11. dunianya

230 80 4
                                    

itu... anak-anak.

jumlahnya banyak, kata jidan seharusnya ada 25. tapi, hari ini yang bisa aku temui cuma 10 orang.
"ini basecamp. bang handi juga sering kesini. tapi, sekarang jarang sih. pada sibuk kayaknya, jadi ya... gue sama cakra yang rutin tiap hari kesini."

anak-anak yang aku bicarakan adalah anak-anak yang sering aku temui di jalanan lengkap dengan gitar kecil yang lusuh juga kecekran yang mereka buat sendiri.

jidan bilang, orang pertama yang nemuin rumah tua ini handi. awalnya mereka cuma pakai buat kumpul-kumpul biasa, karena kalau kumpul-kumpulnya di rumah handi terus mereka sering di marahin mamanya, berisik banget soalnya.

tapi, ada hari dimana kak juna datang sendiri dan nemuin beberapa anak kecil yang tidur meringkuk di sana, basecamp itu diubah sebagai tempat tinggal buat mereka yang nggak punya rumah.

cuma bagian belakangnya aja, tapi aku bangga mereka buat ruangan itu layak dihuni banyak manusia.







"pasti lo nggak akan nyangka, ide ini semua dari bang handi."

aku ketawa. bener banget, aku nggak nyangka. pulang nanti handi mau aku puji, janji!












"mereka bisa main musik beneran?"

"menurut lo boongan??"

"ya... kan mereka masih kecil."

"gue yang ngajarin, sama bang jenta."

dudukku jadi maju, mendekat ke arahnya tanpa sadar. "serius???"

"serius, jelita..."

"kok lo baik banget, padahal mukanya jutek."


jidan ketawa sambil menyentil dahiku. aku menoleh lagi padanya yang duduk di samping kanan dengan mata yang terfokus ke depan, dia merhatiin anak-anak itu sambil senyum.
tampan.


"gue cuma— ah, nggak tau kenapa. tergerak sendiri aja. gue ngebayangin kalau gue adalah mereka. pasti berat, iya kan?" dia sempat menoleh ke arahku, lalu pandangannya kembali ke depan.

"maksud gue sama bang jenta ngajarin mereka main alat musik supaya mereka bisa dan mau usaha. lo tau gak, da? kebanyakan orang benci liat orang yang cuma bisa minta, alhasil mereka dianggap nggak ada. gue sama bang jenta mau mereka usaha dengan apa yang mereka bisa. kalau mereka akhirnya bisa makan, bisa bahagia, gue maunya— itu karena mereka usaha diri mereka sendiri, bukan karena belas kasihan orang lain."

dia tertawa sambil menundukkan kepalanya. "ya.... seenggaknya mereka nggak pernah kena marah ataupun dikekang ketika main musik aja, udah buat gue ngerasa bahagia dan— hidup,"

"kadang gue iri, mereka bisa main musik kapan aja dan di mana aja tanpa perlu takut ada yang marahin dan ngerasa bersalah sama seseorang."





aku mengeryit heran. jidan dengan dunianya, terlalu luar biasa dan tiba-tiba.
selain aku kaget karena ternyata aku suka sama orang yang tepat, aku juga heran maksudnya, ada gitu yang marahin jidan kalau dia main musik? kenapa? padahal suaranya bagus, tekhnik main gitarnya keren.



"jidan? itu emangnya—"






"ibu, da. kalau kepala cantik lo lagi bertanya-tanya siapa, ibu orangnya."



oh, pantas waktu aku ke rumahnya... tapi, "emang kenapa?"




"musik cuma akan ngingetin ibu sama almarhum papa. ibu nggak bisa, dan kalu gue maksa gue bakal ngerasa bersalah, padahal itu mimpi gue. tapi, kalu ibu denger dia cuma bakal kecewa—"













aku beranikan diri buat merengkuh tubuh jidan yang ringkih.  aku mau bicara, aku mau jidan tau bahwa aku selalu ada, aku mau jidan nggak merasa kalau dia akan buat ibunya kecewa, aku mau jidan perjuangin mimpinya di dunia.

tapi, aku mendadak nggak bersuara saat jidan ikut melingkarkan lengannya di pundakku sambil terisak pelan.







semu membiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang