Orientasi sudah selesai sedari dua puluh menit lalu, ketiga muda-mudi memilih langsung pulang ke rumah untuk mengistirahatkan tubuh lelah mereka. Seperti halnya saat ini, Ara mengendarai kendaraannya agar segera sampai rumah, mengingat hari mulai beranjak petang.
Ara akan mengantarkan Dinda terlebih dulu, gadis itu berganti tempat duduk dengan Aris. Dinda duduk di jok depan, sedangkan Dinda menselonjorkan tubuhnya, bahkan kaki-kaki gadis itu sudah terangkat naik.
Hari ini adalah hari pertama masa orientasi, besok dan selanjutnya mereka masih harus melaksanakan kegiatan itu. Jalanan terasa ramai karena jam pulang kerja bagi pengendara lain, Ara menghela napas dengan sabar.
"Kak, kalau matrikulasi kegiatannya apa saja?" Tanya Dinda memecahkan keheningan.
"Matrikulasi semacam perkenalan kuliah, jadi kamu akan diberi simulasi tentang bagaimana kuliah berlangsung, tenang saja masih tahap santai kok." Ara menjawabi pertanyaan Dinda.
Dinda mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Sedangkan Aris sudah tidur lelap menjelajah mimpi, pemuda itu terlihat sangat keletihan.
Perjalanan pulang membutuhkan waktu hingga tiga puluh menit, itu semua dikarenakan jalanan yang penuh macet diwaktu seperti ini. Ara akan mengantarkan Dinda terlebih dulu, mereka tinggal di perumahan yang sama tapi berbeda kompleks.
Kompleks yang Dinda tinggali berada pada kawasan mewah nan elit, hanya orang-orang berada yang memilih tinggal disana. Sedangkan Aris dan Ara, kedua orangtuanya memilih tinggal pada kompleks menengah, karena Amina lebih menyukai hal-hal sederhana. Anak-anaknya pun tidak masalah, Aris dan Ara menikmati saja.
Mobil yang dikendarai Ara telah berhenti tepat didepan gerbang tinggi milik Dinda, gadis itu menajamkan penglihatannya.
"Din, itu sepertinya ada mobil Mama mu?" Ucap Ara yang ingin memastikan.
Dinda yang sedang asyik berselancar menggunakan ponselnya pun terlonjak terkejut, gadis itu menatap kearah yang Ara maksud. Terlihat gurat masam diwajah Dinda, lalu setelahnya membuang napas kasar-kasar.
Sebenarnya Dinda tidak terlalu menyukai adanya sang Mama, entahlah Dinda hanya merasa asing akan sosok Ibunya. Sedari kecil hingga lulus SMP gadis itu diasuh oleh pelayan, dan masa remajanya pun ia sering sendiri atau sesekali bermain dengan sepupunya—Ara dan Aris.
Dinda sudah terbiasa sendiri. Daddynya sibuk dengan bisnis keamanan, Mamanya sibuk keluar negeri jalan-jalan dengan teman sosialita dan juga arisan-arisan yang berjajar diantrean.
Memang, kebutuhan Dinda selama ini sangat-sangat tercukupi, tapi Dinda kurang perhatian serta kasih sayang dari kedua orangtuanya, ini lah yang membuat Dinda tidak betah dirumah hingga memilih menghabiskan waktu untuk berlatih pistol ataupun bela diri lain.
Sekalinya orangtua Dinda berada di rumah, maka Dinda akan merasa asing dan tak nyaman, gadis itu sudah terbiasa sendiri. Wajar saja jika dirinya tidak menginginkan kehadiran kedua orangtuanya yang baru pulang dari kesibukan mereka.
Mengerti akan keadaan Dinda, Ara pun menatap gadis itu.
"Din— " Baru saja Ara ingin berucap, Dinda lebih dulu memotongnya.
"Kak Ara, Dinda boleh menginap dirumah kalian?" Tanya Dinda.
"Din, seberat apapun masalahmu, kamu tidak bisa terus-terusan menghindar. Kamu boleh menginap kapanpun, Mama dan Papa ku juga senang hati kalau kamu menginap. Tapi, ada kalanya kamu perlu berbicara dengan orangtuamu, pelan-pelan beritahu mereka bahwa kamu juga perlu perhatian. Jangan mendahulukan emosi, ajak mereka ngobrol dengan santai."
Ara mencoba menasehati adik sepupunya, Dinda seringkali mengedepankan emosi jika sudah bertatap muka dengan orangtuanya, hal ini lah yang memicu kesalah pahaman antara orangtua dan anak itu.
"Aku akan masuk ke rumah, terimakasih tumpangannya." Ujar Dinda datar tanpa ekspresi, selalu saja seperti itu kala Ara menasehati.
Pintu mobil ditutup dengan agak kencang hingga membuat Aris langsung terlonjak dari tidurnya, Dinda sudah berjalan menuju gerbang yang tak tertutup rapat.
"Ugh, ada apa?" Terdengar suara serak khas bangun tidur milik Aris.
Ara menggerakkan dagunya seolah menyuruh Aris agar melihat dengan mata kepalanya sendiri. Aris pun memutar pandangannya pada rumah mewah milik Dinda, beberapa detik kemudian pemuda itu mengangguk paham mengenai situasi dan kondisi yang terjadi.
"Masalah keluarga yang rumit." Gumam Aris, lalu melanjutkan kembali mimpinya yang sempat tertunda.
Kali ini adalah waktu Aris yang sangat berharga, karena si kuntilanak merah tidak terlihat batang hidungnya sedari tadi siang. Ia bisa tidur dengan nyenyak tanpa gangguan penampakan.
Ara masih menatap kepergian Dinda hingga hilang ditelan pintu rumah, dengan perasaan gundah akhirnya gadis itu memutuskan untuk menjalankan kendaraannya menuju rumah.
Sedangkan Dinda yang baru saja masuk ke dalam rumah pun mendapati beberapa pekerja rumahnya yang sedang berdiri berjajar rapi, ia mengernyitkan dahi.
"Ada apa, Bi?" Gadis itu bertanya pada kepala pelayan yang ditugaskan untuk memasakkan makanan untuknya setiap hari.
"Nyonya mau memilah-milah kita, katanya ada pelayan yang harus diganti." Ucap kepala pelayan itu dengan nada sedih yang kentara.
"Memangnya ada masalah sebelumnya?" Tanya Dinda lagi, ia heran dengan keadaan ini.
Pelayan itu menggeleng pelan, mereka tidak merasa melakukan kesalahan apa pun, tapi lagi-lagi keputusan sang nyonya besar tidak bisa diganggu gugat.
Memang Dinda akui, selain tak perhatian, Mamanya juga sangat keras kepala. Apa yang Mamanya inginkan, harus segera dilaksanakan. Semuanya harus serba sempurna, Mamanya tidak ingin ada kesalahan sedikit pun. Tipe-tipe manusia yang sangat pemilih.
Dinda mengedarkan pandangannya, ada empat pelayan yang memiliki tugas masing-masing, ada pula satu tukang kebun dan satu satpam. Mereka semuanya berdiri dengan gelisah, merasakan firasat akan dipecat hinggap ke pikiran mereka.
Mamanya memang jarang pulang ke rumah, tapi perempuan paruh baya itu sesekali mengirim orang untuk mengawasi para pekerjanya.
Dinda melangkahkan kakinya menjauh dari kerumunan, gadis itu memilih menaiki tangga yang terhubung ke kamarnya.
Sejenak ia terdiam, Dinda berpapasan dengan Zinta sang Mama, tapi keduanya hanya saling tatap kemudian berlalu begitu saja tanpa mengucap sepatah kata pun.
Dinda menghela napas lelah, ingin sekali ia melakukan apa yang disarankan oleh Ara. Namun, ego dihatinya seolah menentang keputusan yang ingin Dinda lakukan.
Pada akhirnya Dinda pun kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda, ia ingin segera berada dikamar dan mengistirahatkan tubuh lelahnya.
Hari-harinya tidak akan sebebas kemarin-kemarin, Mamanya pasti akan selalu menegur apa yang anaknya lakukan, Dinda selalu salah di mata sang Mama. Sekalinya berucap, maka Mama Dinda akan mengomentari penampilan anaknya.
Belum lagi mengenai teman-teman sosialita Zinta, yang hampir setiap hari akan datang ke rumah kala Zinta berada di rumah. Rumah akan terasa menyesakkan bagi Dinda, ia tidak menyukai mereka semua.
Mereka akan membahas tentang kekayaan, pangkat suami, dan juga menggosipkan hal-hal tak berguna lainnya.
Dinda hanya berharap bahwa sang Mama bisa meliriknya dan mempedulikan Dinda sebagai anak, entah kapan itu Dinda akan terus bersabar.
(Bersambung)
Pembaca yang baik hati, tolong tekan bintang dan beri komentar membangunnya ya. Terimakasih..

YOU ARE READING
INDRA MATA BATIN
HorrorMemiliki masa lalu kelam yang hampir saja merenggut nyawa, membuat muda-mudi itu lebih berhati-hati. Kini ketiga remaja dengan mata batin terbuka mulai berusaha membiasakan diri dengan hal-hal gaib. Ara, Aris, dan juga Dinda. Tiga bersaudara itu be...