22. Prestasi dan Obsesi

23 1 1
                                    

"Beri tepuk tangan untuk Aditya Airlangga, Frisha Vallencia, Tristan Xavier!"

Ini yang ketiga kalinya Isha mempersembahkan piala kemenangan setahun terakhir. Sesuai tujuan awal, Isha memilih ambisi.

Lupakan Anan! Bocah tengik itu tidak pernah menghargai kebaikan Isha. Sekarang dia pasti sedang bersenang-senang dengan 'gebetan' barunya.

"Isha!" Adit melambaikan tangan di depan mata Isha.

Isha tersenyum simpul. Segera membuang jauh-jauh pikiran jeleknya.

Adit menarik tangan Isha. Membuat gadis berambut panjang itu sedikit kehilangan keseimbangan. Untung saja Adit sigap memegang tangannya.

"Ehem!" deham Firly mengacau.

"Nanti aja pacarannya, kepsek udah nunggu tuh!" tambah Daisy membuat pipi Adit bersemu.

Diiringi tepuk tangan seluruh sekolah, Isha berjalan di belakang Adit menuju podium.

Ada bangga yang terpancar, semangat yang berkobar dan rapuh yang semakin nyata. Semua berkamuflase dalam segaris senyum.

"Selamat, Fris!" Frengky mengulurkan tangan kanannnya. Baki perak masih di tangan kirinya.

Senyum Isha runtuh seketika. Ini juga ketiga kalinya Frengky membawakan piala.

"Kamu hebat. Masih muda sudah membanggakan," puji Frengky berusaha menatap mata Isha. Tangannya masih di udara.

Isha mendesah. Malas mendengar pujian Frengky yang berujung gombal.

"Ayo senyum!" Firly muncul dengan kamera digital.

Perhatian Isha teralih. Senyumnya kembali mekar.

Satu jepretan.

Dua jepretan.

Tiga jepretan.

Frengky terabaikan.

***

"Sha, tour tahun ini lo ikut nggak?" tanya Daisy sambil menyendok nasi gorengnya.

"Harus ikut!" titah Firly tanpa mendengar jawaban Isha. "Pokoknya tahun ini lo harus ikut!"

"Gue harus cek jadwal dulu. Takut bentrok sama lomba," Isha menutup buku catatannya perlahan. Sedikit merasa tidak enak pada teman-temannya karena tahun lalu ia tidak ikut walau dipaksa setengah mati oleh Firly dan Daisy.

"Lomba lagi, lomba lagi," Firly mendesah "Kapan sih lo bisa berhenti mikirin itu? Sedih gue liat lo, pulang malem, kurang tidur cuma buat ngindarin cowok yang cinta setengah mati sama lo. Kalau lo memang benci sama Kak Frengky, terus terang! Jangan siksa fisik lo, Sha!" Firly berkata lantang.

"Lagian sekarang kan lo udah punya Adit," tambah Daisy dengan nada menenangkan. Namun, terdengar seperti mengompori.

"Berapa kali harus gue bilang? Gue nggak ada perasaan sama Frengky!" Isha bangkit dari duduk.

"Sorry," Isha menurunkan nada bicaranya lalu meninggalkan teman-temannya.

Isha berlari cepat menyusuri kolidor lurus berubin putih. Air matanya menguap. Tumpah membasahi pipi. Beberapa siswa yang terdahului menatapnya penuh tanya. Isha tidak peduli. Ia ingin segera sampai ke tempat itu.

Seutas tali tipis yang terbentang tiga puluh senti dari permukaan lantai berhasil membuat Isha tersandung. Nama Frengky terlintas di pikirannya. Apa ini gara-gara kejadian tadi?

Terdengar suara tawa dari balik tembok diikuti munculnya tiga anak laki-laki.

Isha memasang wajah garang. "Ternyata kalian," ucap Isha memungut tali berwarna senada ubin dari lantai. "Mau aku laporin ke Pak Adam biar disuruh cuci wc atau kasih tahu Pak Raihan biar diberi banyak soal?" Isha melirik kamera CCTV yang terpasang di atas kepala mereka.

"Lo pikir gue takut?" Zayn menantang.

"Iya," Isha mengangguk yakin. Mendadak air matanya berhenti mengalir.

"Morries!" Zayn memberi instruksi.

Morries kebingungan.

"Morries!" ulang Zayn tanpa mengalihkan pandangannya dari Isha.

"Apa, Bos?" Morries memberanikan diri bertanya. Juan di sampingnya berusaha menahan tawa.

"Kenapa anak buahmu nggak becus?" tanya Isha mengejek.

Zayn mengeram. Akhirnya ia mengambil sendiri ember plastik berisi cairan hitam. "Makan nih! Dasar cewek rese!" Zayn mengayunkan ember itu.

Isha menutup matanya.

"Cuma cowok nggak waras yang main kekerasan sama cewek," suara berat itu terdengar khas.

Isha membuka matanya. Frengky berdiri tepat di hadapannya sambil memegang pergelangan tangan Zayn.

Isha tertegun.

"Kamu nggak apa-apa, Fris?" Frengky melepaskan tangan Zayn.

Isha putar balik. Merasa tidak perlu menjawab pertanyaan retorik Frengky.

"Frisha! Aku sayang kamu."

Isha mempercepat langkahnya. Lapisan air mata menutupi lensa matanya. Membuat objek yang tertangkap menjadi kurang jelas.

Bruk!

Isha menghapus air matanya. Anan berdiri di hadapannya. Kaku, dingin, dan tanpa ekspresi sama seperti biasa. Entah sejak kapan dia berada di situ. Tiba-tiba Isha ingin tahu.

"A-apa yang kau lakukan di sini?" Isha memberanikan diri bertanya. Sudah sangat lama ia tidak bicara kepada Anan.

"Terima kasih," jawab Anan berlalu.

Isha mematung. Apa ia tidak salah dengar? Ini pertama kalinya Anan bicara padanya.

"Isha!" Adit melambaikan tangan di depan mata Isha.

"Iya!" jawab Isha tersentak.

"Ke perpus yuk!" Adit mengajak tanpa tanya. Bukannya tak ingin tahu apalagi tak peduli, tapi Adit sadar ini bukan saat yang tepat.

Isha mengangguk.

"Mau ke mana, Fris? Biar aku temenin." Frengky menyelip di antara Isha dan Adit.

"Ke toilet," jawab Isha cepat. Hanya itu satu-satunya jawaban agar Frengky tidak ikut.

Frengky mengangguk ragu. Tentu ia tahu itu hanya alasan. Bukan itu yang ia butuh! Frengky butuh penjelasan, kenapa Isha menjauhi dirinya selama ini? Apa salahnya hingga gadis yang awalnya tersipu malu saat bertemu dengannya, kini menghindar setengah mati? Frengky sudah berusaha mencari tahu dari Daisy dan Firly, bahkan bertanya langsung kepada Adit, sampai mengintrogasi Anan. Tapi, hasilnya tak memuaskan.

"Aku permisi, Kak!" ucap Adit sopan. Matanya menatap Frengky segan.

"Tunggu!" pintah Frengky dengan nada dingin.

"Iya," jawab Adit kembali ke posisi semula.

"Jaga Frisha gue baik-baik," pintah Frengky sebelum meninggalkan Adit tanpa mendengar jawaban.

Adit menelan salivanya. Matanya masih terpaku pada punggung besar milik pemuda yang memperkenalkan diri sebagai calon pacar sahabat baiknya. Sedikit merasa miris karena kata 'calon' yang ia sematkan sendiri tak kunjung terhapus setelah 365 hari. Bahkan fakta yang lebih menyedihkan baru saja terjadi beberapa saat lalu.

Belimbing Musim Hujan Where stories live. Discover now