Kameya 6

6 0 0
                                    

Hari ini, hari dimana Meya kembali menjalani harinya seperti biasa. Iya, biasa dengan wajah sendu serta kesendirian yang melanda. Apa gunanya manusia-manusia itu lalu lalang di kehidupannya? Jika hanya semakin membuatnya merasakan sepi yang kian mencekam.

Sekolah berjalan seperti biasanya. Siswa-siswa lainpun sudah terbiasa dengan Meya yang entah bisa dianggap ada atau tidak. Karena pada kenyataannya gadis itu tidak pernah bersuara kecuali dalam hal tertentu, itupun bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.

Bumi...

Bolehkah permintaanku kali ini engkau indahkan?

Jangan dijawab. Aku bahkan sudah tahu jawabannya sebelum kau bersuara

Tapi aku hanya ingin mengutarakannya, hanya ingin

Hadirkan kembali senja di duniaku, kembalikan lagi

Biar hanya sekali... tak apa

Aku merindukan kehangatannya memelukku bumi

Tangan Meya mengusap kasar wajahnya yang tiba-tiba basah. Entah kenapa ia menangis, karena tidak ada lagi yang harus ia tangisi. Semuanya sudah jelas menjadi takdirnya. Ia harus terbiasa bersahabat dengan kesendirian yang mencekam ini. Dan semuanya akan baik-baik saja, selama ia menganggap semua yang ada hanya manekin semata.

Pandang kedua mata sendu itu, berakhir pada ujung sepatu wali kelasnya, yang melangkah dengan orang asing disampingnya. Seperti biasa, ia tidak akan peduli pada apapun yang menyangkut soal sosial di kehidupannya. Ingat, apapun itu!.

"Hari ini kalian kedatangan teman baru. Silahkan perkenalkan nama kamu!"

"Hai semuanya, perkenalkan nama saya Argafa Abraf, kalian boleh panggil saya Arga"

"Baiklah Arga, kamu boleh duduk di kursi kosong di samping Kameya"

Guru tersebut memberi arah kemana Arga harus melangkah. Tentunya ke tempat gadis yang sedari tadi tak tergubris oleh kehadirannya. Hingga tubuh itu mendarat di posisinya pun, tak membuat Meya mengarahkan pandang walau hanya sekilas. Tatapannya masih tercuri oleh kertas kosong di depannya.

***

Cahaya itu hilang, tubuhnya terasa ringan. Entah apa yang tengah terjadi pada dirinya. Semua cahaya yang ia lihat sedari tadi tiba-tiba meninggalkannya begitu saja. Kepalanya memberat, berdenyut tak tertahankan. Apa yang terjadi padanya?

Tentu saja Gafa tidak mengerti apa yang terjadi dengannya. Yang ia lakukan hanya berjalan dan terus berjalan menjauhi rumah gadis yang telah membencinya tersebut. Entah dimana ia saat ini, ia tidak tahu. Semuanya perlahan memburam dari pandangannya. Energi yang menopang tubuh itupun perlahan habis. Hingga tumbanglah ia ditengah kesendirian yang mengombang-ambingkannya.

***

"Arga!"

Langkah anak baru tersebut terhenti bersamaan dengan suara yang memanggilnya. Ia sangat kenal dengan suara itu, suara guru yang menuntunnya berkenalan di kelas barunya. Ia berbalik menghadap sang pemilik suara tersebut.

"Iya Bu?"

"Boleh Ibu minta tolong berikan buku ini ke teman kamu Meya?"

"Meya? Teman yang duduk disamping saya itu Bu?"

Guru tersebut mengangguk sembari tersenyum kearah Arga. Tidak ada salahnya meminta Arga mengembalikan buku tugas Meya. Selain mereka teman sebangku, Bu guru itu pun berharap agar Arga berdampak positif pada Meya. Ia sudah putus asa harus dengan cara apalagi ia menghadapi murid introvertnya tersebut.

"Yasudah saya ke kantor dulu. Jangan lupa yah Arga"

"Baik Bu"

Keduanya berjalan dengan arah masing-masing. Tentunya dengan raut wajah yang sama-sama cemas. Perbedaannya hanya terletak pada penyebabnya. Guru itu cemas akan hal apa yang akan disuguhkan Meya pada anak baru itu, sedangkan Arga cemas karena hal lain.

Akankah gadis bernama Meya itu tersenyum padanya, atau setidaknya memalingkan pandang padanya. Karena yang ia tahu, gadis itu tak pernah melirik kearahnya bahkan sedetik. Padahal wajahnya lumayan loh.

Langkah Arga tertuju pada meja disamping tempat duduknya. Gadis itu masih tetap sama, fokus menatap buku yang ditebak Arga itu adalah novel. Sebuah novel bertema kesendirian karya penulis kondang, Arga pernah melihat buku itu di gramedia.

"Maaf, ini buku kamu dari Bu Indy"

Gadis itu tersentak, lalu menatapnya. Tatapan yang tak bisa Arga artikan. Wajah itu pucat, novel yang ia pegang terjatuh ke lantai. Bibirnya gemetar entah kenapa. Hingga membuat Arga hilang akal harus berbuat apa.

Meya masih menatap lekat orang di depannya tersebut. Mata itu, hidung, rambut, bahkan senyumnya. Memori Meya seakan berputar secara paksa. Merenggutnya kembali ke masa itu. Masa yang berlaku beberapa waktu yang lalu. Yang membuatnya kembali mengingat sakitnya kenyataan itu menikam tepat di jantungnya.

Kenapa semuanya seperti ini? Apakah ini hanya kebetulan atau memang bumi ingin bermain dengannya lagi? Jika ini permainan, bolehkah Meya menyerah saja sebelum permainannya dimulai? Ia sudah tidak bisa berdamai dengan segalanya. Semua itu sudah dalam melukainya, sudah pekat kelam yang dilukiskannya. Hingga tak mungkin lagi tergores oleh warna baru yang menghampiri.

"Meya!! Kamu mau kemana?"

Arga. Tentu saja ia kehilangan fokus saat tubuh gadis itu melenyap seketika dari hadapannya. Langkah kaki yang ia lihat begitu cepat. Tubuh itu berlarian keluar kelas, memecah keramaian koridor.

Bumi jangan bermain lagi denganku. Jangan kau buat aku dihantui segalanya. Aku sudah benar-benar ingin melupakannya. Aku tidak lagi berteman dengannya. Lalu kenapa wajahnya masih berkeliaran disekelilingku, bumi?.

*** 

Langit biru mengabu tanpa pertanda. Angin menuntun tubuh gadis itu berjalan sepanjang koridor, entah kemana kaki itu akan membawa tubuh lemahnya pergi. Yang jelas saat ini, ia terus berjalan walau tak tahu arah.

Jika sudah seperti ini, kepada siapa lagi ia harus mengadu? Kepada siapa lagi ia harus mengeluh? Disaat bumi pun enggan mendengar kesahnya. Lantas bagaimana dengan orang-orang diluaran sana?.

Suara bising menerjang gendang telinga gadis itu, suara yang amat keras, hingga mampu membuatnya tersungkur diatas bebatuan taman belakang sekolah. Rasa perih dilututnya tak seberapa jika dibandingkan dengan sakitnya alat pendengar itu dihantam suara yang begitu keras.

Ia ingin memekik, berteriak, meronta, bahkan memaki dan mengeluarkan beban yang tertahan di dalam perasaannya. Namun suaranya seakan tertahan, pekikan tersebut enggan keluar dari tenggorokannya. Lihat! Bahkan tubuhnya saja mempermainkannya.

"Jangan tutup telingamu!"

Entah darimana suara itu berasal. Suara yang menggema disela-sela bising yang menghantam pendengaran Meya. Suara halus namun berhasil mencabik perasaannya.

"Hahahah lihat! Bukankah sudah ku katakan, ikutlah denganku."

Mata Meya memanas. Nafasnya memburu. Tidak. Tidak seperti ini yang ia inginkan. Bukan situasi seperti ini yang ingin ia hadapi. Tidak terjebak seperti ini. Tidak.

"Ikutlah denganku!"

"Ikutlah denganku!"

"Ikutlah!"

Cukup. Cukup. Cukup. Akhiri semuanya. Beritahu gadis itu bagaimana cara mengakhiri semuanya saat ini juga. Tentu, tentu saja ia sudah lelah dengan segala maya yang seakan nyata dalam dunianya. Tolong, siapa saja yang bisa membantu, tolong gadis itu.

Isak yang keluar dari mulutnya tak lagi bersuara. Tangis yang meronta tak lagi berair mata. Kini ia hanya bisa pasrah, apa saja yang akan terjadi padanya ia tak lagi peduli. Ia membiarkan dirinya terseret arus menyakitkan. Hingga samar-samar tak lagi ia lihat rerumputan hijau taman yang ia duduki beberapa detik lalu.

*** 



Senjameya

KameyaWhere stories live. Discover now