1. Bubble gum

67 1 0
                                    

Bandar Lampung, 2020.

Hari ini, bu Mega — guru kimia — mengadakan kuis. Kelas yang biasa ribut, kini mendadak sunyi. Para siswa menundukkan kepala fokus pada sepotong kertas berisi soal. Tidak banyak sebenarnya, hanya ada dua soal yang tertera di sana. Singkat dan jelas. Membuat kepala puyeng memikirkan jawaban yang memiliki begitu banyaknya cabang.

Seorang gadis berkucir kuda memajukan kakinya perlahan, lalu menggedor kursi di depannya. "Sttt...," ujarnya sepelan mungkin. Ia melirik pada guru berkacamata yang berdiri tegap menghadap lurus, dengan mata bergerak ke tiap sudut.

Seseorang yang duduk di depannya menggeser kertas ke samping, lalu sedikit mengangkatnya.

Gadis itu mengangkat sudut bibirnya. Kepalanya sedikit terangkat, dengan gerakan cepat tangannya menyalin apa yang ia lihat. Sedikit lagi, batinnya.

Tok! Tok!

Dengan buru-buru gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Rasa kaget bercampur gugup menyatu dalam dirinya.

"Kenapa, Ven?" tanya Bu Mega dengan suara lembut, membuat bulu kuduk berdiri seketika.

Gadis itu — Ivenna Meylani —  menoleh menghadap depan di mana gurunya berada. "Ah, anu Buk, keget," ujarnya diakhiri cengiran.

"Kaget kanapa? Ketahuan nyontek?" sarkas  Bu Mega. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, kaki menyilang dengan pantat bertumpu pada meja.

Deg. 
Tenggorokannya terasa tercekat, sulit untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Ivenna berdeham pelan, "Bukan, Buk. Itu.., saya lagi fokus ngerjain tadi.  Eh, ada suara ketok pintu, jadinya kaget deh, hehe," alibinya.

Ceklek.

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian penghuni kelas. Seorang cowok dengan tas menyampir pada bahu, berdiri tegap di sana. Ia melihat sekelilingnya yang juga menatapnya. Aksanya tak sengaja bertubrukan dengan aksa seseorang.

"Siapa yang suruh kamu masuk?!" sergah Bu Mega dengan mata menyorot tajam.

Cowok itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia berdeham lalu berkata, "Saya udah ketok pintu, Buk. Saya tunggu di luar, gak ada yang bukain, jadi—,"

"Kalo kamu udah ketok pintu tapi, gak ada yang buka, itu tandanya gak boleh masuk! Ngerti?!" papar Bu Mega memotong ucapan cowok itu.

"Keluar! Tunggu sampai kuis selesai, baru kamu boleh masuk," ketusnya.

Cowok itu mengangguk pelan lalu kembali menutup pintu. Kepergiannya membuat suasana kelas kembali mencekam.

"Dua menit lagi," ujar Bu Mega seraya berjalan mengelilingi tiap celah bangku. Guru ini memang ahlinya membuat muridnya jantungan dengan keringat dingin mengucur tiada henti.

Ivenna melihat lembar jawabannya yang kurang satu jawaban lagi. Satu jawaban yang panjangnya bagai catatan kesalahan mantan. Moncontek lagi, sepertinya bukan solusi yang bagus. Ia lantas menulis apa pun yang terlintas di pikiran. Biarlah salah yang penting ada isi.

"Lima... empat...," ucap guru itu mulai menghitung mundur membuat para siswa benar-benar kelabakan.

"Tiga... dua...," seluruh murid berdesakan mengumpulkan buku ke depan.

"Satu," ujarnya mengakhiri hitungan seraya tersenyum. Ia kembali duduk di bangkunya.

"Hai, panggil murid yang tadi suruh masuk, ya?" pinta Bu Mega pada siswa yang duduk di bangku depan.

"Beres, Buk," balas siswa itu—Haidan.

Mega Sitorus—guru killer yang memegang kendali mata pelajaran kimia. Guru cantik pemilik senyum manis itu sangat disegani. Bukan karena kegarangannya, tapi karena kedisiplinan yang ia terapkan. Baginya tidak boleh ada satu murid pun yang malas dalam mata pelajarannya. Satu detik telat mengumpulkan tugas maka, akan dianggab gagal. Siswa yang mendapat nilai di bawah delapan puluh akan mendapatkan hukuman sesuai tanggal dan bulan. Lagi, bagi siswa yang tidak mengerjakan pr, maka akan diberikan tugas yang berlipat dengan deadline yang singkat. Jadi, wajar saja jika setiap pelajaran kimia suasana kelas mendadak horor.

"Siapa namamu?" tanya Bu Mega.

"Govintara, Buk," jawab cowok itu.

"Oh, murid baru ya?" ujar Bu Mega yang diangguki oleh Govintara.

"Untuk perkenalan, nanti aja ya belakangan," ujar Bu Mega, "Ini saya kasih soal. Dikerjakan sekarang, saya tunggu," ujarnya memberikan sepotong kertas berisi soal.

Govintara menerimanya seraya mengangguk kecil.

"Oke, cari tempat duduk yang kosong ya? Soalnya yang nyaman belum tentu kosong," ujar Bu Mega membuat seisi kelas bersorak ria.

"Woish, gais! Ternyata di dalam rumah hantu ada badutnya juga," pekik Joko membuat isi kelas kembali ramai.

Govintara berbalik dan duduk di bangku kosong nomor tiga. Ia mengabaikan isi kelas yang ramai dan mulai mengerjakan.

"Yang lain, buka lks baca materi tentang Redoks," ujar Bu Mega membuat kelas kembali hening, siswa menunduk fokus membaca materi.

Suara decitan kursi membuat seisi kelas mengalihkan perhatiannya. Seseorang berdiri dan maju mengumpulkan tugas. Govintara, terhitung belum sampai sepuluh menit ia duduk mengerjakan soal. Tapi, sekarang ia sudah maju mengumpulkan jawaban.

Ivenna dibuat geleng-geleng di tempatnya. Ia menoleh kesamping, tepat saat Govintara kembali duduk di bangkunya.

"Sstt!" suara itu membuat cowok itu menoleh, "Otak lo terbuat dari apa?" ujar Ivenna dengan nada rendah.

***

Suasana kantin ramai penuh siswa-siswi yang berdesakan, berlomba mengabil makanan dengan cepat. Perut yang berdemo minta diisi membuat sang diri tak mau antre.

"Ven! Bubble gum gue mana?" ujar cowok itu.

"Lah, emang gue ada bilang mau ngasih lo bubble gum? Enggak, kan?" balas Ivenna.

"Ya, gak bisa gitu dong! Gue kan udah ngasih lo jawaban kimia," desak cowok itu tak mau kalah.

"Duh, Muhammad Anas alias Anus! Siapa suruh lo kasih gue jawaban?" ujar Ivenna memutar bola matanya.

Anas memukul meja kantin, "Oke! Oke, fine! Awas lo ya—"

"Eh, enggak-enggak," ucap Ivenna menyentuh tangan Anas. "Canda aelah gitu aja baper. Iya ni, otw gue beliin!"

Ivenna berjalan menuju ibu kantin. Aksanya tak sengaja melihat seorang cowok di warung sebelah. Cowok itu terlihat sedang menunggu pesanan. Ivenna terus mempertahankannya.

"Lumayan keren juga tuh, mubar," gumamnya.

"Permisi! Numpang lewat," ujar seseorang membuat Ivenna tersadar dan menggeser tubuhnya.

"Eh, iya sory," ujarnya. Ia mengulurkan uang lima ribuan pada ibu kantin dan mengambil bubble gum, lalu kembali ketempat duduknya.

"Nih! Gue kasih dua, spesial buat lo!" ujar Ivenna.

"Nah, gini dong. Like, kan gue jadinya," balas Anas seraya memasukkan permen karet ke sakunya.

"Demen banget lo sama tuh karet," cibir Ivenna.

Anas mengangguk mengiyakan. "Bahan bakar utama otak gue nih," ujarnya.

***

Jarum jam terus berputar. Tinggal menunggu beberapa menit lagi bel pulang berbunyi.

"Ven, ntar pulang bareng gue ya?" ujar Anas, mulutnya tak henti mengunyah permen karet.

"Hm," balas Ivenna tak mengalihkan pandangannya pada ponsel.

"Key, sip," ucap Anas. Ia beranjak pindah ke bangkunya.

"Woy! Kerjaan jorok siapa ini?!" pekik seseorang membuat seisi kelas menoleh ke arahnya. Ia memegang celananya yang terkena permen karet tepat di bagian pantat.

Ivenna membulatkan mata, tangannya bergerak menggoyangkan kursi di depannya.

Anas menoleh menghadap Ivenna, lalu mengikuti arah pandangnya. Ia meneguk ludahnya, mati gue, batinnya.

💫💫💫

Hallo selamat malam❤️
Aku kembali dengan cerita baru, meninggalkan cerita lama yang belum terjamah, hehe maafkan aku🙏

Mohon dukungannya, ya❤️
Cerita ini aku ikut sertakan dalam lomba "Challenge 100 Days WGA"

6 Agustus 2020

Menottes [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang