Mimpi Buruk

380 63 2
                                    


⛺ Selamat Membaca


Selama ini, aku menyimpan suatu rahasia kepada siapapun. Tentang masa laluku, yang selalu membuatku bermimpi buruk, hampir saja aku menceritakannya kepada ankaa malam itu. sesuatu yang selama ini ingin aku lupakan.

Oktober 2017

Hari itu aku berangkat bekerja seperti biasa, di salah satu kantor konsultan psikologi. Aku bekerja sebagai customer service sekaligus admin. Setiap harinya disibukkan dengan menerima telfon, membalas chat, dan e-mail. Siapa sangka, hari itu adalah hari terakhir aku berkerja disana.

Sepulangnya bekerja, ibuku menghampiriku ke kamar dengan membawakan segelas air putih yang sudah di mantrai sang dukun. Aku mendengar dari kakakku, kak farhan namanya. bahwa akhir-akhir ini, mereka sering datang ke orang pintar tapi aku menyebutnya dukun.

Kata ibuku mereka orang pintar bukan dukun, orang-orang yang dipercayai sang pencipta dengan ilmu terawang masa depan. Bisa memprediksikan baik buruknya masa depan.

Pandangan tentang dukun antara orang tuaku dan diriku berbeda. Aku tidak percaya sama sekali penerawangan mereka, bagiku semua omomg kosong belaka.

Kakakku bilang mereka datang ke dukun karena aku beberapa kali menolak lamaran lelaki yang ingin meminangku. Orang tuaku mengira aku tidak bisa jatuh cinta kepada laki-laki, saat mereka menanyakannya ke dukun, sang dukun mengatakan bahwa aku sedang dalam pengaruh guna-guna.

Aku lelah menyangkalnya, bahwa aku baik-baik saja. mereka terus memberiku segelas air mantra agar aku bisa menyukai lelaki, hingga dipaksa menikah di usia muda.

Padahal aku nyaman dengan kesendirian, tentunya ada sesuatu yang sedang aku rencanakan. Mimpiku, bisa berpetualang keliling Indonesia.

“Jangan lupa diminum sampai habis!” kata ibuku ringan. ibuku menaruh nya di meja kamar.

Karena lelah harus meminum air dari dukun secara terus menerus, kali ini aku menolaknya.

“Aku tidak mau meminum air dari dukun itu lagi!” tolakku tegas.

“Sadar, Ndok. kamu itu sudah di guna-guna supaya tidak bisa menyukai orang lain.” Ibu mengambil gelas itu segera lalu menyodorkan ke hadapanku.

“Aku tidak mau!” wajahku memerah, aku pergi dari kamar. Ibu menarik kaosku. Aku tetap pergi.

Karena tempat tinggalku masih  perkampungan, banyak sawah-sawah. Aku berjalan meyusuri jalan setapak di sawah. Aku berhenti di salah satu petak sawah dengan pemandangan padi menguning. Matahari sebentar lagi terbenam, biasanya menghilang dari balik Gunung Ungaran saat cerah seperti ini.

Pikiran-pikiran mulai muncul, mengapa kedua orang tuaku bersikeras tentang bagaimana kehidupan asmaraku, tidak bisakah mereka percaya saja kepadaku bahwa saat ini aku sedang bekerja keras untuk menggapai mimpi, bahkan aku tidak bisa kuliah karena menuruti kemauan mereka.

Aku belum sempat memikikan siapa yang akan mendampingiku, belum ada yang benar-benar menarik hati. Itu bukan soal guna-guna, namun diriku memang sulit untuk jatuh cinta. Aku belum lagi bertemu dengan seseorang yang mampu membuat hati berdebar-debar.

Aku melihat gunung di depanku. namun, aku tak bisa kesana. Kedua orang tuaku terlalu keras, semua dibatasi. Selama ini, aku hanya boleh melakukan apa yang mereka perintahkan. Tak terasa air mata berjatuhan, aku ingin bebas.

Aku kembali ke rumah dengan wajah tertekuk-tekuk. dengan harapan pula bahwa orang tuaku tidak lagi memaksaku meminum air dari sang dukun. Karena lapar, aku mengambil makan. Saat mencentong nasi, kakak yang sedang makan di meja makan menanyaiku.

“Kamu dari mana?”

“Dari sawah kak, lihat gunung.” jawbku dengab wajah muram.

Kak Farhan, adalah satu-satunya manusia di planet ini yang paling mengerti tentang diriku. Kami berbeda tiga tahun. Aku dua puluh, kakak dua puluh tiga. Dia sering memergokiku disawah saat melamun, memandangi gunung.

Sehingga dia paham yang aku inginkan saat ini bukanlah laki-laki untuk menikahiku, namun waku untuk bisa berpetualang.

“Sudah, jangan murung lagi, makan dihabiskan!” aku menatapnya dengan wajah masam.

Karena kakak tidak suka melihatku sedih, dia sedikit menghibur dengan berusaha mencoba bicara kepada bapak dan ibu tentang Gunung.

“Nanti kakak bujuk lagi Bapak sama Ibu, supaya kamu dibolehin naik gunung itu bersama kakak. Kakak tahu mata kamu pasti lelah cuma bisa melihatnya dari sawah selama ini.” Aku masih diam mengunyah makanan tanpa melihat wajahnya.

“Vega, kakak juga tahu kamu tidak percaya para dukun itu, tapi tidak ada salahnya jika kamu meminumnya, lagi pula itu hanya air putih kan?, bukan maksud mendukung Bapak, Ibu, akan tetapi kalau kamu menurutinya percaya dengan kakak, kamu pasti boleh naik Gunung.” bujuk kak farhan teedengar panas di telingaku.

“Benarkah? Apa mereka bilang seperti itu?. Kenapa kakak jadi ikut percaya dukun musrik itu.” balasku menghakimi.

“Maksud kakak bukan begitu, Ga!”

“Lalu apa?, kakak hanya mencoba menghiburku walau kakak tahu orang tua kita itu sekeras apa, mungkin satu-satu nya yang mampu mereka berubah adalah saat kehilangan.”

“Ga, jangan bicara sembarangan. Siapapun di dunia ini tidak ada yang mau kehilangan, apalagi itu sangat berharga.” wajah kak farhan terlihat tidak suka dengan ucapanku.

“Lalu bagaimana? Aku yakin saat ini Bapak dam Ibu sedang di rumah dukun, dan kembali memaksaku meminum air mantra.”

“Ga…” Tegurnya.

Aku menggebrakkan sendok ke meja.

“Maaf kak, aku sudah tidak berselera makan lagi” aku pergi ke kamar, meringkuk hingga tertidur.

Dalam keadaan masih setengah sadar, ibu membangunkan tidurku dengan mengoyak-ngoyak bahuku.

“Ndok bangun, cepat sana kamu mandi!” Aku merasa heran mengapa tengah malam ibuku menyuruhku mandi.

“Tidak mau buk” jawabku setengah sadar.

“Kamu harus mandi kembang!, kalau tidak, guna-guna itu tidak hilang.” mataku membelalak heran. Mandi kembang?

“Buk, ini sudah jam berapa?” aku merengek, lalu memejamkan mata lagi.

Ibuku pergi meninggalkan kamar sambil mengomel, entah apa yang beliau ucapkan terdengar samar-samar.

Tak lama, ibuku kembali dengan membawa ember besar berisi air penuh kembang tujuh rupa. Tiba-tiba saja seluruh isi ember tersebut beliau tumpahkan ke seluruh badanku. Aku menjerit sekencang-kencangnya. “Aaaaa…” aku tidak habis pikir mengapa ibuku melakukan hal konyol ini. Kasur hingga kamar di penuhi air, badanku basah kuyup, bunga-bunga itu berserakan di kasur.

Aku menangis dan menjerit keras, mungkin saja para tetangga mendengarnya.
Ibuku pergi setelah menyiramku. Aku sangat muak diperlakukan seperti ini, rasanya ingin pergi jauh dan tak kembali. Untuk apa disini jika hanya siksaan batin yang aku terima.

Kak Farhan mana? Tolong aku kak? Mengapa kakak diam?. Aku menangis sepanjang malam tanpa mengganti pakaian kering, tanpa beranjak dari tempatku meringkuk.

〽〽〽


Jangan lupa Vote ( klik bintang di bawah pojok kiri ) ya. Dan kasih komentarnya.

Thanks for all reades
Your vote and your comment are big support for me to make more strory.

Petrikor [ TERBIT ] [ TAMAT ]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang