Part 1

451 70 295
                                    

Drrtt

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Drrtt... Drrtt...

Bunyi alarm yang berisik memaksanya bangun dari mimpi indah. Menyesal sudah memasang alarm di jam sepagi ini. Apalagi pelukan hangat, serta embusan napasnya yang tenang meniup tengkuk perlahan, membuatnya malas-malasan membuka mata. Tapi, mau tidak mau, ia harus tetap bangun di waktu yang tepat. Tangan kecilnya bergerak menyingkap selimut tebal yang menutupi tubuh mereka berdua. Di luar matahari sepertinya sudah menyingsing, sinarnya masuk ke kamar dan menciptakan warna kuning keemasan di setiap benda yang diterpanya. Tapi ia rasa untuk waktu lima menit ke depan tidak akan menyita waktu banyak untuknya. Kembali ditenggelamkan lagi kepalanya, matanya memejam, dalam hatinya terus berjanji lima menit lagi akan bangun.

Drrtt... Drrtt...

Ia tidak boleh mengabaikan alarm untuk yang kedua kalinya. Kali ini ia berniat untuk benar-benar bangun. Meski jam kuliahnya siang, tapi masih banyak tugas-tugas yang harus dikerjakan sebelum berangkat. Ia ingin beranjak, namun urung kala pelukan di perutnya kian mengerat. Mengajaknya kembali dalam pelukan yang lebih hangat.

Wanita berkulit seputih susu itu berbalik menyamping ke sebelah kanan. Membelakangi kaca jendela. Membiarkan matanya puas memandangi wajah damai di sampingnya. Dia masih terpejam, tapi pagutan tangannya begitu kokoh di pinggang. Melepas sebentar hanya demi menarik ujung selimut untuk membungkus tubuh mereka berdua sampai kepala. Samar-samar ia melihat sunggingan senyum di bibir prianya. Dia menyadari jika sang wanita telah memandangnya selama itu. Tak bersuara, begitu pun dengan pria berambut pirang tersebut. Tetapi, sekejap pria itu membawa dalam dekapannya hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka.

Drrtt... Drrtt...

Sialan! Alarm berbunyi sudah tiga kali. Ia akan kesiangan jika tetap di posisi itu. Lagi menyingkap selimut, menghempas tangan yang memeluk, lalu beringsut turun dari tempat tidur. Dan lagi, tangan kokoh itu menahan, tapi maaf, sekarang sang wanita tidak bisa menurutinya lagi dan harus segera menyelesaikan pekerjaannya dulu.

"Hyeji, kau terburu-buru sekali," cicitnya. Matanya mengerjap menatap kesal. Menyatukan tangan dan melipat ke atas kepala sebagai bantal. Selimutnya jatuh sampai batas pinggang. Membiarkan enam kotak yang berderet di perutnya terekspos bebas.

Hyeji mengikat tali kimono di pinggang. Diam sejenak memerhatikannya. "Ada banyak tugas yang harus segera kukerjakan, Jimin," katanya menukas.

"Aku akan membantumu."

"Tugasnya di laptop. Kerjakan saja. Aku mandi dulu," tambahnya tak acuh.

Langkahnya menuju kamar mandi. Segera menyalakan keran, lalu berdiri di bawah shower. Senyum muncul tiba-tiba, ia tidak yakin jika Jimin bisa mengerjakan tugas-tugasnya, sebab pria 'Park' itu tipe orang tidak mau ambil pusing.

Jimin menunjukkan tugas-tugasnya yang sudah selesai dengan bangga, tepat saat kekasihnya keluar dari kamar mandi.

"Wah, kau hebat," Hyeji memuji. "Terima kasih, Sayang." Tangannya menggapai pipi Jimin sesaat.

Lie [On Going/4]Where stories live. Discover now