War 23: Rise, Senator Marshal

3.5K 147 58
                                    

War 23: Rise, Senator Marshal

 

we were so close,
            i couldve kissed,
            your elbow.

―MJL

 

Keesokan paginya, Alyssa terbangun dengan mendengar teriakan. Mulanya dia pikir itu adalah salah satu adegan didalam mimpinya barusan yang bahkan ia tidak ingat lagi. Tapi setelah beberapa saat mengerjap― teriakan tersebut terdengar lagi, menggema di santero Institut. Begitu pedih dikuti isakan dan teriakan lain. Suara yang begitu familiar…

            Selina.

            Alyssa langsung sadar dan cepat-cepat bergegas keluar kamarnya. Mungkin dia tidak begitu suka dengan Selina― tapi apapun yang diratapi gadis itu pastilah bukan hal baik. Dan benar saja, ketika dia berhasil mencapai tangga bawah ruang utama― Alyssa melihatnya.

            “Anakin!” Selina menjerit liar, maskara hitam luntur melewati pipinya. “Dasar bodoh, seharusnya aku tidak mengizinkanmu!”

            “Sshh.” Bisik Gabriel menenangkan. Pemuda itu memeluk Selina― yang entah mengapa menurut Alyssa adalah pertama kali dilihatnya begitu hancur. Sama hancurnya dengan Selina. “Dia akan kembali. Kita― kita akan mencarinya.”

            “Kita akan menemukannya.” Bantu Estelle menenangkan. Namun bahkan dirinya sendiri sama hancurnya dengan mereka. Rambut Estelle yang biasa disanggul rapih kini tergerai kusut, matanya sembab akibat menangis dan dia masih mengenakan gaun malam.

            Tapi tampaknya kata-kata mereka belum cukup untuk menenangkan Selina. “Dia akan mati!” Jeritnya mengguncang Gabriel― matanya mencari-cari dengan liar. “Dia akan mati Gab! Dia akan mati dan ini semua salahku! Ini salahku!”

            Dan cukup hanya mendengar segelintir potongan pembicaraan tersebut langsung membuat jantung Alyssa seakan ditikam. Tubuhnya membeku diambang pintu sedangkan kepalanya mengulang-ulang setiap patah kata tersebut.

            Anakin akan mati, benaknya mencoba memproses kalimat tersebut. Dia akan mati.

            Bagaimana bisa? Alyssa merasakan dirinya goyah begitu hampa. Kemarin― sehari yang lalu, bahkan pemuda itu masih bisa tertawa menyapanya, mengajak Alyssa tur keliling institut dan mengenalkannya pada cewek-cewek mean girls di kafetaria. Dia begitu terkejut dan tidak percaya― sehingga Alyssa langsung berlanjak masih dalam keadaan linglung menghampiri mereka. “Anakin―” katanya terkesiap. “Apa― apa yang terjadi―”

            Gabriel menoleh menatap Alyssa terkejut sekaligus hampa. Seolah-olah pemuda itu sama sekali tidak mengenalnya dan dia malah bergabung dalam pembicaraan mereka. Gabriel tampak begitu― bingung? Alyssa sendiri tidak tahu. Alih-alih pemuda itu menjawabnya― Estelle lah yang berbicara. “Alyssa.” Sapanya sedih, menyentuh pundaknya. “Ya Tuhanku―”

            “Apa yang terjadi?” Alyssa berbalik menatap Estelle, begitu kalap akan dirinya sendiri. “Apa yang terjadi dengan Ani? Dimana dia? Dimana Ani?”

            Estelle terdiam, bahkan dari raut wajahnya sudah menggambarkan apa yang telah terjadi. Kematian, pikir Alyssa pahit. Ia menggeleng tidak percaya, lantas berbalik menatap Selina. Gadis itu masih berlutut terisak didalam pelukan Gabriel. Bahkan nampaknya tidak menyadari keberadaan Alyssa. Alyssa menggeleng panik. “Dimana Ani?”

            Tidak ada jawaban, dan yang ada malah tangisan Selina semakin keras. Gabriel masih terdiam dengan ekspresi sulit ditebak dan Estelle masih terisak. Melihat semua pemandangan tersebut membuat jantung Alyssa seakan mencelus. Tidak mungkin, benak Alyssa membantah. Ia menggeleng lebih keras― berusaha bangun dari mimpi buruknya. “Tidak mungkin― Ani pasti ada disekitar sini kan? Dia pasti―”

The Half AngelWhere stories live. Discover now