Bersama Bintang

20 4 4
                                    

Karya kolaborasi : Noni  & Intan



Tangis gadis bersurai hitam sebahu nan lurus itu pecah seketika, ia tak kuasa menerima kenyataan ini pada nya. Bagaimana tidak? Baru saja ia bahagia karena berhasil mencuri hati kakak kelasnya yang ia damba-dambakan sejak pertama masuk sekolah itu, tapi detik ini ia mendapat kenyataan yang cukup berat untuknya.

Awan, kakak kelasnya yang sekarang kelas XII itu harus pindah sekolah begitupun rumah. Keluarganya memutuskan pindah ke luar kota, tapi bagaimana dengan nasib hubungannya?

"Tapi, Kakak kapan pulang?" tangis gadis itu semakin menjadi-jadi, ia tak kuasa menerima ini.

"Kakak bakalan pulang kok, Rai. Tapi ... enggak tahu kapan menetap di sini lagi."

"Kakak janji kan ga akan berubah meskipun kakak pindah?" ucap Raina, kekasih Awan.

Gadis bernama lengkap Raina Anindita itu menatap lekat manik mata Awan, menyalurkan perasaannya. Raina meraih tangan Awan, lalu mulai membuka mulutnya kembali.

"Kalo dua minggu sekali kita ketemu, apakah kakak bakal dateng menyempatkan waktu?"

Awan mencoba berfikir, ia menangkup wajah Raina dengan lembut.

"Akan ku coba, Rai. Demi kamu, tapi aku enggak bisa ... ah, iya aku berjanji,"
Setelah mendengar janji bahwa Awan akan menyempatkan waktunya, Raina merasa lega. Ia membuang nafasnya kasar.

"Huftt... Aku percaya sama kakak." Ucapnya dengan senyuman yang manis.

"Gadis pintar, kita akan bertemu di danau tempat pertama kali kita jadian ya, Rai?"

"Baiklah."

Seminggu berlalu, rasa rindu untuk bertemu Awan sudah tak bisa di tahan Raina. Ia akan pergi ke danau untuk menunggu Awan sesuai janjinya kemarin.

Dengan duduk bersender di bawah pohon besar tepi danau, mata Raina celingukan mencari seseorang. Tapi sepertinya belum ada juga, ia memainkan jari lentiknya dengan senyum yang tak pernah pudar. Ia bahagia, karena akan bertemu dengan kekasihnya.

"Kak Awan, mana ya?"

Raina masih tetap tersenyum, wajahnya terkena paparan sinar matahari sehingga matanya menyipit. Telapak tangannya ia  untuk mengipasi mukanya, yang penuh peluh.

Satu jam berlalu ...

Masih belum nampak kadatangan Awan. Hari semakin sore, matahari pun hampir menyembunyikan sinarnya.

"Ah, enggak apa-apa Minggu ini aku tak bertemu kak Awan, masih ada Minggu berikutnya." Raina bangkit, dan berjalan pergi dari area danau.

Tetapi batu beberapa langkah, ia kembali menatap sekitar.

"Apa aku tunggu lagi, ya? mungkin kak Awan akan datang setelah ini,"

"Yaudah deh aku tunggu lagi, mungkin tadi dia lagi sibuk." Ucap Raina pindah mendudukan dirinya di kursi taman dekat danau.

Sore berganti petang, cuaca pun mulai mendung. Tapi itu tak menjadi masalah buat Raina, ia masih tetap menunggu duduk di kursi taman dekat danau itu.

Merasa jenuh dan hari sudah gelap, Rainan memutuskan untuk pulang ke rumah.
Rasa rindu dan kecewa menghampiri Raina. Iya berusaha untuk tetap berfikir positif terhadap Awan.

***

Tiba hari ini adalah Minggu ke dua Raina akan bertemu dengan Awan sesuai janjinya. Ia baru pulang sekolah, ditemani oleh cowok yang sudah sejak SMP menjadi temannya.

"Aku anterin kamu pulang ya, Rai?" tawar Bintang, teman Raina.

"Maaf ga bisa Bi, aku udah ada janji sama Awan buat ketemu di danau. Aku duluan ya." Ucap Raina sambil berlalu dari hadapan Bintang.

Tiba di danau itu lagi, pertemuan kedua kali ini Raina berharap agar Awan datang. Ia bersender di jembatan atas danau itu, sambil terus tersenyum. Menyambut kedatangan Awan dengan bahagia, walaupun ia tak tahu apa dia akan datang.
Sejam berlalu, cacing di perut Raina mulai meronta ronta. Ia tetap menahan rasa lapar demi menunggu kedatangan Awan.

"Kak Awan mana, ya? Laper aku, tapi mungkin sebentar lagi dia datang. Sabar, Rai!" ujar Raina menenangkan dirinya sendiri.

"Apa Kak Awan ingkar janji lagi seperti kemarin?" Batin Raina mulai merasakan kekecewaan.

Raut wajah gadis itu berubah masam, air matanya mulai menggenang lagi. Suara gemuruh pertanda akan segera hujan terdengar jelas, awan tertutup oleh mendung.

"Kenapa? Kenapa Kak Awan mengingkari janjinya lagi? Atau dia udah mulai berpaling dari aku? Aku harus bagaimana Tuhan?" Ucap Raina pasrah.

Hujan pun turun dengan langit yang berawan putih, menandakan bahwa hujan akan berhenti lama.

Dengan perasaan yang campur aduk, Raina berlari menepi dari danau. Menghindari air hujan di bawah pohon besar, tanpa ia sadari ternyata ada cowok yang berlari ke arahnya.

"Raina!" teriak seseorang cowok yang baru datang, dia Bintang.

"Kamu kenapa ada disini?" Tanya Raina terkejud dengan kedatangan Bintang.

"Heh, aku gak mau kamu nyiksa diri kamu hanya untuk nungguin laki-laki gak bertanggung jawab itu! maaf, aku hanya ingin mengingatkan kamu Rai. Aku gak mau kamu terus begini!" Bintang terlihat emosi, ia takut dan cemas.

"Tapi aku udah janji Bi. Aku udah janji sama Awan setiap dua minggu sekali kita bakal ketemu di danau!" Balas Raina dengan wajah kesal.

Bintang tersenyum miring, matanya menatap tak percaya dengan gadis di depannya itu.

"Janji? Iya, janji? Tapi apa? Dia datang? Enggak, kan?"

Mendengar ucapan Bintang, membuat Raina diam seketika. Ia mulai berfikir bahwa sudah dua kali Awan ingkar janji dan tanpa kejelasan apapun.
Raina menatap ragu kedua mata Bintang, benar yang dikatakannya.

"A–aku, mau pulang." Raina langsung berlari dari hadapan Bintang.
Bintang cepat cepat mengejar dan menggapai tangan Raina.

"Rai... Raina aku mau ngomong dulu sama kamu." Ucap Bintang berhasil menggapai tangan Raina.

Raina pun berbalik badan dan menatap lurus tanpa melihat Bintang di depannya.

"Apa lagi? Aku pengen sendiri, Bi." Ujar Raina datar.

"Tapi ini hujan, Rai! Setidaknya, izinin aku buat nganterin kamu pulang?!"

"Kamu kenapa si Bi perhatian terus ke Aku!? Andai yang bicara begitu Kak Awan, mungkin Aku bahagia banget Bi! Bahagia! " Ucap Raina dengan mata berkaca kaca dan menatap lekat mata Bintang.

Bintang tak menjawabnya, perlahan ia memeluk tubuh gadis yang tengah gemetaran menahan isak tangisnya. Raina tidak menolak, ia pasrah dalam pelukan hangat itu.

Merasa nyaman serta risih membuat Raina cepat cepat melepaskan pelukan tersebut. Ia merasa canggung setelah berpelukan dengan Bintang.

"E ... Aku mau pulang,"

"Aku antar." Saut Bintang dengan menggandeng tangan Raina.

Raina hanya mengikuti instruksi dari Bintang, ada rasa nyaman dan berbeda ketika cowok itu memperlakukannya seperti itu.

***

Bulan telah berganti nama, berminggu-minggu sudah gadis itu selalu datang ke tempat perjanjiannya dengan sang kekasih. Tapi, hingga sekarang Awan belum juga datang menemui Raina. Namun, gadis itu masih tetap setia menunggu kedatangan Awan setiap waktu mereka harus bertemu.

Hingga kini, sekarang Raina sudah kelas XII semester ganjil. Hampir dua tahun sudah ia selalu setia menjaga hatinya untuk Awan, karena menurutnya mereka belum putus. Belum ada kata itu, Raina masih ingin menunggunya untuk datang dan menjelaskan semuanya.

Hari ini, adalah tahun ke-dua bulan pertama Minggu kedua pertemuan mereka ... lebih tepatnya, hanya Raina.
Ia berdiri di pinggir balkor kamar sembari menatap bintang di malam hari.

"Gimana kabar kamu? Apa kamu masih mencintaiku disana?" Batin Raina mengingat Awan yang tak pernah menepati janjinya.

Perlahan, Raina menutup matanya sembari menghirup udara dalam-dalam.

"Aku lelah, Kak. Maaf, tapi ... kenapa Kakak gak pernah kabarin aku setidaknya? Aku udah berusaha menerima ini semua, kak. Tapi, sekarang aku capek." Air mata gadis itu sudah membasahi pipi mulusnya.
Malam hari Raina susah untuk tidur. Ia masih terbayang kenangannya bersama Awan.

Lama ia melamun, ponsel Raina bergetar. Ia mengerutkan keningnya.

"Malam-malam begini siapa yang nelphone?" Batin Raina

Drrtt... Drttt

Tertulis nama Bintang  di layar ponsel Raina. Ia segera mengangkat panggilan dari Bintang.

"Hallo..." Ucap Raina.

"..."

"Aku enggak bisa tidur,"

"..."

"Masih mengingat tentang Kak Awan. Kamu sendiri kenapa belum tidur? "

"..."

"Em ... Maaf, Bi, aku mau tidur." Raina langsung mematikan telfonnya, di seberang sana Bintang bilang kalau dia memikirkan Raina.

Entah apa sekarang yang ada dalam hati gadis itu, perasaannya berbeda sekarang ketika berinteraksi dengan Bintang.

Malam semakin larut, udara di luar pun semakin terasa dingin. Dengan perlahan akhirnya mata gadis itu tertutup, dan ... Selamat malam.

Keesokan harinya, Raina berangkat sekolah. Iya kaget, ternyata Bintang sudah menunggunya di depan gerbang.

"Bintang? Kenapa kamu ke sini?"

"Kamu berangkatnya bareng Aku ya." Ucap Bintang tersenyum kepada Raina.

"Bareng," Raina tampak berfikir, sudah siang. Tak mungkin ada angkutan umum sekarang, alhasil ia mengambil nafas lalu menjawab, "Iya deh,"

Di perjalanan, Raina tampak canggung dan memilih diam. Ia membayangkan jika yang menyetir adalah Awan bukan Bintang.

"Kamu ngelamun aja, kenapa?" Tanya Bintang melirik Raina dari kaca spion.
Raina tersadar dari lamunannya. "Hah? Apa?"

Awan menghela nafasnya, lalu mengulangi pertanyaannya.

"Kamu kenapa, Rai?"

"Ha itu, ada boneka bagus. " Alibi Riana padahal jelas sekali yang mereka lewati adalah SPBU.

Aku tahu Rai, tadi kamu mikirin Awan kan? Jelas.

"Kamu mau beli? Tapi mau berangkat sekolah, Rai?" Bintang mencoba merespon Raina, agar percaya kalau dia percaya.

"Iya, ya?!"

"Nanti pulang sekolah, ya?"

"Boleh," jawab Raina semangat. Seketika matanya berbinar, melupakan pikirannya tentang Awan.

Motor Bintang pun melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalan raya di pagi ini agar sampai ke sekolah.

_Jam istirahat_

Banyak siswa siswi berhamburan keluar kelas menuju kantin. Berbeda dengan Raina, dia sengaja pergi ke Perpustakaan untuk mencari novel.

Ia menemukan Novel yang berjudul JANJI. Raina merasa novel tersebut sama dengan apa yang ia Alami. Lalu ia meminjamnya untuk dibawa pulang.
Raina kembali ke kelas dan bertemu Bintang

"Dari mana Rai?"

"Ini habis dari perpus, kamu mau kemana?"

"Mau nyari kamu lah. Tumben banget di perpus. "

"Hah? Apa?" Raina tersentak, terkejut dengan jawaban Bintang. Ada getaran aneh dihatinya. Rasa yabg pernah ia rasakan pada orang lain.

" Aku kenapa si. Kok rasa ini aneh banget ya." Batin Raina.

Bintang memperhatikan Raina yang melamun, mengangkat tangannya di depan wajah Raina.

"Rai! Heh, kamu kenapa?"

"Ha!? Itu... Anuu... Eee" Raina kelabakan menjawab pertanyaan Bintang.

Bintang mendengus, ia tahu apa yang dirasakan Raina. Senyumnya mengembang membentuk bulan sabit.

"Mikirin aku, kan?" goda Bintang.

"Apaan sih." Ucap Raina dengan pipi merah lalu cepat cepat pergi dari hadapan Bintang.

Baru beberapa langkah, Bintang mencekal tangan Raina cepat.

"Cie ... " goda Bintang jahil.

Raina menunduk lalu menepis tangan Bintang dari tangannya. Lalu ia masuk dengan wajah semerah tomat.

***

Dua tahun sudah berlalu, semuanya sudah berubah. Raina, gadis itu kini sudah berkuliah semester 4. Ditemani Bintang—sahabat kecilnya—yang sekarang juga berkuliah dengan fakultas yang sama bersama Raina. Ada yang lain, satu tahun yang lalu. Bintang dan Raina sudah menjalin hubungan barunya. Mereka sudah berpacaran dan Raina bisa melupakan Awan.

Sulit kalau Raina boleh jujur, ia hampir tak bisa menghapus semua rasanya untuk Awan. Tapi, semua orang tahu jika sabar ada batasnya. Raina sudah capek, ia harus melupakan apa yang seharusnya ia lupakan. Bukan ia yang mengkhianati, bukankah Awan yang mengkhianatinya?
Sekarang, Raina dan Bintang tengah asyik bercanda ria di taman depan rumah Raina. Mereka setiap hari pasti tidak ada waktu tak bersama. Bintang telah merubah kegelapan di hidup Raina. Ia berhasil mengukirkan senyuman manis milik gadis itu kembali setelah sekian lamanya harus hilang karena laki-laki yang mengkhianatinya.

“Rai, terus seperti ini ya! Tegur aku jika aku membuat senyummu hilang! Ingatkan aku jika aku salah!” Dalam rangkulannya, Bintang mengelus lembut rambut Raina dengan sayang.

“Terima kasih, Bi! Kamu udah buat aku tahu artinya senyuman. Aku sayang kamu, Bi!”

Dalam suasana yang terasa hanya milik mereka berdua itu, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil berhenti di depan rumah Raina.

Raina menegakkan duduknya, mengangkat kepalanya dari pundak Bintang. Sebelum menoleh, bintang lebih dulu angkat bicara.

“Tamu, Rai!”

“Siapa ya, Bi?”

Raina mengamati sebuah mobil yang tak asing baginya di depan rumahnya. Sepertinya ia kenal mobil itu, tapi ia lupa. Matanya menyipit, mengamati seseorang yang ada di dalam mobil itu.

“Raina?” gumam cowok tampan dari dalam mobil sebelum akhirnya ia membuka pintu lalu turun.

Raina terpaku pada tempatnya, ia tak salah lihat?

Bintang meraih pundak Raina, bersiap siaga menenangkannya. Ia tahu betul, bagaimana perasaan Raina sekarang. Ia harus bisa menjadi penguat Raina, ia sudah berjanji. “Rai!”

“Iya Bi, gak apa-apa kok!”

Cowok itu tidak lain adalah Awan, orang yang dulu pernah menjadi bagian hidup Raina. Bahkan, sampai sekarang belum ada kata putus. Tapi apalah daya, Raina juga perempuan biasa. Siapa juga yang sanggup ditinggal bertahun-tahun tanpa kabar?
Awan menghampiri mereka berdua, matanya mengamati Raina dan Bintang bergantian. Ada isyarat, ia ingin tahu kejelasannya. “Rai?”

“Iya kak, aku dan Bintang sekarang adalah sepasang kekasih. Bintang menggantikan posisi kakak,” ujar Raina. Air matanya menggenang, hatinya terasa nyeri.

Tanpa disangka, Awan tersenyum miris. “Iya Rai, aku tahu. Memang seharusnya kamu bersama Bintang, aku sudah mengecewakanmu. Maaf untuk semuanya!”

Bintang diam, membiarkan kedua orang itu saling bertukar argumen. Ia hanya menjadi pendengar dan perasa, memperhatikan dan menguatkan Raina.

“Aku maafin Kakak, kalo aku boleh tahu. Kenapa Kakak dulu tidak datang waktu janji? Terus, kenapa semua sosmed Kakak enggak ada yang aktif? Bisa tolong jelasin!” Sekuat tenaga Raina menahan dirinya, ada rasa kecewa bercampur aduk dengan bahagia di sana. Tapi, tetap saja Awan telah mengingkari janji. Ia tidak salah jika bersama Bintang sekarang.

“Kamu mau tahu?” tanya Awan pada Raina.

Raina mengangguk, mengiyakan.

“Jadi, waktu aku perjalanan pindah ke luar kota itu. Aku kecelakaan Rai!”

Deg ...

“Aku koma selama empat tahun ini, dan aku baru sadar dua bulan yang lalu. Sebab inilah, kenapa aku tidak datang waktu hari di mana kita berjanji. Semuanya sudah takdir Rai, kita tidak ditakdirkan untuk bersama,” penjelasan Awan penuh kejujuran. Semua itu mampu membuat Raina tercengang.

Tak mampu berkata-kata lagi, Raina menutup mulutnya. Air matanya sudah luruh entah ke berapa kali. Hatinya sangat nyeri, pernafasannya terasa sesak. Tubuhnya gemetar, tak mampu membayangkan semuanya.

“Kamu tahu, sampai sekarang aku masih sayang sama kamu Rai. Tapi aku tahu, semuanya terlambat. Yah, terima saja takdir ini Rai! Pasti Tuhan sudah merencanakan semuanya. Sekali lagi, maafkan aku! Semoga kamu bahagia!” ucap Awan. Sudah tertebak jika matanya hampir menangis.

Raina berlari ke arah Awan. Memeluknya sangat erat. Menyalurkan kerinduannya yang begitu dalam. Melepaskan semua rasa yang telah tersimpan begitu lama.

“Maaf, Kak hiks!”

“aku juga minta maaf, Rai! Teruslah bersama Bintang! Aku tahu, ini sangat berat untukku. Bintang sudah mengembalikan senyummu yang telah hilang karenaku. Tetap jaga perasaannya, aku yakin kita ditakdirkan sebagai teman hidup. Meskipun hanya sementara,” ucap Awan. Ia kembali menatap Bintang yang menatapnya dengan tersenyum mengerti. “Kita berdua tak ada yang salah Rai, hanya takdir yang tidak berpihak pada kita. Tolong, ini untuk yang terakhir. Aku sayang kamu!”

“Kak!”

“Pergilah! Bintang lebih bisa membuat kamu bahagia!”

                                  •°TAMAT°•

Guys?

Aku terharu nulisnya:(

Respon dong!

Ini aku nulis kolaborasi ya!

Follow Ig @intanzakya__
WP @intanzakya_

Wp nonisofiatun
Ig @noni shopi

Jangan lupa guys yeah!

Minta saran dan kritiknya loh ya!

Baca!

Vote!

Coment!

Love you ❤️

Bersama Bintang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang