-Rinai bisa si baca lengkap lengkap di KBM APP.
-Rinai bisa di baca lengkap di Karyakarsa Aqiladyna
***
"Kita sekarang teman?"
"Ya kita teman."
****
Rinai merapikan penampilannya di hadapan cermin riasnya. Hari ini Mas Guntur akan pulang dari luar kota membuat Rinai bahagia. Selesai dari kuliah nanti Mas Guntur akan menjemputnya dan mereka akan makan siang bersama.
Setelah rapi dan menghabiskan sarapannya roti dengan selai kacang Rinai buru buru meninggalkan kediamannya menuju halte bis.
Berdiri dengan beberapa orang yang menunggu bis yang sama, Rinai menatap jam tangannya yang menunjukan pukul 9 pagi. Rinai berdecak, kelas kuliahnya akan di mulai sebentar lagi, ini salah Rinai bangun sedikit terlambat karena semalaman ia berbalas pesan dengan Mas Guntur.
"Kapan bisnya datang?" Gumam Rinai mulai tidak sabar memerhatikan jalan yang di penuhi lalu lalang kendaraan.
Bunyi kelakson menyentakan Rinai, menatap ke arah mobil yang berhenti di depannya. Mobil hitam dengan merk mahal sangat Rinai kenali adalah milik Hujan.
Kaca mobil di turunkan, menampakan Hujan yang menoleh pada Rinai.
"Mau tumpangan, kalau kamu tidak mau terlambat." Tawar Hujan.
Rinai bergeming, matanya mendelik pada orang orang di belakangnya yang menatap takjub pada Hujan. Tidak ingin jadi tontonan Rinai mengangguk, ia berjalan mengitari mobil dan masuk duduk di samping Hujan.
"Kenakan sabuk pengamannya." Kata Hujan sembari menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya membelah jalan raya.
Rinai bersandar nyaman setelah mengenakan sabuk pengamannya. Ia mendelik pada Hujan. Pertemanannya dengan Hujan sudah terjalin saat Hujan menolong membayarkan semua belanjaannya di supermaket karena dompet Rinai yang tercecer, setelahnya mereka sering bertemu tidak sengaja dan Hujan menawarkan lagi pertemanan yang tanpa ragu di terima Rinai.
Tidak ada salah dengan pertemanan ini, di kampuspun Friska tidak mengganggu Rinai lagi dan tatapan para mahasiswa lain tidak aneh lagi padanya, membuat Rinai tidak merasa terbebani.
Rinai memang tidak sembarangan menerima pertemanan ini, ia menceritakan dan meminta pendapat pada kedua sahabatnya Elvina dan Latasya yang memberi saran yang baik dan tidak mempermasalahkan Rinai berteman dengan Hujan. Selama lelaki itu tidak memiliki tujuan tertentu. Wajar kedua sahabatnya menilai negatif karena cap buruk yang di sandang Hujan sebagai berandalan kampus. Terlebih Hujan pernah menyatakan cintanya pada Rinai. Tapi Rinai yakin Hujan tidak seburuk penilaian orang lain. Hujan memang cenderung pendiam dan suka bertindak sesuka hati tapi lelaki itu memiliki hati yang baik yang tanpa pamrih menolong Rinai.
"Aku turun di sini saja!" Kata Rinai saat gedung universitas sudah nampak di depan mata.
"Sebaiknya sampai di parkiran." Kata Hujan tidak menggubris permintaan Rinai.
Tapi..." Protes Rinai tersendat tidak mampu meneruskan.
"Kamu santai saja, kita hanya teman begitupun dalam pikiran yang lain." Kata Hujan.
Rinai terdiam, sampai mobil terparkir Rinai langsung keluar dari dalam mobil dan belum sempat mengucapkan terima kasih. Hujan hanya terkekeh memperhatikan gerak gerik Rinai yang menoleh ke kiri dan ke kanan, mewaspadai tidak ada satupun yang lewat melihatnya satu mobil dengan Hujan. Gadis itu secepatnya mengambil langkah seribu menuju gedung kuliah.
"Uh...mengemaskan." gumam Hujan mengagumi.
Rinai bernafas lega ia sudah memasuki kelas dan duduk menunggu dosen pembimbing masuk, kedua sahabatnya yang duduk saling berdampingkan dengan deratan kursi Rinai menatap Rinai dengan ekspresi heran.
"Kamu kenapa Rinai?" Tanya Elvina saling pandang dengan Latasya.
"Maksud kalian?" Rinai balik bertanya bingung.
Latasya mengulum senyumnya, merogoh tasnya mengambil beberapa lembar tissue dan menyodorkannya pada Rinai.
"Kamu sangat berkeringat, dan wajahmu memerah seperti tomat." Kata Latasya.
"Apa kamu baru di kejar anjing." Celetuk Elvina di balas tatapan tajam Rinai yang mengambil tissue dari Latasya.
"Ya anjing jantan." Sahut Rinai asal ikut tertawa kecil bersama kedua sahabatnya. Rinai tidak akan mengatakan barusan ia bareng ke kampus dengan Hujan. Lelaki itu tidak mau menurunkannya saat dekat dengan gedung universitas. Rinai hanya bisa berdoa dan memacu detak jantungnya berharap tidak ada yang melihatnya karena ia tidak ingin menimbulkan masalah baru selama di kampus yang sudah damai.
Dosen pembimbing masuk, membungkam tawa ketiganya yang fokus menyimak dalam mengikuti pelajaran.
***
"Toast! " Seru Aron merampungkan kaleng birnya kepada kedua kaleng minuman sahabatnya Hujan dan Mikael. Hujan menyesap minumannya, duduk di balkon lantai atas gedung universitas menikmati semilir angin yang berhembus.
Aron mendekat merangkul bahu Hujan.
"Aku tidak menyangka jalan halusmu mampu menjerat gadis itu." Kekeh Aron seraya memetik rokoknya.
Hujan berdecih, melepaskan tangan Aron dari bahunya.
"Tentu akan berhasil karena aku tidak akan lagi menuruti ide konyolmu." Ketus Hujan masih dendam karena ide Aronlah yang akhirnya mempermalukannya saat menyatakan cintanya pada Rinai. Untung saja semua mahasiswa bungkam dan tidak membicarakan tentang kejadian itu. Mungkin mereka semua tau apa akibatnya bila bersenggolan dengan Hujan.
"Apakah kamu yakin dia akan menerimamu?" Tanya Mikael yang berdiri bersandar di tembok dengan menyilangkan kakinya sembari menyesap minumannya.
Hujan mendelik jengah dengan ucapan Mikael. Apakah sahabatnya ini meragukan usahanya untuk meluluhkan gadis itu.
"Mungkin tidak sekarang, tapi aku yakin secepatnya Rinai akan menjadi milikku." Kata Hujan angkuh.
Mikael tertawa samar berjalan mendekati Hujan.
"Kamu terlalu percaya diri." Kata Mikael tatapannya mengarah jauh ke bawah.
"Lihat, Rinai di jemput seseorang." Kata Mikael memiaskan wajah Hujan yang langsung menoleh pada objek perhatian Mikael.
Pupil mata Hujan membesar dengan rahang mengeras, tangannya pun mengepal kuat hingga berhasil meremukan kaleng bir yang berada di genggaman.
Aron menyadari aura mengerikan dari Hujan memundurkan langkahnya dan menarik Mikael.
"Seharusnya kamu tidak memberitahu dia." Bisik Aron kesal pada Mikael.
"Sampai kapan.." kata Mikael lantang membuat Aron semakin panik mendelik ke arah Hujan yang bergeming.
"Sampai kapan kamu mengejar gadis itu Hujan? Rinai sama sekali tak akan melihatmu karena dia sudah bertunangan. Jangan rusak mimpinya dan berhentilah. Aku muak melihat kamu seperti orang bodoh. Ini bukan kamu." Kata Mikael.
Hujan mengeram, menerjang Mikael menyudutkannya ke tembok, tangannya yang mengepal sudah terangkat siap menghajar wajah Mikael yang hanya memberikan ekspresi dingin.
"Kamu tidak akan pernah mengerti." Gumam Hujan melepaskan cengkeramannya dari baju Mikael seraya berlalu meninggalkan balkon.
Aron mendengus menghampiri Mikael yang masih tersandar di dinding.
"Kamu hanya mencari masalah Mikael. Ada apa denganmu? Seharusnya kamu mendukung Hujan bukan memanasinya." Gerutu Aron berlalu meninggalkan Mikael sendirian.
Tbc
