama adikku ketimbang aku. Dalam segala hal, aku selalu kalah jika dibanding dengan adik-adikku." Bella membalas, mencurahkan isi hati. Tria hanya menghela nafas pelan mendengarnya.
Dia sendiri, tak mengerti kenapa Bella di bedakan. Dari segi rupa, Bella tak kalah cantik. Dari segi otak, Bella malah yang paling pintar dan cerdas. Menurut Tria, dari segi tata krama pun, Bella yang paling bagus. Walau anak kaya raya dan punya penghasilan besar, Bella tak pernah sombong. Beda dengan adik-adik Bella yang memang sedikit sombong dengan status mereka.
"Sabar aja, Bel. Bukan jodohmu. Masih mending mereka ketahuan sebelum kamu menikah. Kalau sudah? Ya lebih sakit." Tria mencoba untuk menghibur. Dan Bella tersenyum, mengangguk pelan.
"Ya, aku tak tahu kapan jodohku datang."
"Biasanya sih, yang sering tersakiti kayak kamu nantinya dapet jodoh yang lebih baik dari yang lain. Aku yakin deh soal itu."
"Kenapa kamu seyakin itu?"
"Karena kamu juga baik, Bel. Jika Revan itu pria baik, dia gak akan mungkin ngelakuin hal ini. Kalau dia baik, saat dia merasa lebih tertarik pada Hera setelah berpacaran denganmu, dia harusnya mundur saja. Jauhin kalian berdua. Bukan malah begini."
"Ya, kadang aku berpikir begitu. Tapi kan, bukan hanya Revan yang melakukan ini. Maksudku, yang sebelum-sebelumnya, juga begitu. Ayolah, Tria. Aku sudah punya dua adik ipar sekarang. Dan dua-duanya, adalah mantan kekasihku."
"Iya. Buat simpel saja. Mereka bukan jodohmu."
"Ya. Aku sedang berusaha menerima."
Untuk beberapa saat, mereka sama-sama terdiam. Sampai akhirnya, Bella ingat tujuan utama Tria yang mengajaknya untuk bertemu.
"Eh, ngomong-ngomong, yang mau kamu diskusikan apa?" tanya Bella. Tria melotot, kaget. Baru ingat tujuan utamanya.
"Ah ya. Maaf, aku lupa."
"Jadi, kemarin ada yang datang ke rumah. Dia minta aku untuk jadi guru privat anaknya. Katanya, dia tahu aku dari beberapa temannya. Dan jadwalku sangat penuh sekarang, Bel. Makanya aku menemuimu. Kalau mau, mungkin kamu bisa mengambilnya."
"Tri, dari dulu aku gak pernah nolak tawaran dari kamu kan? Kamu tahu sendiri kalau jadwalku gak sebanyak kamu. Yang jadi pertanyaan, apa dia mau aku yang jadi gurunya?"
"Aku sudah bilang kalau aku gak bisa. Dan aku udah nawarin kamu buat jadi gurunya. Dia sudah mengatakan beberapa hal yang harus kamu lakukan. Dan aku yakin, kamu bisa melakukannya."
"Syarat maksudmu?"
"Ya, semacam itulah."
"Apa syaratnya?"
"Harus santai. Gak boleh terlalu menekan anaknya nanti. Dan, harus sabar juga. Dia bilang, anaknya cacat fisik sejak lahir. Jadi, anaknya juga kurang percaya diri. Selain itu, anaknya suka ketus diawal. Itu karena dulu, pernah ada guru privatnya yang mengatai anaknya tak berguna."
Bella terdiam mendengar ucapan panjang Tria barusan. Hatinya terasa perih mendengar itu. Dia tahu bagaimana rasanya dikatakan tak berguna oleh orang lain. Dia, yang sudah dewasa saja pernah menangis karena hal itu. Apalagi ini, seorang anak kecil.
"Aku ambil deh. Ya, aku akan mencoba. Semoga saja anaknya mau."
Tria tersenyum lebar mendengar itu. Sebenarnya, dia juga bisa mengambil tawaran itu. Tetapi, Tria tahu Bella lah yang lebih tepat untuk menjadi guru anak itu.
"Oke. Nanti aku hubungi kamu lagi tentang yang lainnya."
_______________________________________
Hai hai...
Bagaimana??
Jangan lupa vote dan komennya ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
RomanceBella, seorang guru privat yang masih lajang disaat sepupu bahkan adiknya sudah berumah tangga. Entah apa yang salah, setiap berusaha menjalin hubungan, semua laki-laki yang berkenalan dengannya selalu oleng pada sepupu bahkan adiknya. Sedih, jelas...