Surrender

577 90 111
                                    


•°×°•


Condo yang lebih dari seminggu tak di tempati rasanya masih hampa, namun kali ini tak begitu sesak seperti sebelumnya. Si pemilik kamar dalam posisi berdiri memperhatikan ke seluruh penjuru ruangan, tak satu sudut pun terlewatkan.

Di tempat banyak singgah cerita, antara dirinya dan Joss. Mulai dari kisah manis hingga pahit, meski tak dapat dipungkiri lebih didominasi oleh pahit.

Sejujurnya ia ragu, masihkah ada sisa rasa untuk Joss di dalam hatinya? Arthur buta, segala yang menyangkut mantan kekasihnya itu terlihat begitu gelap. Dirinya lupa kapan Joss menyetujui keduanya untuk mengakhiri hubungan. Tetapi bukankah pukulan terakhir kali yang membuatnya sekarat sudah menjadi sebuah jawaban yang begitu jelas?

Lelaki itu, Joss tidak pernah mencintainya. Sekalipun pernah, itu hanya demi kepuasan batin belaka.

"Apa yang menganggu pikiranmu, hmm?"

Arthur terlonjak kala sebuah suara berseru tepat di telinganya, ia segera memutar tubuh, menemukan sosok Miko yang memang sedari tadi disana, setelah berbaik hati -mungkin ada maksud lain-lain untuk mengantarnya pulang dari rumah sakit. Lelaki itu punya banyak waktu luang, heran.

"Kau bisa pergi sekarang."

Arthur enggan meladeni, ia akan dengan segera mengusir Miko pergi. Sebab dirinya butuh waktu sendiri. Entah digunakan untuk apa.

Miko menyeringai tipis, ia melirik Arthur dengan alis terangkat. "Aku masih ingin menemanimu, sepertinya kau butuh teman."

Tidak.

"Tidak perlu," serunya singkat.

"Dan lagi, mari bertindak seperti orang asing, sebagaimana kita sebelumnya. Aku tidak mau punya urusan denganmu, ataupun dengan orang lain."

Miko memiringkan kepalanya sembari mendecak, kedua tangannya berada di belakang tubuh, sedangkan kepalanya ia condongkan mendekat ke arah Arthur. Membuat yang lebih muda mengerutkan kening sembari tanpa sadar memundurkan tubuh atasnya.

"Kau sepertinya melupakan sesuatu," Miko berbisik pelan.

"Apa--ehhh!"


Dengan sigap Miko menahan tubuh Arthur dengan salah satu lengannya berada di pinggang pemuda itu ketika Arthur hampir terjatuh, kemudian mendorong tubuh keduanya agar tak terdapat jarak. Wajah keduanya kini sejajar.

"Jangan macam-macam, tinjuku bisa mencium bibirmu," Arthur mulai mengancam, ketika dirasa Miko makin berani. Bahkan kini kedua tangannya berada di dada yang lebih tua, menahan agar keduanya tak semakin dekat.

"Kenapa bukan dengan bibirmu saja, kurasa itu akan lebih baik."

"Kau pasti bercanda," Arthur memandang tajam, namun hal itu sama sekali tak diindahkan oleh pria keturunan Australia tersebut. Ia malah makin berani untuk memangkas jarak antara keduanya.

"Aku bisa melaporkanmu sebagai pelecahan," lagi ancamnya sengit, namun Miko sama sekali tak bergeming.

Pria itu maka mengarahkan bibirnya ke telinga Arthur, kemudian membisikkan sesuatu yang membuat Arthur menggertakkan gigi.

"Kau lupa berterima kasih, shortie."

Dan Miko menjauhkan diri. Dengan kekehan kecil setelah mendengar dengkusan lolos dari bibir Arthur.

"Kau menyebalkan."

"Dan kau menggemaskan."

Dan lelaki pemilik dimple manis itu tertawa renyah kala melihat wajah Arthur yang memasang mimik kesal. Sadar atau tidak, anak itu kini lebih sering menunjukkan emosinya daripada ekspresi datar.

Close To Streetlights | 3racha | 21+ [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang