[17] Peduli Bukan Lancang

1.3K 260 8
                                    

Bukan siapa-siapa.
Hanya sebatas seorang yang peduli.

Memintamu dalam Istighfar•

Suasana siang ini tidak terlalu bersahabat, Dian duduk bersandar dengan tangan bersilang di depan dada. Tatapannya tidak beralih dari awan Columbus yang sudah menutupi langit pagi ini.

Sapuan angin kencang masuk melalui celah jendela, membuat dingin terasa menusuk pori-pori. Ditambah sore ini dia hanya memakai kaus putih dengan outler tipis berwarna dongker.

Jika saja dia tahu akan hujan, Dian akan langsung pulang berdiam di dalam kamar dengan selimut tebalnya. Ia melihat jam tangan mungilnya sejenak, masih pukul setengah dua siang. Terlalu cepat untuk pulang dan lagi, dia juga malas. Sepi.

Es krim yang masih mengepulkan uap dinginnya membuat Dian mulai menikmati. Tidak peduli cuaca yang dingin, mubazir saja es krim enak seperti ini dibuang. Sambil menikmati es krim rasa stroberynya, Dian mengengam androidnya, mengulirkan layar dan menyentuh aplikasi whatsapp.

Perhatiannya langsung tertuju pada chatt Lesa. Dia mengirim sebuah gambar. Ada foto yang memperlihatkan gimana Arkan terus bersama Dinda.

Lesa
Wuih Akan posesif banget sama Dinda. Hari ini dia masuk, sumpah dari pagi mereka barengan terus. Mana Arkan juga ke kelas Dinda tiap waktu.

Panas. Dian meletakkan ponselnya kasar seraya memberengut. Dia tidak bisa apa-apa sekarang. Dia memang sengaja meminta Lesa memberi kabar perihal Arkan. Walaupun dia tidak sekolah, Dian harus tahu kabar Arkan setelah kemarahan laki-laki itu beberapa hari lalu.

"Dian?"

Panggilan tersebut membuat perhatiannya beralih. Dian mengerjap. "Kak Ilham?"

Ilham tersenyum. Mengangguk dan ikut duduk. "Gue duduk di sini ya?" Laki-laki itu kini memakai kemeja putih bergaris hitam dengan jeans hitam. Rambutnya yang hitam legam disisir rapi ke samping. Membuat laki-laki itu lebih terlihat tampan. Ditambah dua mata teduhnya menatap Dian sejenak setelah melirik arloji, tidak kurang dengan seulas senyum.

"Gak sekolah?"

"Ooh ... ahaha gak," balasnya cengcesan.

"Why?"

"Skors," balasnya sekenannya dan kembali memakan ice cream. "Buat masalah dikit," lanjutnya begitu Ilham menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

"Lo sendiri ga-"

"Bos?"

Panggilan lain membuat pertanyaannya terhenti. Keduanya sama-sama menoleh. Seorang laki-laki berambut sedikit kriting, berwajah lonjong datang dengan beberapa kertas dan menyerahkannya pada Ilham.

"Nama aja, Zaq," koreksinya kurang suka.

Fazaq terkekeh. "Oke, Ham, oke. Ini yang lo minta, laporan keuangan bulan ini."

"Oke. Thanks ya."

Fazaq mengangguk, melirik sejenak pada Dian dan tersenyum ramah sebelum berbalik pergi.

"Kenapa tadi?"  Ilham mendongak sejenak, sebelum matanya sibuk memperhatikan beribu angka di kertas. Kedatangannya siang ini ke kafe tak lain hanyalah untuk memantau dan melihat laporan keuangan. Memang, Ilham pemilik kafe ini. Jadi, wajar dia dipanggil bos tadi, walau berkali ia menekankan panggil nama saja.

"Ooh," Dian tersentak setelah kepergian laki-laki bernama Razaq tadi, "Gue tadi mau tanya. Lo sendiri gak kuliah?"

"Baru selesai." Ilham tersenyum dan kembali sibuk pada pekerjaannya. Sedang Dian memperhatikan lama sambil menikmati Ice creamnya. Menunggu juga sampai Ilham selesai dan menyimpan kertas itu di dalam tasnya.

Memintamu dalam Istighfar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang