MMPP! 4

12K 445 22
                                    

Naresh membuka mata dengan kepala yang terasa berdenyut. Sambil menekan pelipisnya, Naresh meneliti di mana lokasinya berada saat ini dan ternyata di apartemennya sendiri. Ia mencoba memutar memori ingatannya tentang kejadian terakhir sebelum dirinya lunglai seperti sekarang.

Ingat siapa yang bersamanya semalam, Naresh langsung duduk dengan terkejut. Sakit kepalanya mendadak lenyap dan mulai mencari sosok itu.

"Val—" Naresh merasa janggal saat selimutnya merosot meninggalkan dada bidangnya yang sudah tanpa sehelai benang. Lebih menunduk lagi, Naresh mengintip di balik selimut... Naresh benar-benar naked. "Valerie!!" lanjutnya.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain dirinya, Naresh segera memakai kembali pakaiannya semalam yang entah mengapa bisa lepas dari tubuhnya dan tercecer di lantai. Pria itu kesana-kemari memeriksa setiap ruangan, namun Valerie tidak ada.

"Demi Tuhan, anak itu senekat ini." geram Naresh kembali ke kamar.

Hilang sudah keperjakaan Naresh yang selama ini dirinya jaga untuk sang istri kelak. Kesal, emosi dan ingin marah, namun subjek marah itu sendiri dengan cerdiknya langsung kabur setelah mendapat apa yang ia ingin. Naresh yakin, Valerie telah memperkosanya.

Naresh meraih ponsel dari atas nakas tanpa melihat, lalu ia sadar telah menjatuhkan sesuatu; secarik kertas.

Good morning, Naresh :)
Terima kasih.
-Valove

Naresh mengembalikan kertas itu ke nakas dengan emosi yang menjadi-jadi.

"Astaga, gadis itu!!"

Kali pertamanya... dan Naresh tidak ikut merasakan bagaimana nikmatnya. Sial, Naresh adalah pria paling menyedihkan di muka bumi. Valid, no debat.

Dirinya dan kamar ini sudah tidak suci, apalagi tempat tidur dan... sprei putih itu. Naresh dengan cepat menyingkirkan selimut dan melepas sprei untuk dimasukan ke keranjang cucian. Ketika menggumpalnya menjadi bagian yang lebih kecil guna menghemat ruang, tanpa sengaja Naresh melihat noda berwarna merah. Tidak banyak, hanya beberapa titik bercak saja. Padahal sprei itu baru diganti kemarin sore.

Apa ini darah kegadisan Valerie? benak Naresh bertanya.

Jika iya, maka mereka impas. Setidaknya sama-sama pertama kalinya. Namun perlu digaris bawahi, Naresh tetap marah.

***

Sepulang dari apartemen Naresh untuk melakukan hal nekat di luar nalar, kini Valerie terbaring lemah tak berdaya. Seusai mandi ia menggigil dan demam tinggi. Antara yakin dan tidak, Valerie beropini bahwa sakitnya ini karena baru saja kehilangan keperawanan. Apalagi, dirinya sendirilah yang berusaha melakukan hal itu, bukan seperti perempuan kebanyakan yang mereka hanya tinggal menikmati karena selalu si pria yang berusaha.

Tapi Valerie sama sekali tidak menyesal sebab usahanya berjalan lancar. Tinggal menunggu hasil saja dan Valerie sangat berharap ia akan cepat hamil dalam sekali melakukan. Semoga...

"Non Valerie, diminum dulu obatnya supaya demamnya reda. Saya kompres juga, ya? Nanti saya langsung telepon bapak."

Valerie memutar bola matanya. Asisten rumah tangga yang bernama Rumi itu memang sedikit bawel, wajar karena ia sudah ikut keluarga Smith saat bahkan Valerie belum lahir. "Valerie cuma perlu tidur sebentar dan jangan telepon papa."

"Atau mau makan dulu biar saya ambilkan?"

Valerie menggeleng cepat. "Enggak, bi. Valerie mau istirahat aja."

"Saya kabari Den Vino dan Den Virgo dulu, non."

"Bi!!" hardik Valerie menghentikan langkah Rumi. "Enggak usah, nanti Valerie malah diomeli. Biar aja mereka enggak tahu, nanti sore Valerie juga bakal baik-baik aja, kok."

"Ya, sudah..." putus Rumi mengalah. "Nanti kalau butuh apa-apa langsung panggil saya."

"Oke."

Membiarkan nona mudanya istirahat, Rumi segera keluar dari kamar yang super wangi itu. Beberapa kali Rumi sakit kepala karena kamar itu dirasa terlalu semerbak bahkan mengalahkan taman bunga, namun anehnya Valerie suka itu.

Menuruni anak tangga bertujuan ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya, namun langkah Rumi berbelok menuju pintu utama karena bel rumah berbunyi. Meski bukan hanya Rumi asisten di rumah itu, namun tetap saja ia yang posisinya saat ini paling dekat. Rumi segera berlari dan membukakan pintu. Seorang laki-laki tampan tengah berdiri di hadapannya.

"Permisi," sapa pria itu.

Rumi lupa-lupa ingat tapi sudah sangat familiar dengan Naresh. "Temannya Non Valerie, bukan?" tebaknya.

Ia tersenyum ramah karena cukup tersanjung masih dikenali Rumi. "Ternyata Valerie memang belum pindah rumah."

"Silakan masuk, den..." Rumi melebarkan pintu dan membiarkan pria tersebut berjalan di depan untuk menuju ruang tamu.

"Valerie-nya ada?" tanyanya saat sudah duduk di posisi ternyaman.

"Ada, sih... tapi Non Valerie lagi kurang enak badan. Baru pulang pagi tadi, entah dari mana dan langsung demam."

"Boleh saya langsung ke kamarnya aja?"

"Eh?" kikuk Rumi yang bingung harus menjawab apa. Ia takut Valerie marah jika tiba-tiba ada orang lain masuk ke singgasananya, terlebih orangnya laki-laki.

"Tenang, saya enggak akan macam-macam, kok. Mungkin bibi ingat saya?"

Rumi berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Salah satu mantan pacarnya Non Valerie waktu kuliah? Tapi saya lupa namanya, maklum sudah tua."

Orang itu tertawa, lucu bukan mengejek. "Naresh."

"Ah, iya, Den Naresh."

"Jadi, apa boleh saya jenguk Valerie?"

Rumi ragu, tapi melihat keseriusan Naresh yang sepertinya tidak main-main dengan ucapannya maka ia akhirnya mengangguki. "Silakan, den..."

Naresh mengangguk dan segera melesat ke lantai dua. Dia tahu kamar Valerie yang mana sebab tidak banyak berubah dari rumah ini, hanya cat dan beberapa ornamennya saja yang diganti mengikuti zaman yang semakin maju ini, masalah tata letak masih sama.

Membuka pintu perlahan, Naresh mengintip sebentar. Ternyata gadis itu sedang tertidur. Niatnya ke sini untuk marah dan protes, tapi jadi tidak tega. Namun Naresh tetap masuk, setidaknya mereka perlu bicara dan ia ingin mendengar kejelasan tentang apa saja yang sudah Valerie perbuat pada dirinya. Menutup kembali pintu berwarna putih itu, Naresh melangkah mendekati tempat tidur kemudian duduk di tepi menghadap Valerie.

"Valerie," Naresh menepuk pipi gadis itu yang terasa sangat lembut di permukaan kulitnya. "Bangun sebentar, kita perlu bicara."

Dalam beberapa kali panggilan serta tepukan, gadis itu baru mulai membuka matanya.

"Naresh!!" sentak Valerie benar-benar terkejut dengan makhluk di dekatnya itu.

"Apa yang kamu lakukan semalam, Valerie?" tegas Naresh, mengenyahkan ego untuk berempati pada kondisi Valerie yang sebenarnya sedang tidak fit.

Valerie memilih duduk, lalu hanya bisa menunduk. Ia takut jika orang-orang sudah mulai menggunakan nada marahnya seperti ini, Valerie tidak suka dibentak atau dimarahi. Ia terlalu menganggap bahwa dunia ini fairy tale—yang akan menganggap dirinya adalah salah satu ratu di dalamnya.

"Cuma demi warisan, bahkan kamu rela menurunkan harga diri kamu. Aku enggak habis pikir ada perempuan rendah seperti kamu."

Valerie tertegun mendengar kalimat itu. Naresh-nya yang dulu sangat menyayangi dan selalu mengayomi, sekarang bisa berkata seperti itu padanya.

"Aku enggak ada pilihan, Naresh. Maaf,"

"Ada pilihannya. Hanya kamunya aja yang terlalu menutup mata untuk itu."

Valerie mendongakkan wajah dengan wajah menantangnya. "Apa pilihannya?"

"Menikah sama aku."

Membeku seketika, Valerie kehilangan kata untuk membalas ucapan Naresh.

***

Semangat untuk kalian yang sudah kembali kuliah online dan semangat juga untuk para pekerja.

Make Me Pregnant, Please!Where stories live. Discover now