Failed

2.8K 457 18
                                    

Merencanakan penculikan diri sendiri adalah satu hal. Merasa benar-benar diculik adalah hal yang lain. Sakura berusaha untuk tak terlihat gemetar sepanjang perjalanan yang sudah menghabiskan waktu lebih dari setengah jam. Tiga puluh sembilan menit tepatnya, dari perhitungan yang ia lakukan diam-diam dengan sesekali melirik pada petunjuk waktu di layar GPS. Ia dengan sengaja terus-menerus memerhatikan Sasuke dan mendapati dirinya sendiri terbuai dan beberapa kali melupakan rencananya untuk mengingat setiap hal yang mereka lewati.

Ya Tuhan, pria ini tampan sekali, katanya di dalam hati. Tapi Sasuke yang tampan memiliki sikap yang terlalu dingin dan tanpa basa-basi. Setiap kali Sakura membuka mulut dan mencoba memulai pembicaraan, Sasuke hanya akan menjawabnya secara singkat dan jelas sekali memberikan jalan buntu bagi siapa pun yang akan memaksanya kembali membuka mulut.

Tentu saja Sakura tak mudah menyerah. Ia terus berbicara, berbicara, berbicara sampai ia kehausan. Sampai suaranya serak dan memaksanya untuk berhenti. Dan Sasuke tak satu kali pun bertanya apakah Sakura butuh minum, atau butuh ke toilet. Padahal sebelum berkendara dengan mobil pria itu mereka sudah menghabiskan waktu berjam-jam di luar ruangan.

Sasuke menjadi tak berperasaan. Atau seperti dugaannya semula, memang tak memiliki perasaan.

Tapi memangnya apa yang Sakura harapkan dari pria yang baru ia kenal? Hanya karena ia tampan Sakura jadi bertindak ceroboh dan terjebak di situasi sekarang ini.

"Kurasa aku butuh ke toilet," kata Sakura kemudian. Sasuke tak menanggapi dan tak ada tanda-tanda pria itu akan menepikan mobilnya. Kecepatan berkendaranya stabil, sama seperti emosi yang terlihat pada raut wajahnya.

"Aku benar-benar harus ke toilet." Sakura mengulangi dengan sedikit tak sabar. "Kecuali kau ingin aku menjadikan mobilmu sebagai toilet." Sebenarnya kalimat itu sama sekali tak sopan dan bukan kalimat yang biasanya akan ia gunakan. Tapi ia tak dalam kondisi baik untuk mengatur kalimatnya. Ia benar-benar butuh ke toilet, sekarang juga, yang syukurnya dituruti oleh Sasuke.

Sakura langsung berlari keluar setelah mobil diparkirkan di halaman toilet umum besar di pinggiran jalan, menyelesaikan urusannya dengan cepat sambil berkali-kali meringis karena toilet umum itu tak bisa dikatakan bersih untuk standar kehidupannya. Ia baru akan keluar dari tempat itu begitu ia tersadar bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk melarikan diri dari Sasuke.

Ia mengitari tempat itu, memikirkan jalan keluar seraya mencuci lagi kedua tangannya di westafel yang menghadap langsung pada cermin besar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, mengamati penampilannya yang tak jauh berbeda dari beberapa jam yang lalu. Make up yang menempel di wajahnya masih utuh dan sesempurna biasanya. Sakura baru akan menyalakan ponselnya ketika pintu digedor dari luar.

"Sudah selesai?" Nada suara Sasuke terdengar tak sabar. "Perjalanan kita masih jauh."

"Sebentar," jawab Sakura, berusaha ceria. "Tunggu sebentar." Ia berhati-hati menyalakan ponselnya, dan menggigit bibirnya begitu nada pembuka terdengar lirih dan samar-samar. Ia harap Sasuke berdiri cukup jauh hingga tak dapat mendengar hal itu.

Sakura menekan angka tiga pada layar smartphone nya, memutuskan untuk menelepon Sasori yang selalu bersiaga. Panggilannya dijawab pada dering pertama.

"Sakura ..."

"Sasori dengar, aku minta maaf," potong Sakura cepat. "Aku tak tahu semuanya akan jadi begini."

"Kau dimana?"

"Aku di toilet," jawab Sakura sedikit berbisik. Matanya berkali-kali melirik pada pintu toilet yang tertutup. "Toilet umum. Toilet kelima yang kulihat dalam perjalanan selama hampir dua jam."

"Ke kiri atau ke kanan? Dari persimpangan rumah kita?"

"Kiri." Terdengar gedoran lagi dari luar dan kali ini disertai pintu yang terbuka. Sasuke masuk dengan raut berbahaya dan mata yang berkilat kejam. "Sasori maafkan aku."

Eternal Love of DarknessWhere stories live. Discover now