[7] An End

495 52 79
                                    

Twinkle, twinkle, little star
How I wonder what you are
Up above the world so high
Like a diamond in the sky

Twinkle, twinkle, little star
How I wonder what you are

Chengxin memejam ketika belah bibirnya melantunkan sebuah nada. Jemarinya menari di atas meja, membuat ketukan seirama dengan melodi yang dimainkan oleh seorang pria. Chengxin pikir, piano di ujung ruangan tak boleh disentuh oleh sembarang orang. Bahkan ia sempat mengira bahwa alat musik mahal itu hanya sebuah hiasan. Tanpa boleh dimainkan. Tapi ternyata ada seorang pria yang bermain di sana—melantunkan melodi yang berasal dari puisi karya Jane Taylor yang telah amat mendunia.

Iris Chengxin menjelajah ke segala penjuru, meniti satu persatu entitas yang ada di ruangan itu. Chengxin tak pernah tahu kalau di sudut kota Shanghai ada kafe yang sebegini mampu memikat mata—oke, ini hiperbola. Selera orang mungkin berbeda, jadi kalimat pujian yang Chengxin rapal—bagi sebagian orang—tak akan berlaku sama. Hanya saja, Chengxin tak tahu mengapa ia bisa sebegitu suka dengan kafe yang saat ini ia singgahi. Rupanya Yuhang pandai juga memilih tempat untuk ngopi. Interiornya sederhana, tapi nyaman untuk dinikmati. Tempatnya pun tak begitu besar, tapi cukup untuk menampung para pelanggan yang datang ke sini.

"Loh, pesanannya belum datang juga?"

Iris Chengxin bergulir ke arah sosok Yuhang yang berjalan mendekat sambil menenteng sebuah jaket berwarna biru muda. Chengxin menunggu pemuda itu untuk duduk terlebih dahulu, baru kemudian ia bicara. "Mungkin sebentar lagi. Kau sendiri, mengapa lama?"

"Tadi toiletnya cukup ramai," balas Yuhang cepat, mencegah Chengxin berpikir yang tidak-tidak.

Chengxin hanya mengangguk singkat, kemudian meraih ponsel yang semula berada di atas meja. Dan tak lama setelah itu, ada satu orang pelayan wanita yang datang menghampiri mereka. Yuhang menyambut dengan senyuman dan Chengxin segera menyimpan ponsel ke dalam saku celana sebelah kanan. Mereka mengucap terima kasih sambil meraih masing-masing pesanan.

"Makanannya belum ya?" tanya Yuhang kemudian. Baginya, menunggu itu menyebalkan. Ia sudah rela membuang waktu hanya untuk mengantre di toilet beberapa waktu lalu. Dan ia tidak mau dua kali menunggu.

"Mohon ditunggu sebentar, akan saya tanyakan," ujar si pelayan wanita, kemudian menghilang dengan segera. Yuhang bisa melihat wanita itu tergesa hingga cepat sekali geriknya.

Chengxin mengikuti arah pandang Yuhang selama beberapa saat. Kemudian mereka sama-sama menoleh hingga iris mereka bersitatap. Di detik itu, ada canggung yang merayap. Padahal Chengxin sudah memantapkan diri berkali-kali untuk bersikap biasa saja ketika bertemu Yuhang hari ini. Tapi ternyata masih ada rasa canggung yang tak bisa ia tutupi. Dan itu ketara sekali.

Yuhang sendiri pun sama. Mereka sudah lama sekali tidak berjumpa, dan jelas ia tak akan bisa bersikap seperti biasa. Saat ini rasanya ia ingin memaki Qilin yang tak kunjung datang. Qilin memang selalu menyebalkan. Yuhang bisa menerka bahwa pemuda itu pasti sengaja datang belakangan. Perihal ada urusan dengan staf yang Qilin sampaikan tadi pasti hanya dalih supaya pemuda itu bisa menipu Yuhang. Supaya ia dan Chengxin terjebak dalam situasi beku seperti sekarang.

"Huang Qilin masih belum datang juga. Apa belum ada kabar darinya?"

Chengxin bertanya pada Yuhang dengan harapan bahwa Yuhang tahu jawaban dari pertanyaan yang ia lontar. Tapi ternyata harapnya sia-sia. Karena Yuhang ternyata membalas dengan gelengan kepala.

"Wǒ bù zhīdào. Tadi dia bilang akan menyusul karena ada urusan dengan staf. Plus lebih baik untuk kami datang berpencar supaya tidak ada penggemar yang curiga, katanya. Tapi aku tidak tahu mengapa dia belum juga datang. Dia tidak membalas pesan, tidak juga menjawab panggilan. Entah, mungkin terjebak kemacetan dan ponselnya tidak mendapat sinyal."

Gazing At a Distant Star[√]Where stories live. Discover now