PROLOG

2 0 0
                                    

Suasana duka nampak menyelimuti rumah megah bernuansa khas kerajaan kuno itu. Beberapa pelayat memadati pelataran, sebagian sibuk membantu perjamuan di ruang dapur, sebagian lagi membantu pekerjaan keluarga yang ditinggalkan, menuangkan beras ke dalam karung. Tepat di sudut ruang tamu, seorang wanita baya menangis, meratapi kepergian suami tercinta. Pria yang baru saja memberinya kejutan di malam ulang tahunnya yang ke 54. Dan kini, suaminya itu terbaring kaku di sampingnya.

Gema kalam Illahi dibacakan para pelayat, terdengar begitu merdu, mengiris hati. Pilu. Tak ada yang lebih menyakitkan, dibandingkan berpisah dari yang terkasih, selamanya. Ditambah lagi, ketika sang putra tak kunjung tiba. Meski dirinya telah menghubungi beberapa jam lalu.

"Jenazah diberangkatkan pukul berapa?" tanya seseorang

"Kurang lebih, pukul sebelas siang. Masih menunggu putranya," sahut lainnya.

Mercedes Benz Gle 250 D berwarna hitam metalic memasuki halaman, membelah ratusan tamu yang bergumul di satu sudut. Seorang lelaki muda berlari tergesa-gesa, menyambut.

"Oh, itu Mas Ghaffar, putra tunggal Pak Suryo," ujar salah satu pelayat. Teman di sampingnya mengangguk.

Tak lama, usai dimandikan, jenazah Pak Suryo langsung di sholatkan dan di berangkatkan ke makam terdekat. Suasana berlangsung haru.

Beberapa hari usai masa berkabung, seorang pengacara datang. Meski pun suasana sedang tak enak, tetapi Pak Handi sebagai pengacara yang telah dipercaya oleh keluarga Sudibyo itu, tetap melaksanakan tugasnya.

"Apa maksudmu, Pak Handi? Suamiku tidak mungkin meninggalkan hutang sebesar itu, apalagi untuk urusan yang belum jelas detailnya?!" Miranda berdiri dari duduknya. Wajah menegang, pucat pasi. Disampingnya, Ghaffar berusaha menangkan.

Pak Handi juga mengatakan, bahwa seluruh aset rumah dan perusahaan akan diambil alih, jika sampai keluarga Sudibyo tak mampu membayar hutangnya. Kecuali, jika mereka menerima pilihan terakhir. Menikahkan putra mahkotanya dengan putri dari keluarga Wijaya.

Miranda duduk di ujung ranjang. Kepala terasa berat, sulit memikirkan apapun. Hutang keluarga yang begitu besar, dan pilihan itu? Jelas semua sulit diterima. Terlebih ia paham benar, putranya baru setahun lalu kehilangan istrinya.

Wanita itu mendongak, menatap langit-langit kamar seolah mencari jawaban. Tak ada cara lain, selain menikahkan mereka. Andai pun ada, mungkin tak sebaik pilihan terakhir.

Terdengar pintu di ketuk dari luar, dilangkahkan kakinya membuka pintu. Ghaffar, putranya masuk memberi salam.

"Apa mama sudah mendapat ide lain? Mungkin kita bisa pinjam ke...,"

"Tidak, nak. Keluarga kita, adalah keluarga terpandang. Meminjam uang sekecil apapun, pasti akan ketahuan juga. Untuk itu, satu-satunya cara adalah menikahkanmu dengan gadis dari keluarga Wijaya,"

What the hell?

Pria bermata elang itu, sedikit terkejut mendengar putusan akhir sang ibu. Menurutnya, sang ibu sudah salah mengambil langkah. Ini mungkin sebuah jebakan. Tetapi sialnya, dirinya tak mampu melawan kehendak.


BERSAMBUNG 

SEMESTA MEMILIHMUWhere stories live. Discover now