-9-

16.6K 3.6K 378
                                    

Please jangan lupa vote dan komen, mumpung partnya belum sebanyak At Close kalau kalin harus mundur.

Makasih 💋

🌷🌷🌷

Tadinya kupikir nggak ada alasan kuat buat Mas Tera mengenalkanku dengan orang tuanya, terutama mamanya. 

Aku tahu beliau memang menyukai rangkaian bunga yang kubuat karena pesanan anak-anak beliau, tapi itu saja nggak cukup untuk dijadikan alasan kami harus bertemu dan saling kenal. Namun setelah akhirnya kami benar-benar bertemu dan bicara, aku akhirnya tahu alasan kenapa mama Mas Tera, atau Tante Ruby ingin bertemu denganku.

Beliau bilang butuh bantuanku untuk menghias ruang kerja beliau dengan beberapa vas bunga untuk keperluan interview.

Ya, interview, rasanya aku seperti bertemu keluarga selebriti. Mas Tera, atau mungkin lebih tepat kalau kubilang Mas Rawi pernah menggunakan jasaku menghias coffee shop mereka untuk keperluan pemotretan dan, sekarang aku melakukan hal yang sama untuk orang tuanya.

"Apa sudah menunggu lama?"

Aku bergegas berdiri menyambut kedatangan Tante Ruby, mamanya Mas Tera.

Setelah kedatanganku pagi itu buat mengantar pesanan, Tante Ruby mengajakku ketemu di coffee shop milik putra beliau.

"Belum Tante," ujarku lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Seorang pegawai langsung datang mengantar segelas air putih untuk beliau.

"Mau dibuatkan minuman seperti biasa, Bu?" tawar pegawai berhijab dengan badge bernama Najma.

"Boleh," jawab Tante Ruby yang tersenyum hangat. "Sekalian redvelvet," tambah beliau lalu melirikku, "atau Cia mau kue lain?"

Aku menggeleng sambil tersenyum canggung. Beliau memanggilku seperti Suli yang mendadak menyapaku seakrab itu waktu kami bertemu di rumah.

"Oke, bawakan redvelvet aja dulu."

"Baik, Bu," sahut pegawai bernama Najma lalu undur diri dengan sopan.

"Saya masih kecewa loh, kamu menolak ajakan sarapan saya waktu itu."

Lagi-lagi aku menarik bibirku kaku, tersenyum dengan sangat canggung kali ini.

"Untung kamu nggak menolak juga ajakan saya ketemu di sini."

"Maaf, Tan," ucapku dengan nada menyesal.

Tentu saja aku harus menolak ajakan sarapan pagi itu. Aku datang buat mengantar pesanan. Meski sang nyonya rumah menawarkan sarapan sambil ngobrol tawaran kerja sama, rasanya lebih tepat kalau aku menolaknya, dan jauh lebih bagus kami menjadwal ulang pertemuan hari ini.

"Kamu harus membayarnya dengan merangkai bunga yang bagus untuk saya nanti."

Bibirku refleks ikut tersenyum ketika di akhir kalimat, beliau tersenyum.

Awalnya kupikir beliau sosok yang lebih kurang mirip sama Mas Tera. Apalagi ketika Tante Ruby diam, ekspresi beliau terlihat dingin dan bikin segan. Untungnya penilaianku keliru, Tante Ruby nggak semenyebalkan Mas Tera.

"Sejak Suli membawakan bunga hasil rangkaian kamu, rasanya saya nggak bisa lagi objektif menilai rangkaian bunga yang kadang saya terima dari kolega," kata Tante Ruby tanpa menghapus senyum di wajah beliau yang masih terlihat awet muda. "Apalagi setelah lihat hasil pemotretan di sini, rangkaian bungamu sederhana, tapi manis dan mencuri perhatian."

"Makasih, Tan," ucapku tulus setelah mendengar pujian beliau.

"Rangkaian bunga di butiknya Dila juga cantik. Ide bagus El merekomendasikanmu, dan Dila mau dengar."

"El bahkan menunjukkan buket dried flowers yang kamu buatkan," tambah Tante Ruby dan membuat kedua alisku agak naik karena heran.

Percakapan kami dijeda kedatangan Najma yang tersenyum ramah sewaktu kami melakukan kontak mata.

Dia meletakkan dua piring kecil berisi potongan redvelvet, masing-masing di depanku dan Tante Ruby setelah meletakkan minuman untuk beliau lebih dulu.

"Apa Lentera ada di atas?"

"Sedang ada tamu, Bu."

"Siapa?"

"Kalau saya tidak salah, dengar-dengar beliau vokalis band, tapi saya tidak tahu siapa."

Kening Tante Ruby mengernyit, sementara detak jantungku mendadak jadi lebih cepat.

Nggak mungkin itu Anby kan? Harusnya dia sudah kembali ke Ibu Kota.

"Dia bilang diundang atau datang sendiri?"

"Kata beliau, Pak Tera yang minta beliau datang."

Tante Ruby mengangguk pelan, dan Najma langsung permisi sambil sekali lagi tersenyum padaku.

"Oke, apa kita tadi sudah membicarakan rencana untuk minggu depan?" tanya Tante Ruby dengan ekspresi yang jauh berbeda ketika beliau menanyakan tentang tamu Mas Tera.

"Belum, Tan."

"Baiklah, kamu sudah lihat ruang kerja saya kan?"

Aku menganggukkan kepala merespon pertanyaan beliau.

"Saya mau kamu buatkan beberapa rangkaian bunga di sana. Tapi karena saya kurang paham tentang jenis bunga, jadi saya harap kamu nggak marah kalau saya pasrahkan ke kamu, ya?"

"Tentu saja nggak Tan," jawabku cepat. "Biasanya kalau klien kesulitan memilih bunga, saya yang akan memberikan pilihan dari sekian banyak jenis bunga."

"Setahu saya juga harusnya begitu kan," sahut beliau yang bikin aku sedikit menunjukkan sorot bingung karena nggak tahu maksud beliau. "Tapi El bilang kamu nggak suka kalau dia melakukan itu."

Tenggorokanku rasanya kering mendadak.

"Dia juga mewanti-wanti saya buat bikin pesanan jauh-jauh hari. Tanpa diberitahu pun saya juga tahu, kamu perlu waktu biar bisa memilihkan bunga-bunga terbaik kan?"

Aku nggak tahu harus merespon bagaimana kali ini.

Apa mungkin Mas Tera ngadu ke mamanya, makanya beliau bisa berkata seperti tadi? Tapi kejadian aku memarahinya adalah ketika dia sudah bikin orderan yang harus kuantar sendiri ke rumah. Apa setelah itu dia cerita ke Tante Ruby, makanya pagi itu dia bilang kalau mamanya mau ketemu aku?

Saat benakku bertanya-tanya, perhatianku tiba-tiba tertuju ke sosok yang baru saja turun dengan topi dan masker yang menutupi wajahnya.

Itu benar Anby.

Aku masih bisa mengenali sosoknya meski nggak melihat wajahnya langsung.

Dia bergegas turun tanpa memperhatikan sekitar, terlihat terburu-buru. Dan nggak lama kemudian, sosok Mas Tera muncul.

Dia sempat mengedarkan pandangan sebelum akhirnya kami melakukan kontak mata, dan dia langsung jalan ke arah mejaku.

"Hi, Mom," sapa Mas Tera ke mamanya.

Tante Ruby yang semula nengok dengan raut normal, mendadak memicingkan mata dan langsung berdiri, menyentuh sudut bibir Mas Tera.

"Kenapa ini, El?" tanya beliau dengan nada tajam.

Keningku mengernyit selagi mencermati wajah Mas Tera dan luka di sudut bibirnya.

"Ada hubungannya sama tamumu hari ini?"

Aku langsung berspekulasi tentang keberadaan sekaligus kepergian Anby yang tergesa, dan lolos dari perhatian Tante Ruby.

Dan menelisik lebih dalam pertanyaan Tante Ruby ke Mas Tera, juga reaksi beliau ketika dapat informasi dari Najma, sepertinya Tante Ruby kenal Anby, tapi beliau nggak menyukainya.

Yang jadi pertanyaanku kemudian, bagaimana keluarga ini bisa kenal Anby?

🌷🌷🌷

Regards,

-Na-

ASIA (Tidak Lengkap, Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang