♪ : BAB 39

1.1K 213 56
                                    

Racha berjalan mendekati pintu unit apartemennya tatkala didengarnya bel berbunyi dua kali. Hanya saja sebelum benar-benar sampai, dia berhenti sebentar di layar intercom untuk melihat siapa yang berdiri di balik pintu. Mata pria itu tampak melotot tidak percaya, dia pikir hanya akan mendapat gangguan sebatas panggilan telepon dan pesan singkat saja, nyatanya dia dihantui hingga unit apartemennya sendiri. Racha membuang napas panjang, dia tampak diam sesaat memandang malas wajah wanita di layar intercom tersebut. Racha mundur, menyandar pada dinding di belakangnya seraya melipat tangan di depan dada, dia berniat menjadi patung untuk sesaat berharap wanita di sebalik pintu itu bosan dan berakhir pergi.

Sayang sekali, harapan hanya tinggal harapan dan Racha sukses menyeka rambut tanda ia sudah geram. Sudah lima menit ia berdiri bersedekap, namun bel tetap saja berbunyi dan wanita itu tampaknya tidak akan beranjak kemana-mana. Racha mematikan layar intercomnya, dengan berat hati berjalan menuju pintu dan mendorong benda pembatas itu. Seketika, Racha disambut oleh senyum manis dari seorang mantan.

"Malam, aku bawain makanan buat kamu, udah makan?" ujar Baia dengan pembawaan yang teramat santai. Dia tidak memperdulikan Racha yang sedang melemparkan tatapan datar padanya, melainkan terus memasang muka tembok dan melanjutkan ucapannya. "Maaf, ya, aku lancang dateng ke unit kamu. Soalnya telfon sama pesanku nggak ada satupun yang kamu gubris. Jadi itu kenapa aku dateng."

"Kamu tau alamatku darimana? Kamu ngikutin aku?"

Baia melotot namun dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya, tak lupa juga menggeleng agar Racha percaya padanya. "Aku dapet alamat kamu dari ibu."

"Ibu nggak mungkin kasih alamatku ke kamu."

"Uhm ... why not?" Wajah Baia tampak tersinggung oleh ucapan Racha, namun kembali dipasangnya senyum untuk menebar kesan ramah. "Cha, masalah aku itu sama kamu, bukan sama ibu. Dan faktanya hubunganku sama ibu kamu baik-baik aja. I asked her about your address and then she just told me, that's it."

"Pulang sana," ujar Racha masih dengan sikapnya yang dingin. Dia tidak akan pernah mempercayai ucapan Baia. Melihat wajah wanita ini secara langsung hanya membuat Racha kian membenci masa lalunya. Dan yang diinginkan oleh pria berhati lembut itu hanya agar Baia menjauh sejauh mungkin dan tidak pernah mengganggunya lagi. Sebab kebenerannya, setiap kali Racha menerima panggilan dan pesan singkat dari Baia bahkan didatangi dengan berani seperti ini, dia merasa lebih baik kalau penjahat sungguhan saja yang menghampirinya. Baia lebih buruk dari penjahat. Wanita itu menyakitinya sejak dulu, bahkan sekarangpun ia masih berusaha untuk menambah luka pada Racha yang baru berhasil sembuh. "Baia, please jangan pernah datang lagi. Cuma itu permintaanku ke kamu."

Senyum Baia yang sejak tadi menghias di wajahnya, kini perlahan sirna. Dia tidak senang kalau Racha sudah mulai menghadapinya dengan cara seperti ini. Terlebih memanggil namanya dengan sorotan mata yang membuat Baia kian jatuh. Bermohon dengan raut lemah dan berputus asa. Baia lebih senang menghadapi Racha yang dingin dan angkuh sebab dia merasa lebih gampang menghadapi sisi tersebut dari pria itu. Baia, dia ingin menuruti permintaan Racha dengan baik tetapi hatinya jelas menolak. Dia menginginkan Racha dan sudah memutuskan untuk memperjuangkan pria itu hingga titik darah penghabisan.

"Cha, terima makanan yang aku bawain, ya?" ujar Baia seraya mengulurkan tangannya dan menunggu sampai ada reaksi dari Racha. Lama tidak ada gerakan, Baia memberanikan diri untuk memegang lengan pria itu dan membuatnya memegang paper bag berisi makanan yang masih hangat. Baia membeli sup yang tidak jauh dari gedung apartemen Racha, berharap di malam yang dingin ini, pria kesayangannya bisa merasa hangat. "Terima, aku udah beliin ini buat kamu dan aku nggak mau mubazir. Kamu tau sendiri kalau aku nggak makan malem. Kalau gitu aku pamit dulu, sampai ketemu lagi, Cha."

Racha melihat Baia yang berbalik arah. Dia masih menahan helaan napas berat hingga wanita itu benar-benar bergerak menjauh. Racha masuk ke dalam unitnya, memperhatikan isi paper bag pemberian wanita itu dan mau tidak mau akan memakannya. Sudahlah. Makanan ini tidak salah dan Racha juga tidak akan berdosa kala menyantapnya. Diletakkannya paper bag itu di atas meja tepat di depan televisi, lalu pergi mengambil mangkuk dan sendok.

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang