7

24.9K 1.5K 100
                                    

Arum merasakan ada yang janggal pada tubuhnya, pada pagi hari tadi tiba-tiba dirinya mengalami mual, namun saat ia memuntahkannya di wastafel, hanya keluar cairan bening. Terhitung sudah berapa kali ia bolak-balik ke wastafel.

Arum mengelap bibirnya menggunakan punggung tangan, bersandar lemas pada tembok yang ada di sana. Sebenernya ada apa dengan dirinya? Tidak mungkin ini masuk angin biasa. Tiba-tiba Susan datang menghampirinya ke dapur.

"Kenapa lo? Muntah-muntah gitu, hamil lo ya?" tanyanya dengan nada mencemooh.

Sesaat tubuh Arum menegang. Hamil?

"Engga, San, mungkin aku salah makan tadi," ujar Arum.

Susan tersenyum sinis, "udah deh ngaku aja lo, Abis dipake om-om 'kan lo? Abis dipake dimana lo? Dibayar berapa?" tanya Susan mengejek.

"Astaghfirullah, Susan, demi Allah aku ga pernah berbuat seperti itu," sergahnya.

"Maling mana ada yang mau ngaku, lo tuh ibarat maling yang udah ketangkep basah. Hamil anak siapa lo?" tanya Susan mendesak.

Arum tetap kekeh, "engga, San, demi Allah aku ga berbuat seperti apa yang kamu pikirkan."

"Gausah bawa-bawa tuhan! Oh iya wajar sih ya, mungkin aja nyokap o dulu hamil diluar nikah, terus malu ngelahirin lo, eh lo dibuang deh ke panti. Ck, ck, ck. Kasian gue sama lo. Emang ya, buah jatuh ga jauh dari pohonnya."

"SUSAN!" Arum membentak, "selama ini aku diem ya kamu ngehina-ngehina aku, tapi kalo kamu hina orang tua aku, aku ga akan tinggal diam," lanjutnya.

"Meskipun aku gatau bagaimana dan dimana orang tua aku, tapi tetep aja mereka orang tua aku."

Susan mendecih, "kalo lo ga hamil kenapa lo marah?" tanya Susan membuat Arum terdiam.

"Yaudah deh, ga peduli juga gue sama lo, gue juga males ngobrol sama orang miskin, entar kulit gue gatel-gatel lagi." Susan meninggalkan Arum. "Oh ya, jangan lupa mulai malam ini, Lo tidur di kamar bi Ijah sama anak pincang itu," ujar Susan sebelum benar-benar meninggalkan Arum.

Arum termenung memikirkan perkataan Susan tadi. Apakah benar ia hamil?

"Kak?" Suara lembut seorang gadis mengalun di telinganya. Arum tersadar, lalu menatap Kia.

"Kenapa, Ki?" tanyanya.

"Harusnya Kia yang tanya kakak, kakak kenapa? Kakak lagi ga sehat? Biar Kia bikinin teh ya, kak?" Tawar Kiara.

"Gausah, Ki, kakak ga papa kok."

"Tapi muka kakak pucet, gapapa kok kak, Kia masih bisa bikinin teh buat kakak, kakak duduk aja ya."

Arum mengangguk kemudian duduk di bangku yang ada di sana. Dengan tenaga dan kemampuan yang ada Kia mulai membuatkan Arum teh.

Arum melihat Kia yang sedikit kesulitan saat akan membawakan teh untuknya. Karena tangan Kia yang satu memegang tongkat. Arum berdiri, lalu menghampiri Kia.

"Biar kakak aja, makasih ya," ujar Arum lalu menerima tehnya. Ia kembali duduk kemudian meminum tehnya.

"Kak, Kia ke kamar dulu ya, masih ada pr yang harus Kia kerjain," pamit Kia.

Arum mengangguk, "kalo ada yang susah bilang kakak aja ya," tawar Arum.

Kia meninggalkan dapur. Arum memandang punggung Kia yang mulai menjauh, Arum menghembuskan nafas pelan.

Arum termenung, apakah yang tadi Susan bilang itu benar?


***

Takdir apalagi ini? Mengapa semuanya menjadi rumit, semesta seakan tidak memberi ketenangan untuknya, kini dirinya harus diuji oleh kehadiran satu embrio di dalam perutnya.

Arum menggeleng takut. Tidak! Tidak boleh ada yang mengetahui tentang kehamilannya ini. Bisa habis dia jika orang rumah tahu.

Arum meninggalkan kamar mandi dengan perasaan kalut, tanpa sadar jika testpack nya tertinggal di sana.

Waktu berlalu, sekarang ini sudah petang dan hampir magrib, Rama sudah kembali dari kantor.

Arum sedang membereskan ruang tamu saat ini. Ia mencoba untuk bersikap biasa saja, meskipun dadanya bergemuruh karena tengah menyimpan sebuah rahasia yang menyangkut masa depannya. Arum tersentak kaget saat tangannya ditarik oleh seseorang, kemudian orang itu menampar kuat pipi Arum.

Arum memegangi pipinya, ia menengok, dan ternyata Rama lah yang menamparnya.

"Mas, kenapa Arum ditampar?" tanya Arum bingung, padahal Arum merasa tidak melakukan kesalahan apapun.

Tanpa menjawab pertanyaan Arum, Rama segera menarik tangan Arum dan mendorong Arum hingga tersungkur, Arum segera melindunginya perutnya agar tidak terbentur lantai. Rama ingin menendang perut Arum, namun Arum menahannya.

"M--Mas, jangan tendang perut aku Mas, aku mohon," pintanya.

"Kenapa?" tanya Rama ketus. "Apa karena ini?" tanya Rama ulang sambil menunjukkan benda persegi bergaris dua tersebut.

Arum ingat, ia telah meninggalkan testpack itu dikamar mandi, saking kacau pikirannya, ia lupa jika benda itu masih ada disana.

Ia sedikit merutuki tindakannya yang memakai kamar mandi bawah. Arum pun juga tidak menduga, jika Rama akan menggunakan kamar mandi itu. Biasanya, Rama selalu menggunakan kamar mandi pribadi di kamarnya.

"Ini punya kamu, kan?" Rama membentak Arum.

Arum mengangguk dengan tubuh gemetaran, melihat hal itu, kontan membuat Rama tertawa sinis.

"Anak siapa ini?" desisnya tajam.

Arum bangkit dan menatap Rama.

"Mas, ini anak Mas Rama, Mas, Arum mohon percaya sama Arum, Mas," pintanya.

Rama membuang pandangannya, "gugurkan!" perintahnya.

Arum terkejut, memastikan jika pendengarannya itu tidak salah.

"Ap--apa, Mas? Gugurkan?"

"IYA!" jawabnya.

"Mas tapi ini darah daging Mas Rama, ini anak kita, Mas."

"Halah, jangan percaya Mas. Perempuan kaya dia ini pasti perempuan yang mau duitnya doang," hasut Susan yang tiba-tiba muncul.

"Demi Allah Mas, ini anak Mas Rama, waktu itu Mas Rama yang udah nodain Arum."

"KAMU BODOH!" bentak Rama. "Kenapa kamu ga langsung minum obat pencegah kehamilan? Oh apa kamu sengaja ya menjebak saya?" tuduh Rama.

Arum menggeleng, "engga, Mas."

"Saya ga akan mau tanggung jawab, saya gamau punya anak dari perempuan seperti kamu," tukasnya.

"Pilihannya ada dua, kamu gugurkan bayi itu atau kamu angkat kaki dari sini." Rama memberikan opsi yang sangat kejam.

"Lebih baik Arum pergi dari sini, Mas, daripada Arum harus bunuh janin yang ga berdosa ini," mutlaknya.

"Eh bagus deh, kebetulan banget gue juga udah beresin baju-baju lo, supaya lo cepet minggat dari sini." Susan melempar tas berisikan pakaian Arum.

Rama mencengkeram tangan Arum, lalu menariknya menuju keluar dan mendorong Arum hingga terjatuh.

"Pergi kamu, pergi jauh-jauh, jangan pernah menginjakkan kaki kamu lagi di sini!" usir Rama.

Kia datang dengan tongkatnya, berjalan tertatih.

"Kak Arum," panggilnya. Kia mencoba membantu Arum berdiri.

"Kak, Kia mau ikut kakak," pinta Kia. "Kia gamau terus-terusan disiksa di sini, kak, Kia mohon, kak," lanjutnya sambil menangis.

Arum memeluk Kia, "iya, Kia," ucapnya berbisik. Arum melepaskan pelukannya.

"Nah yaudah, lo bawa aja tuh sekalian anak cacat itu pergi, udah gue beresin juga tuh!" perintah Susan sambil melempar tas berisikan pakaian Kia.

Susan melenggang duluan ke dalam rumah, sedangkan Rama, ia menatap punggung Arum, hatinya seakan tidak rela jika Arum pergi. Namun lagi-lagi Rama mengenyahkan jauh-jauh pikiran tersebut, lalu menyusul masuk ke dalam.

Tbc

Arumi [End] Where stories live. Discover now