3. Serigala dan Domba

196 22 12
                                    

SELEPAS MANDI, saat berdiri di depan cermin kamar mandi, aku menyadari bahwa hidungku sudah sehat seperti sedia kala. Tidak ada memar yang tersisa. Saat kupijat-pijat, tak ada sakit yang terasa. Aneh. Biasanya butuh waktu satu sampai dua pekan untuk bisa lenyap betulan. Namun, ini kan belum ada sehari-semalam, sudah sembuh duluan.

Sekeluarnya aku dari kamar mandi, kulirik ke sana-sini, dan akhirnya aku menyadari ada yang tidak beres: Amanda tidak ada di kamarku dan pintu kamar terbuka lebar.

Dasar, anak itu benar-benar tidak bisa diatur.

Aku beranjak keluar kamar, menuruni anak tangga. Kudapati dia sedang menonton televisi di ruang keluarga lantai satu, sambil memakan mi kuah instan dalam wadah gabus sintesis. Ia hanya menatapku tanpa dosa, padahal aku baru saja menangkap pencuri cilik menyusup rumahku.

"Hei, kamu sepertinya melupakan sesuatu," ucap Amanda sembari menyeruput mi-nya--ralat, mi yang dicurinya.

Aku memiringkan kepala, lalu langsung mengarahkan telunjuk padanya dengan kesal. "Melupakan apa, hah? Dasar pencuri!"

Wajahnya tak terpengaruh oleh gertakanku. Malah, ia balas mengarahkan telunjuknya ke bagian bawah tubuhku. Mataku mengikuti arah yang ditunjuknya.

Oh, sial. Ternyata tubuhku yang suci ini hanya tertutup selembar handuk.

Amanda tergelak sangat. Dan, tersedak kuah mi.

¤¤¤

"Kamu sepertinya tidak terlalu terkejut jika diriku bisa muncul dari dalam buku itu ya," celetuk Amanda.

Kami sedang dalam perjalanan menuju sekolah. Berjalan kaki, berdua. Jarak sekolah dengan rumahku cukup jauh, jadi aku terpaksa selalu berangkat pagi-pagi buta, apalagi ban sepedaku sedang bocor, tidak bisa dipakai.

Dan, Amanda datang saat ban sepedaku bocor. Kebetulan yang epik sekali ya. Karena ... ya, kau tahulah, hal yang super-memalukan akan terjadi jika saat itu tidak ada batu kecil sialan itu.

Asal kau tau saja, berboncengan dengan perempuan jauh lebih memalukan daripada berjalan berdua bersamanya. Yah, walaupun dirinya saat ini tidak bisa dilihat orang lain, tetapi itu tidak lebih baik--akan kuceritakan bagian ini nanti. Aku tetap saja malu, dan Amanda--sebagai gadis aneh yang menyebalkan--bakal mengolok-olokku jika hal itu betulan terjadi. Aku yakin akan hal itu. Aku seratus persen yakin walaupun baru beberapa jam mengenalnya.

Apalagi setelah kejadian tadi pagi.

Sumpah, aku akan selalu ingat untuk memakai bajuku di dalam kamar mandi lain kali.

Aku mendongak. Kulihat langit penuh kapas-kapas awan putih. Hanya sebagian kecil semburat cahaya matahari yang bisa lewat, membuat hawa makin sejuk. Hari ini, dirinya memulai dirinya dengan suasana yang tidak buruk-buruk amat--kulupakan sejenak kejadian tadi pagi.

Cuaca berawan. Aku suka itu. Asalkan bukan awan gelap. Itu bisa-bisa menjadi menyebalkan seketika jika tiba-tiba hujan turun, dan bakal membuatku tiba di sekolah dalam kondisi basah kuyup. Atau, aku tidak akan sampai di rumah, melainkanakan di rumah lagi, alias aku membolos. Dan, jika dipikir-pikir, aku bakal cenderung memilih opsi terakhir.

Tidak mungkin, kan, dirimu bakal pergi ke sekolah dengan seluruh pakaian yang menempel di tubuhmu semi transparan serta penuh dengan air hujan? Kau ini terlalu sinting atau rajin sih? Mungkin kedua kata itu memang tidak jauh berbeda.

Kami berjalan di trotoar. Di samping kiri kami, lalu lintas berlalu lalang seperti pagi-pagi biasanya. Namun, saat ini masih terlalu pagi sih untuk anak sekolahan berangkat, jalan pun masih relatif sepi. Dan, memang aku lebih sering dan lebih suka tiba di sekolah saat masih kosong, entah beberapa hari lalu, yaitu saat aku memulai di sekolah baru, atau dulu, masa-masa sekolahku yang lama.

Hari-Hari Terakhir AmandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang