PROLOG

26 0 0
                                    

Naura Prameswari tampak tidak peduli dengan rok abu-abunya yang kotor. Dia duduk di lantai toilet seraya terus menangis, seperti anak kecil yang baru saja kehilangan ibunya.

Naura memeluk lutut dengan erat, kemudian beberapa kali tangannya mengecek ponsel yang dia pegang. Dia berharap lelaki itu akan mengatakan kalau tadi hanyalah sebuah candaan, tetapi tak kunjung ada balasan. Semua pesan dan telepon dari Naura sengaja lelaki itu abaikan. Beberapa detik yang lalu, lelaki itu memblokir Naura di semua sosial media.

Naura beranjak dari duduknya. Dia berdiri, kemudian menatap lama pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak muram, matanya merah dan bengkak karena terus-menerus menangis, rambut acak-acakan yang tidak lagi terikat, pakaian yang kotor dan tampak lusuh. Gadis itu menghela napas kasar dan menarik rambutnya dengan beringas.

"Ah, Sialan! Bodoh!" serunya memaki diri sendiri.

Naura kemudian memukul dada beberapa kali, mengacak-acak rambut dengan frustasi, rahangnya tampak mengeras dan dia memukul keras tembok di samping cermin dengan tangan yang mengepal.

Dia tertawa sinis, diamatinya lekat pantulan diri yang sangat kacau. Rasa sesak di dada semakin menjadi-jadi. Dia belum puas meluapkan segala kegundahannya. Dia ingin mimpi buruk ini cepat berakhir.

Naura masih saja berpikir kalau kejadian beberapa menit yang lalu itu adalah sebuah mimpi. Dia menampar pipinya bergantian, tetapi tetap saja. Dia tak kunjung bangun dari mimpi buruk ini.

"Brengsek!" umpatnya.

Prang...

Naura memukul cermin dengan keras dengan mata tertutup. Dia memandang cermin yang sudah retak itu, kemudian dia tertawa melihat darah segar mengalir dari punggung tangannya. Darah mengalir deras, merembes ke seragam dan menetes ke sepatu hitam milik Naura. Dia tidak menangis, malah tersenyum kecut. Sekarang gadis itu, terlihat seperti pemeran antagonis yang senang telah menindas tokoh yang lemah.

"Kamu gila, ya?" teriak seseorang dari arah belakang.

Naura masih diam, dia tidak menengok ataupun bergerak.

"Kamu mau mati, hah? Udah bosen hidup?" bentak lelaki itu, mendekati Naura yang masih memilih bungkam.

Mata sayu dan sembab itu melirik ke arah Keenan yang tampak membuka seragamnya, menyisakan kaos berwarna hitam yang dia kenakan. Keenan membalut luka di tangan Naura dengan bajunya. Sedangkan, gadis itu hanya memandang kosong tembok putuh di depannya.

"Tanganmu berdarah! Ayo ke UKS!" seru Keenan.

Naura menyembunyikan tangan kanan di balik tubuhnya, dia membuang muka.

"Apa urusanmu?" tanya Naura dengan nada ketus.

"Kamu bosen hidup, Ra? Kamu beneran pengen mati konyol? Apa sih yang kamu pikirin sampai bisa bertindak bodoh seperti ini? Kalau ada masalah itu cerita, Ra. Bukan ngelakuin hal konyol kayak gini." balas Keenan kesal.

Naura menatap Keenan sebentar, kemudian mengalihkan pandang ke arah pintu toilet. Keenan menarik paksa tangan Naura, mencengkramnya kuat. Dia melangkah cepat, diikuti langkah kaki Naura yang terseret dan tampak susah payah menyeimbangkan tubuh.

Keenan dan Naura melewati koridor sekolag yang tampak sepi, karena memang sekolah sudah usai sekitar 30 menit yang lalu. Beberapa orang menengok dan mengamati mereka berdua yang berjalan terburu-buru, tetapi Keenan tidak peduli dia terus saja melangkahkan kakinya dengan cepat. Sedangkan, Naura tampak menunduk dalam, diam-diam menyesali kebodohannya.

Setelah beberapa lama berjalan, lelaki itu berhenti mendadak dan membuka pintu UKS dengan kasar membuat dua orang yang ada di dalam tampak berkejut dan langsung menghampiri Naura.

"Tolong obati dia!" perintah Keenan dengan nada dingin.

"Iya," kata gadis berambut panjang sepunggung dengan pita cokelat yang menghiasi rambutnya.

Setelah luka dibersihkan, tangan Naura dibalaut dengan perban. Rasa perih mendominasi, padahal waktu memukul cermin tadi, Naura seperti orang kesetanan yang tidak merasakan sakit. Gadis itu terlihat meringis ketika diobati.

"Sudah selesai," kata gadis berambut panjang sepunggung itu, diiringi dengan senyuman tulus diwajahnya.

"Terima kasih." Keenan menimpali.

Beberapa detik kemudian, suasana hening. Dua orang anggota PMR tadi pamit keluar dari UKS, menyisakan Keenan dan Naura. Keenan sibuk dengan ponselnya, seperti membalas pesan seseorang. Sedangkan, Naura yang bingung harus bersikap bagaimana, memilih duduk diam sambil meremas rok sekolahnya yang terkena cipratan darah.

"Jangan bertindak bodoh lagi!" seru Keenan, "aku antar pulang!" lanjutnya membuat Naura refleks menoleh.

"Kamu yakin bisa naik motor dengan tangan kanan yang sakit seperti itu?" tanya Keenan, seolah tahu kalau Naura hendak berkata tidak.

"Aku bisa sendiri," balas Naura pelan.

"Nggak usah sok kuat."

"Siapa sih yang sok kuat?" sahut Naura mulai kesal dengan kalimat Keenan barusan.

"Ya, sudah makanya. Pulang. Sama aku." Keenan menyahut dengan penekanan di akhir kalimatnya.

Keenan kemudian beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu UKS. Dia berbalik dan bertanya dengan alis terangkat, "Kamu mau nginap di sini?"

Naura melongos, dia terpaksa buru-buru berdiri dan mengikuti Keenan. Sepanjang perjalanan menuju rumah, mereka berdua saling diam. Keenan beberapa kali, tertangkap basah sedang melirik ke arah Naura lewat kaca spion motornya. Sorot mata lelaki itu terlihat khawatir, tetapi Naura tidak peduli. Dia hanya ingin cepat pulang dan merebahkan tubuhnya ke kasur.



You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 08, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MetamorfosaWhere stories live. Discover now