3

2.5K 311 3
                                    

Seperti kemarin, siang ini aku akan mengunjungi Mark di kantor nya. Aku melepaskan jas putih yang melekat di tubuhku dan meletakkannya di dalam mobil. Tanganku meraih tas hitam kecil sebelum akhirnya benar-benar menutup pintu mobil.

Dengan santai, aku pun berjalan masuk ke kantor. Sejak konfirmasi mengenai diriku yang merupakan kekasih sang atasan, banyak orang yang menyapaku kali ini. Mereka membungkuk, membuatku mau tak mau harus ikut membungkuk juga. Aku yang sebenarnya sedang lelah pun menjadi lebih lelah. Akhirnya aku memutuskan untuk ke toilet sebentar.

Aku memasangkan terlebih dahulu masker hitam diwajahku, sebelum keluar dari toilet. Mataku tak sengaja mendapati pantulan diriku di cermin, setidaknya mereka tidak akan terlalu mengenaliku dengan menggunakan masker itu.

Aku melanjutkan perjalananku menuju lift

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku melanjutkan perjalananku menuju lift. Disana terlihat dua orang wanita sedang menunggu lift yang sama denganku. Aku mendesah kecewa ketika ternyata dua orang itu bukanlah Yeri dan Koeun. Akhirnya aku pun menunggu lift dengan perasaan setengah bosan. Saat pintu lift terbuka, aku masuk mengikuti dua orang yang tadi. Dan seperti biasa, aku berjalan lebih dalam dibandingkan yang lainnya agar bisa berdiri di pojok lift.

"Tadi pagi aku mendengar Tuan Lee berbicara ditelepon dengan seseorang."

Kata-kata wanita berambut pendek itu cukup menarik perhatianku. Aku bergidik ngeri, apakah karyawan disini tidak mempunyai bahan pembicaraan yang lain selain Tuan Lee?

"Mungkin dengan kekasihnya," jawab temannya dengan tenang.

Denganku? Bahkan aku saja belum berbicara dengannya sejak pagi.

"Tidak. Aku mendengarnya menyebut nama orang lain, bukan kekasihnya," sergah wanita yang tadi memulai pembicaraan.

Temannya terlihat kaget sebelum akhirnya merenyit bingung. "Mungkin klien atau kerabatnya," katanya. Dari nadanya berbicara terdengar sekali dia sendiri tidak begitu yakin dengan ucapannya barusan.

"Aku baru tau jika Tuan Lee bisa berbicara semanis itu selain kepada kekasihnya."

Aku terdiam, tapi dalam hati aku benar-benar penasaran mengenai kebenaran dari ucapan mereka. Jika Mark berbicara manis dengan seseorang di telepon, mungkin ia sedang berbicara dengan Bubu.

Pintu lift terbuka, aku melewati dua orang itu dengan segera dan berjalan menuju ruangan Mark. Setelah sampai di depan pintu coklat itu, aku mulai mengetuknya perlahan untuk memastikan ada seseorang yang kucari di dalamnya. Tak lama terdengar suara intruksi dari Mark yang menyuruhku untuk masuk kedalam ruangannya.

Ketika pintu sudah terbuka, aku mendapati Mark yang tengah mengetik sesuatu di laptopnya. Entah hanya perasaanku saja atau tidak, wajahnya terlihat berseri hari ini.

"Ada apa dengan wajahmu?"

"Huh?" Aku terhenyak ketika suara Mark menarikku dari alam lamunan. "Hanya untuk menyamar," jawabku sambil berjalan menuju sofa untuk mendudukan diri.

Mark masih fokus dengan pekerjaannya. Maka dari itu aku memilih untuk mengeluarkan note beruang beserta ballpoint sambil bersandar pada sofa yang tidak lebih empuk dibandingkan kasur di kamarku. Notebook ini adalah pemberian Mark ketika kami berkunjung ke toko buku di daerah Shanghai. Aku bukan kolektor note, hanya saja aku memiliki hobi menulis sebuah cerita. Tidak mungkin aku membawa laptop kemana-mana, karena itu akan sangat mengganggu. Oleh karena itu aku hanya membutuhkan note untuk sekedar menumpahkan ide-ide di kepalaku.

"Cerita baru?" tanya Mark yang sepertinya baru saja melirikku.

Aku mengangguk sambil berdeham untuk menjawab pertanyaannya tersebut.

"Apa kali ini kau akan mengirimkannya kepada salah satu perusahaan penerbit?"

Aku mendongak menatapnya sambil tersenyum. Dia terlihat mengangguk-angguk pelan, karena tau jawabanku masih sama seperti sebelumnya.

Memiliki hobi membuat cerita bukan berarti harus menerbitkannya, kan? Lagipula aku sudah sangat mencintai pekerjaan jas putihku saat ini. Mengenai material, aku merasa sudah lebih dari cukup. Toh, Mark masih mengizinkanku untuk terus melanjutkan pekerjaanku, meskipun nanti kami sudah menikah. Tapi Mark pernah mengatakan jika aku harus menerbitkan sebuah buku dan menjadi penulis. Alasannya adalah nanti ketika kami mengadopsi anak, aku otomatis harus berhenti dari pekerjaanku saat ini dan berdiam diri dirumah. Agar tidak mati kebosanan, aku bisa membuat sebuah cerita yang tentu saja akan bermanfaat dan menghasilkan sesuatu yang tentu saja berguna bagi diriku sendiri.

"Apa Bubu mengatakan sesuatu?" tanyaku ketika tiba-tiba pembicaraan kedua orang di lift tadi melintasi pikiranku.

Mark menutup laptopnya kemudian menatapku yang kini masih sibuk dengan aktivitasku. "Aku belum berkomunikasi lagi dengannya beberapa hari ini."

Spontan saja aku menghentikan aktivitasku dan memilih untuk menatapnya. "Benarkah?" tanyaku sambil membaca manik matanya.

Mark terlihat kebingungan dengan tatapanku padanya. Ia kemudian berjalan mendekatiku sebelum akhirnya duduk disampingku. "Ada apa?" tanyanya sambil merapikan poniku yang sudah mulai memanjang.

Aku bingung harus bereaksi seperti apa sekarang. Mataku masih menatap makin matanya, sebelum akhirnya tersenyum. "Aku tadi berusaha meneleponmu, tapi panggilanmu sedang dialihkan. Aku pikir kau sedang berbicara dengan Bubu," kataku berusaha terlihat sesantai mungkin, agar Mark tidak mencium kebohonganku.

Mark terdiam, sepertinya ia tak berniat menjawab pertanyaanku membuatku harus menelan bulat-bulat pertanyaanku mengenai dirinya. "Apa kau sibuk?" tanyanya tiba-tiba seolah pembicaraan mengenai telepon tadi tak pernah terjadi.

Aku sendiri tidak terlalu ambil pusing. Bukan tipeku untuk memaksa orang lain menceritakan hal yang tidak ingin dia ceritakan. Mark pasti mengerti hal itu karena dia juga tipikal yang sama denganku. "Kau menginginkan sesuatu?"

Mark mengangguk sebelum akhirnya menggenggam tangan kiriku. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," katanya membuat senyumku mengembang tak tertahankan. Dia tau bagaimana cara untuk membujukku agar mau memenuhi permintaannya.

Aku melepaskan ballpoint di tangan kananku dan mengusap pipinya lembut. "Selesaikan dulu pekerjaanmu," kataku lembut.

Mark tersenyum. Ia bangkit dari duduknya sambil menarik tanganku agar mengikutinya keluar ruangan. "Aku sudah menghabiskan waktu dengan pekerjaanku itu, sekarang aku ingin menghabiskan waktuku dengamu."

Aku tertawa pelan mendengar perkataan yang Mark lontarkan sambil menyeimbangi langkahku dengan langkah lelaki didepanku ini. Baru saja kami hendak menaiki lift, benda pipih di saku mantelku tiba-tiba berdering membuat kami mengurungkan niat untuk melangkahkan kaki ke dalamnya.

Belum sempat aku menyapa penelepon, suara diseberang sana sudah lebih dulu mengeluarkan kalimat. "Dokter Lee, pasien Bronkitis di kamar 408 yang kemarin kau tangani kini sedang membutuhkanmu. Apakah kau bisa memeriksakannya? Dokter Moon sedang menangani pasien operasi."

"Ah baiklah, aku akan segera datang," kataku merespon ucapan salah satu pegawai rumah sakit yang aku sendiri tidak tau siapa namanya.

Aku mendongak melihat Mark yang tengah menatapku bingung. "Seorang pasien membutuhkanku segera, mungkin lain kali kita bisa menghabiskan waktu."

Setelah mengatakan hal tersebut, aku kemudian mengecup bibirnya sekilas dan melangkahkan kakiku memasuki lift. Sebelum pintu lift tertutup, aku sempat melihat ada ekspresi yang aneh dari wajah Mark. Dia terlihat hendak mengatakan sesuatu. Namun aku tidak bisa melakukan apapun, karena ini menyangkut nyawa seseorang.

🍁

×

🍁

TBC

The Wishing Tree | MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang