Halaman Tiga ;

8.6K 1.4K 79
                                    

"Ssshh,"






































Jeno meringis kala luka nya dingin terkena kapas beralkohol. Dia sudah biasa dengan luka-luka seperti ini, tapi kenapa yang sekarang lebih sakit? Bahkan rasa sakitnya hingga ke hati.



Jaemin jadi ikutan meringis lihat Jeno yang keperihan. Ia membawa Jeno ke ruang tengahnya yang masih ramai makanan dan memutar film yang terpaksa di tunda. Filmnya masih terputar tapi senyap suara. Akhirnya mereka masuk setelah 17 menit berpelukan di depan pintu, ditemani desau tenang angin. Langit Bogor teduh siang itu. Mungkin, sengaja di dedikasikan sang Pencipta untuk Hamba-nya yang butuh suasana tentram.


"Pelan-pelan, Na. Perih banget ini," rasanya masih nyut-nyutan di luka yang tadi di beri alkohol, luka bagian pelipis. Padahal hanya satu kali cecap. Jaemin yang sedang mengambil kapas lagi di atas meja berujar,

"Lebay nih kamu. Dulu pas tawuran kena bacok juga biasa aja. Sekarang cuma dapet dua luka sama lebam dikit kayak orang sekarat." Jarinya kini membasahi kapas itu dengan cairan dingin alkohol. Memajukan badan, hendak mengurusi luka Jeno yang ada di pinggir bibir.

Jeno yang mendengar ujaran Jaemin mendelik sekilas, menghindari jari Jaemin yang terulur ke arah luka lainnya.

"Beda atuh, yang. Beda cerita, beda luka namanya." Suara baritone Jeno bernada datar, tenang. Selalu terngiang bagaimana suara berat itu terdengar. Jaemin selalu jadi yang terbaik dalam memuji Jeno Anggara, semua orang tau itu.





Jaemin menghela napas. Di ikuti pundaknya yang turun seiring napas itu terhembus. Seperti melepas beban berat, Jaemin mengerti apa-apa saja yang membuat Jeno-nya jadi berantakan.

Netranya berpendar halus menuju hazel Jeno. Jarinya yang memegang kapas turun. Lalu lirih berujar,








"Kamu... 'dia' jahat lagi sama kamu?"

Nadanya lirih, sarat akan khawatir.






Hening mengudara. Hanya ada nafas ringan milik Nandika dan nafas berat milik Anggara.



Sepersekon kemudian Jeno terkekeh lemah, pelan dan mendayu. Suara serak basah nya lalu berujar datar, "Dia memang terlalu jahat kalau mau di sebut Ayah."

Lantas terkekeh lagi, kali ini lebih kencang dan jelas. Menggema di sudut ruang. Nada tawa meremehkan, Jeno Anggara sedang menertawakan betapa lucunya hidup ini.

Jaemin di hadapannya termangu. Air matanya sudah tertahan di pelupuk. Di saat Jeno merasa sedih, maka ia yang paling kencang menangis. Jeno bukan satu-dua kali pernah sejatuh ini, bahkan ia sudah lebih dari terbiasa. Tak hanya tertoreh luka di hati dan jiwa, tapi juga sampai ke fisiknya. Jeno Anggara yang di aniaya oleh ayahnya sendiri; bajingan yang paling bajingan di antara para bajingan. Namun betapa bodoh seorang Jeno Anggara yang bertahun-tahun di siksa oleh sang Ayah--- namun hanya diam tak berkutik. Tak membalas barang tatap mata pun. Ia punya cara tersendiri untuk membenci ayahnya. Tak pernah menemui, dan sekalinya bertemu; Jeno Anggara jadi paham mana yang palsu dan mana yang tulus.









Orang gila mana yang memukul anak nya habis-habisan tanpa alasan? Selalu habis-habisan ia dimaki, di sebut 'anak haram', 'pembawa sial', 'pembunuh kejam'. Yang bahkan Jeno sendiri bingung, kenapa bisa ia di sebut seperti itu? Lantas tiba-tiba ia di pukul, di tampar, di siksa. Tiba-tiba datang pulang kepada Jaemin dengan luka-luka yang sama. Kadang Jaemin juga geram sendiri, kenapa saat di serang ayahnya di diam tapi di serang sekolah tetangga di lawan? Maka Jeno akan terkekeh pelan setelahnya, lalu santai menjawab.

ceritanya, nomin. ✓Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt