Part 24

784 66 13
                                    

Sudah beberapa hari ini Sekar bersembunyi di ladang-ladang desa Kawengen. Sesuai namanya, desa ini terletak paling ujung di sebuah kecamatan terpencil yang membutuhkan waktu berjam-jam untuk menempuhnya. Sehingga siapa pun yang berniat untuk main ke sini, akan selalu kemalaman saat pulang nanti. Kemalaman atau dalam bahasa Waja adalah kawengen, digunakan untuk menamakan kampung ini.

Kawengen, Kebon Arum, dan Pinggir Alas adalan tiga buah desa yang terletak di sebuah lereng gunung yang lumayan tinggi. Mereka berada di ketiga sisi gunung dimana Kebon Arum dan Pinggir Alas berseberangan dan Kawengen berada di sudut yang agak jauh dari keduanya.

Saat bersekolah dulu, Sekar tahu ada desa di balik Gunung yang bernama Kawengen dan Pinggir Alas, tapi kebetulan dia tak memiliki teman di kedua desa itu sehingga tak pernah main ke tempat ini.

Kebon Arum dan Pinggir Alas mungkin masih terletak di satu kecamatan, tapi Kawengen tidak. Satu-satunya pembatas antara desa ini dengan kedua desa yang lainnya adalah jurang vulkanik tempat mayat Sekar dibuang Jaya dan kawanannya.

Sekar adalah gadis yang cerdas.

Selama beberapa hari ini, dia sudah menyadari beberapa perubahan yang terjadi pada dirinya. Selain kemampuannya untuk sembuh dari luka dengan cepat sekalipun dia masih bisa tertusuk benda tajam, SEkar juga menyadari jika kekuatan tubuhnya secara umum meningkat drastis.

Sekar dapat mengangat batu kali seberat belasan kilo dengan mudah, padahal dia tahu sebelum ini, sebagai seorang gadis remaja, hal itu mustahil dia lakukan.

Sekar juga tahu kalau dia bisa berlari lebih kencang dan melompat lebih jauh. Dia juga merasa seluruh tubuhnya seolah-olah beregenerasi dan bermetabolisme lebih cepat. Dia semakin kuat tapi di lain pihak dia juga merasa lebih mudah lapar.

Untung saja setelah memperhatikan bayangannya di atas permukaan air sungai selama beberapa hari, Sekar tak menemukan kalau otot-otot tubuhnya mulai membengkak seperti Ade Rai. Dia tetap bertubuh langsing dan memiliki lekuk tubuh ideal untuk remaja seusianya.

Semakin hari, setelah menyadari kekuatan baru yang dimilikinya, entah sejak kapan muncul gagasan untuk membalas dendam kepada keluarga sang Lurah dan kroco-kroconya.

Sekar berusaha menguburnya dalam-dalam, tapi keadaannya sekarang yang hidup terlunta-lunta dan seorang diri di tengah hutan membuatnya tak bisa melakukan itu. Semakin hari, keinginan untuk membalas dendam makin besar.

Tanpa Sekar sendiri sadari, dia mulai melatih fisiknya. Sekar mulai rajin melakukan lari, sit up, push up dan berbagai latihan lainnya yang dia ketahui. Sekar juga mulai iseng-iseng menggunakan kepalan tangannya yang kecil dan mulus untuk mengepal lalu mengayunkan pukulan.

Sekar yang tak pernah berlatih bela diri, tentu saja sedikit bingung dan kaku saat melakukannya. Tapi dia mengandalkan insting yang dia punya dan mencobanya lagi, terus mencoba dan mengulangi setiap gerakan hingga akhirnya dia merasa nyaman dengan gerakan yang dia lakukan.

Hari demi hari berlalu…

Rumor tentang Setan Ladang Kawengen semakin menjadi. Selain sering mencuri hasil tanaman para petani, setan yang diketahui berjenis kelamin wanita ini sering juga mencuri pakaian penduduk desa. Mereka tak tahu apa tujuan dari si setan dengan pakaian yang dicurinya. Tapi perlahan-lahan, muncul kepercayaan bahwa siapa saja yang dicuri bajunya akan bernasib celaka. Alhasil, kini warga desa Kawengen melakukan jaga malam beramai-ramai di setiap pojokan desa.

Sekar bukan tak tahu akan rumor yang beredar di desa. Dia justru dengan sengaja menambah-nambahi rumor itu dengan sengaja menampakkan diri ke hadapan para penduduk yang tak menduganya. Sekar juga membuat sebuah kostum khusus yang dia kenakan saat melakukan aksinya sebagai Setan Kawengen. Semua itu demi kelancaran aksi Sekar saat ‘meminjam’ barang-barang milik penduduk desa.

Di dalam sebuah gua yang terdapat di dalam tanah dan berada agak jauh dari Desa Kawengen, seorang gadis cantik terlihat sedang merapikan rambutnya yang tadi dibiarkan terjuntai menutupi wajahnya. Dia mengikat rambut panjangnya itu ke belakang lalu melepas baju jubah sobek-sobek berwarna hitam kemerahan yang dia kenakan. Di balik jubah itu, dia mengenakan sebuah kaos dan celana training yang nyaman.

Sekar mengambil tas yang ditaruhnya di mulut gua lalu mulai membongkar barang jarahannya malam ini.

Dia tersenyum senang saat melihat salah satu makanan kesukaannya di dalam sana. Dengan lahap, Sekar mengunyah coklat batangan yang dia dapatkan entah dari mana malam ini.

=====

“Tapi Pak, aku sedang menyelidiki sebuah kasus!!” bantah Catur kepada atasannya.

“Kerjakan atau kamu bisa tinggalkan surat pengunduran dirimu di mejaku besok pagi!”

“Siap Pak!!!” jawab Catur sambil membalikkan badan dan mendengus kesal. Dia hanya melirik sekilas ke arah sudut ruangan tempat seorang wanita duduk dan tersenyum kecil ke arahnya.

Catur membuang mukanya dan tak membalas senyuman wanita itu. Dunia ini tak adil. Catur tahu itu. Karena Catur seorang pria, dia dipaksa untuk menyelidiki tentang Setan Ladang Kawengen oleh atasannya. Sedangkan personel yang harusnya bertanggung jawab untuk penyelidikan ini adalah wanita tadi, Tiara.

Semua orang di kantor ini tahu, Tiara adalah wanita milik atasan mereka. Tak ada yang berani membantah dan harus siap merelakan kasusnya jika setiap saat sang Ratu meminta. Dan kali ini, Catur yang terkena tulahnya. Dia yang sedang bersemangat menyelidiki kasus perampokan dan pembunuhan di dua desa yang menimpa pasangan pasangan petani miskin itu, harus menyelidiki kasus ecek-ecek berbau mistis di desa terpencil Kawengen.

=====

Mobil Taft Rocky yang dikendarai Catur melaju kencang membelah jalanan yang tidak begitu mulus tapi sudah diaspal. Dia sedang menuju ke desa Kawengen, salah satu desa dari tiga desa yang berada di lereng gunung Tegal Epek ini selain Kebon Arum dan Pinggir Alas.

Kawengen adalah desa yang terjauh dan paling terpencil. Desa ini dibatasi oleh jurang alami yang dalam dengan kedua desa lainnya, karena itu, sejak dulu, desa ini sedikit lebih terbelakang dibandingkan dua desai lainnya apalagi desa-desa di kaki gunung sana.

Aliran kepercayaan berbau animisme, dinamisme maupun Kejawen masih terasa kental di Kawengen. Catur tak pernah merasa heran dengan kemunculan kasus Setan Kawengen yang mulai meresahkan warga hingga akhirnya mengusik pihak kepolisian dan membuat dirinya dibuang ke sini.

Ciitttttt.

Mobil Catur berhenti di halaman sebuah bangunan yang seharusnya menjadi kantor kepala desa. Tapi sekalipun kondisi kantor ini terawat dan bersih, suasanya sangat lengang dan Catur tak bisa menemukan seorang pun ketika keluar dari mobilnya.

“Hmmm?” Catur mengrenyitkan dahinya lalu berjalan pelan menuju ke pintu depan kantor kepala desa Kawengen. Sekilas, orang tak akan menyangka jika laki-laki muda ini adalah seorang polisi. Catur menggunakan kaos oblong tanpa kerah yang sudah lusuh, rambut gondrong yang diikat dengan karet gelang di bagian belakang dan sebuah cincin kecil yang menghiasi telinga kirinya. Dia juga mengenakan celana jeans dengan sobekan di bagian lutut kanannya.

Hanya satu hal saja yang tak sesuai dengan semua penampilan ala berandalan miliknya, sebuah tas selempang dari kulit terlihat tergantung di punggungnya, melintang dari pundak kanan ke arah pinggang kiri. Tentu saja, tas itu berisi pistol yang tak pernah dia tinggalkan kemanapun dia bertugas.

SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang