Bel pulang sekolah telah menggema di seluruh penjuru sekolah–tanda seluruh kegiatan yang berlangsung di dalam area sekolah telah berakhir. Terukir jelas senyuman lebar pada wajah seri siswa-siswi yang kala sebelumnya memasang wajah lesu.
Tak dapat dipungkiri, mata pelajaran sosial merupakan musuh semua orang di kelas 2-1. Mata pelajaran yang paling dihindari–setelah matematika tentunya.
Gue segera menutup seluruh buku yang tadi gue gunakan ketika pembelajaran. "Saya tidak berkata kalau pelajaran telah ditutup bukan?" Pertanyaan ringan dari guru sosial sementara tersebut sukses menciptakan kegaduhan seluruh murid kelas 2-1.
Kelas menjadi ricuh, semua keluhan yang sejak tadi ditahan-tahan kini lolos dari kerongkongan semua orang di dalam sini. Bang Yedam, selaku ketua kelas segera berdiri mantap dari tempat duduknya.
Ia membungkuk hormat pada guru tersebut, "Mohon maaf jika kata-kata saya kurang berkenan, Pak. Tetapi perlu bapak ketahui bahwa banyak siswa dan siswi di kelas kami memiliki kegiatan penting di luar sekolah–"
"Tidak ada penyangkalan, pelajaran sosial kita lanjutkan hingga bab ini selesai! Segera duduk dengan tenang dan buka buku kalian masing-masing!" Potong beliau seraya membuka kembali buku dan menulis beberapa kata di papan tulis.
Gue menghela nafas kasar–lantas membuka buku yang terlanjur gue masukkan ke dalam tas.
• • •
"Baik, kita tutup pelajaran sosial pada sore ini. Selamat sore, selamat beristirahat dan pulang ke rumah dengan selamat," Tukas beliau seraya melangkah keluar ruang kelas kami. Udara dingin semilir masuk dari jendela kelas membuat rasa kantuk semakin menguasai tubuh gue.
Setengah jam setelah bel pulang sekolah berkumandang telah kami lalui di dalam kelas sembari mendengarkan celotehan sang guru sosial pengganti yang menerangkan materi dari dalam buku.
Semua buku-buku telah tertata rapi dalam tas, tak lupa untuk meregangkan otot-otot sembari menguap kencang tak tertahankan. Tak selang beberapa lama, gue memanggul tas pada punggung dan menyusul teman-teman yag tengah berkeluh kesah.
"Hari yang menyebalkan rupanya," Ucap Yujin semari mengusap-usap matanya, dapat ditebak bahwa dirinya–pemilik julukan sang tukang tidur di kelas–telah tertidur selama setengah jam terakhir.
"Pea ANJR*T! Mana gue terlambat latihan renang!" Keluh Yuna sembari memijit-mijit ponselnya dengan tempo super cepat. Yuna merupakan atlet renang kebanggaan sekolah kami, ia telah berhasil menjuarai banyak kompetisi renang.
Jinsung menepuk dahinya keras–gue tebak itu pasti sakit. Ia berhasil meloloskan kata-kata umpatan dari mulutnya yang sempat membuat gue tercengang, "Wah J*NC*K S*AL*N gue bolos futsal, padahal sebentar lagi ada pertandingan AS* B**I M*NY*T."
Somi mengangguk setuju, "Gue juga skip latihan taekwondo AN**NG! Mana bentar lagi gue sabuk hitam, K*MPR*T kalau ketunda cuma gara-gara pelajaran sosial!"
Doyum menghela nafas panjang, tampak dirinya memijat pangkal hidung berkali-kali, "Gue terlambat part-time, takut-takut gaji gue ikut kepotong." Gue menatap Doyum sedih. Tampaknya pemuda tersebut merupakan seorang pekerja keras.
Eunsang mengangguk, "Gue juga ada janji bantu tetangga gue yang baru pindahan."
Yujin menghela nafas kasar, "Guru sosial pengganti itu kacau banget ya? Bukan cuma kali ini kita ditahan buat pulang. Semua kegiatan kita ketunda. Gue harap, guru sosial kita yang asli segera balik."

YOU ARE READING
boyfriend ; treasure✓
Fanfiction↬ completed Bagaimana rasanya dikelilingi tiga belas laki-laki yang menyukaimu?