Part 6

1.1K 83 20
                                    

“Kalian belum juga menemukannya?” teriak Jati Wangi.

Plakkkkkk.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Jaya. Tamparan itu membuat Jaya mengatupkan rahangnya dan menatap tajam ke arah Jati Wangi, putra semata wayang majikannya.

“Aku tak mau tahu, dia hanya seorang gadis lemah. Kamu harus mendapatkannya!!” teriak Jati Wangi.

Jaya hanya bisa menahan amarah di dadanya dan mengibaskan tangannya. Isyarat bagi anak buahnya untuk kembali mengejar Sekar, sang gadis yang diincar oleh Jati Wangi.

Jati menatap kepergian Jaya dan anak buahnya dengan sorot mata penuh amarah. Setelah semua yang dia lakukan demi mendapatkan gadis itu, masih saja dia terlepas dari genggaman tangannya.

Jati sungguh menyukai Sekar.

Sejak dia melihat sosok gadis sederhana tapi cantik rupawan itu, Jati tak bisa menghapus bayangan Sekar dari kepalanya.

Sekar si Bunga Desa yang menjadi rebutan para pemuda di kampungnya. Dan Jati menghajar siapa pun yang berani mendekati Sekar tanpa ampun.

Jati juga melakukan semua upayanya untuk mendapatkan hati Surti-Tejo, pasangan petani lugu yang tentu saja akan selalu menundukkan kepalanya penuh kerendahan hati di depan anak Kepala Desa seperti Jati.

Tapi, rasa sayang kedua orang desa itu kepada anaknya, mengalahkan rasa takut dan sungkan mereka kepada Jati Wangi dan Surya Wisesa. Dengan tersenyum Tejo menolak pinangan Jati Wangi karena Sekar tak menyetujuinya.

Cinta ditolak dukun bertindak.

Itu adalah peribahasa anak muda masa kini, yang lemah, letoy dan percaya tahayul.

Jati Wangi tidak, baginya, cinta ditolak, parang berteriak. Dan itulah yang dia lakukan. Dia menyuruh anak buahnya untuk menyerbu rumah Surti-Tejo dan bertingkah laku seolah-olah perampok yang menyatroni sasarannya.

Tapi setiap penduduk desa yang lugu pun tahu, ada harta apa di rumah keluarga petani seperti Surti-Tejo?

Satu-satunya benda yang paling berharga dan membuat semua orang merasa iri dengan keluarga mereka hanyalah putri semata wayang pasang itu, Sekar.

Di bawah perintah Jati Wangi, malam berdarah itu pun terjadi. Surti-Tejo tewas ditangan algojo suruhan Jati. Si otak biadab menunggu dalam remangnya malam tak jauh dari rumah keluarga petani itu, sambil membayangkan lembut dan wanginya kulit Sekar yang akan segera dia nikmati.

Manusia boleh berencana, tapi Gusti berkehendak.

Tak semuanya berjalan mulus sesuai rencana. Surti-Tejo menyerahkan nyawa mereka demi melindungi Sekar dan memberi waktu bagi anak gadis kesayangan mereka untuk melarikan diri.

Disinilah Jati sekarang. Masih menunggu di bawah gelapnya bayang-bayang malam yang mulai sedikit demi sedikit terhapus oleh fajar di ufuk timur, dengan tangan mengepal kuat karena hasrat yang urung tersalurkan.

=====

Air…

Sekar melihat air, dan tanpa mempedulikan kakinya yang terasa perih karena tertusuk batu-batu kecil tajam di pinggiran sungai, Sekar langsung meminum air sungai itu.

Sekar meneguknya dengan cepat. Dia ingin memenuhi seluruh rongga perutnya dengan air dan berharap agar rasa lapar tak terhingga yang sekarang menderanya segera berlalu dengan bantuan air itu.

Hufftttttt.

Sekar menghembuskan napas panjang.

Air sungai yang segar di pagi hari itu membantunya meredakan rasa lapar dan menghilangkan haus yang dia derita. Dengan bantuan mentari pagi yang sinarnya hangat menyegarkan, Sekar melihat ke arah gaun putihnya dan tertegun.

Gaun itu tak lagi putih.

Warnanya lebih banyak didominasi rona merah darah dari bekas luka yang dia terima saat melarikan diri dari kejaran Jati Wangi dan begundal-begundalnya.

Sekar menoleh ke belakang dan memperhatikan. Seolah-olah dia bisa melihat ke dalam lebatnya hutan dan mengetahui dimana para pengejarnya sekarang.

Sekar menurunkan tubuhnya agar terendam ke dalam air hingga sebatas dada.

Dingin.

Segar.

Hidup.

Sekar memejamkan matanya, lalu membenamkan seluruh tubuhnya ke air. Dia membiarkan air itu membasahi seluruh permukaan tubuhnya. Dia membiarkan rasa dingin membekukan kulitnya. Dia membiarkan bersihnya air sungai melarutkan noda merah dari gaunnya.

Sekar berdiri.

Bajunya masih basah tapi dia tak peduli.

Ini saatnya untuk berjuang kembali.

Berlari.

Menyelamatkan diri.

Untuk melindungi harga diri.

=====

“Dia tadi disini!!” teriak salah satu anak buah Jaya sambil menunjuk ke bebatuan yang bernodakan sedikit rona merah.

Jaya hanya melirik sekilas dan melihat ke arah seberang sungai. Dia melambaikan tangan dan menunjuk ke arah hutan tempat mereka berasal. Isyarat yang jelas agar mereka kembali ke kampung Kebon Arum.

Tanpa banyak bertanya, anak-anak buah Jaya pun bergerak dan meninggalkan tempat itu mengikuti Jaya.

=====

“Jok.”

“Nggih Pak,” jawab Joko.

“Kamu nggak mau belajar olah kanuragan ya?” tanya Karsono kepada anaknya.

“Mboten Pak,” jawab Joko mantap.

Karsono sedikit kaget. Sebagai laki-laki, sejak kecil Karsono sangat takjub saat melihat para pendekar yang berlatih olah kanuragan dan disegani oleh semua orang. Tapi apa daya Karsono yang cuma anak petani sayur? Dia hanya bisa mengagumi dari jauh dan kembali ke kehidupannya sebagai petani.

Tapi, Joko berbeda. Karsono sekarang sudah berhasil merubah nasibnya. Dia bukan lagi petani sayur tanpa daya yang hidup seadanya. Dia punya cukup uang untuk memasukkan anaknya ke perguruan-perguruan silat yang ada di Kota Kadipaten ataupun sekitarnya.

Karsono ingin agar mimpinya bisa tercapai melalui anaknya. Dia ingin agar Joko menempa diri menjadi pendekar sakti mandraguna yang disegani kawan dan ditakuti lawan. Dia ingin agar dirinya, Karsono, dikenal karena memiliki anak seorang pendekar digdaya.

Karena itu, Karsono sangat kaget saat mendengar jawaban anak laki-lakinya barusan.

“Kenapa, Le?” tanya Karsono.

“Saya tidak suka berkelahi Pak. Saya juga tidak mau jadi jawara yang suka petantang petenteng di pasar. Ndak pernah mau bayar saat makan dan suka menggoda istri orang,” jawab Joko polos.

Karsono terdiam setelah mendengar jawaban anaknya. Karsono sama sekali tak pernah melihat para pendekar seperti sudut pandang anaknya.

“Terus, kamu mau jadi apa Le?” tanya Karsono.

“Aku mau jadi pedagang sayur atau petani sayur saja Pak, sama seperti Bapak,” jawab Joko tegas.

Karsono terbengong untuk sesaat. Tak lama kemudian, dia pun terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk kepala anaknya. Apa yang dulu diimpikan Karsono, ternyata sama sekali tak pernah terbersit di kepala anaknya.

Joko tak pernah mau menjadi seorang pendekar. Joko hanya ingin jadi pedagang sayur seperti dirinya.

Impian yang sederhana.

Manusia boleh berencana, tapi Gusti berkehendak.

Baik Karsono maupun anaknya tak akan pernah menyangka bahwa Joko si anak Pedagang Sayur suatu saat akan menjadi jawara tanpa tanding dan membuat keder semua musuh-musuhnya.

Pendekar legenda yang namanya digunakan untuk menakut-nakuti bocah nakal agar mereka tidur. Pendekar legenda yang membuat semua orang meringkuk bersembunyi dalam rumahnya setelah malam menjelang.

Pendekar legenda yang membuat sang Susuhunan menurunkan titahnya.

Pendekar legenda yang bernama Joko Lelayu.

SekarWhere stories live. Discover now