Chapter 2: Arung Kabut

12 1 0
                                    


Siul berayun dalam asing nalam

Dijawabnya gemuruh arus dan riak 

Dipanggilnya rantai larik dan titik

Mengukiri kabut dengan makna silam

***

Dentang genta kembali membuyarkan sunyi dari kejauhan, dan segera saja Wira berdiri sembari tergopoh meraih tas selempang miliknya. Di sampingnya, Kakek pun mengangkat dua tasnya dan satu karung berukuran sedang. Tak lama, sebuah titik cahaya berwarna lembayung megecup visi sang anak, semakin jelaslah cahaya itu terpaku dalam lentera perak di ujung perahu.       

Suara riak air mengisyaratkan perahu kayu kecil dengan haluan berukir gelombang akan segera merapat. Hanya ada seorang di atas sana, pria berambut pirang yang menggenggam dayung kayu. Wajahnya selalu samar dalam bayang topeng tembaga dengan rupa elang berparuh tajam dan ukiran bulu sang burung. Hanyalah mulut, dagu dan samar mata berwarna sedikit terang yang terlihat dari wajah itu. Jubah pendek sepinggang yang dikenakannya berayun-ayun seiring gerak sang pria mendayung.


"Paman!" panggil Wira dengan semangat. Anak itu memang menyukai orang yang satu ini. Pria ini tak menyebalkan seperti kakek berjanggut merah.     

"Kali ini kau sedikit terlambat, eh" komentar kakek sembari sedikit mendengus dan mengelus janggutnya.     

"Apa boleh buat kek, juru perahu hanya aku seorang" tak sedikitpun marah, suara ramah itu pun menjawab keluhan calon penumpangnya itu. Tangan kirinya yang terbalut sarung tangan kulit lekas mendayung perahu hingga menepi pada pelabuhan kecil itu.     

"Apalagi dengan satu lenganmu itu ya" kini sang kakek mengangguk-angguk lalu melompat naik. Perahu dan pria bertopeng itu bergoyang miring karena berat tubuh sang kakek dan barang bawaannya itu. Sang kakek menempati kursi tengah di perahu.     

"Cepatlah naik, arus kabut sebentar lagi datang!" panggil pria bertopeng itu pada Wira.

Anggukan Wira disambung oleh lompatan sang anak, diambilnya kursi paling depan yang tersisa. Berangkatlah perahu kecil itu, tidak ada salam dan percakapan apapun selama mereka meninggalkan pelabuhan. Bahkan kakek pun hanya memandangi riak air dengan tenang. Wira pun memejamkan kedua matanya, telinganya kembali dipasang baik-baik. Hanya ada suara perahu yang didayung dan percikan air. Wira ingin menguji apakah kali ini ia bisa menerka kedatangan arus.      

"Arusnya datang..." bisik Kakek dari kursi belakang, membuat sang anak membuka matanya dan memandangi sekeliling.Berselang beberapa detik, angin seketika bertiup begitu kencangnya. Bagian depan perahu terangkat seolah terbentur batu yang keras. Wira, yang berada di depan nyaris terpelanting. Untunglah ia langsung memegang tepi perahu kuat-kuat. Kini, perahu itu tak lagi berada pada tenangnya perairan Telaga Kabut, melainkan terbawa arus yang cukup deras.


 "Arus yang sangat hebat!" ujar Kakek Jenggot Merah sembari mengamati gemuruh air di samping perahu.     

"Dengan arus seperti ini, kita bisa sampai ke pelabuhan atas sebelum senja" tak lagi mendayung, pria bertopeng pun mengikatkan dayungnya melintangi bagian belakang perahu. Pria itu mulai meraih batang kemudi dan mengambil posisi duduk.     

"Baguslah kalau begitu.." Kakek Janggut Merah pun tersenyum lebar sambil menepuk pinggangnya. Ia pasti senang karena tak harus menduduki batang kayu keras dan agak kasar itu sampai malam tiba.     

"Ngomong-ngomong, kakek bawa karung apa sih?" Wira pun bertanya sembari menunjuk karung yang kelihatan agak berat.     

"Bulir gandum terbaik pernah kulihat di kota, mereka menggilingnya dan membiarkan aku untuk membelinya!" Layaknya mendapat emas, sang Kakek bertutur dengan penuh semangat.   "Ah, tapi aku tak bisa membukanya sekarang dan membiarkan tepungnya menjadi lembap"

Kelana WiraWhere stories live. Discover now