BAB 3

163 13 18
                                    

"Jek !" Seruku gembira ketika aku melihatnya berdiri di depan pintu pagar. Aku berlari ke arahnya, karena aku ingin segera menjangkaunya. Jek tersenyum, lalu dia merentangkan tangannya bersiap menangkapku. Mungkin dia sudah hafal dengan kelakuanku, apabila aku gembira atau terlalu gelisah aku sering hilang keseimbangan. Aku bisa saja jatuh atau menabrak apapun yang ada di depanku.

Jek berteriak,"Hati-hati Mae !"

Gubrak! dan, tiba-tiba penyangga pohon anggur yang ada di halaman depan kutabrak. Tentu saja kakiku sakit. Sakit itulah yang membuat aku sadar bahwa aku harus memperbaiki sikap. Aku adalah istri Dul, aku tidak boleh bersikap sembarangan lagi. Aku harus menghargai suamiku. Melihatku jatuh, Jek bergegas menghampiriku.

"Nyonya Abdul Hamid, ternyata masih sama saja dengan Maejeli si kelinci kecil yang suka berlarian dan melompat kian- kemari,"kata Jek lembut. Dia membantuku berdiri, namun aku menolaknya.

"Aku baik-baik saja,"kataku.

Jek tak menghiraukan penolakanku, dia langsung menggendong aku karena dia tahu bahwa aku tak mampu berjalan. Pergelangan kakiku nyeri luar biasa.

"Kau ini !"Katanya cemas sekaligus gemas kepadaku.

Jek merebahkan aku di sofa ruang tamu dengan santun sehingga aku mempercayainya. Jek menggulung celana panjangku pelan-pelan, namun reaksi tubuhku sungguh keterlaluan. Secara refleks, aku menendang Jek hingga dia terjengkang. Jek menyeringai memamerkan susunan giginya yang sedikit gingsul namun nampak bersih sekali.

"Belum berubah juga, padahal sudah jadi istri orang. Kamu masih perawan ya ." Kata Jek dengan senyum yang terkesan meremehkan. Plak ! Kini giliran telapak tanganku yang kehilangan kendali.

"Makin jalang Maejeli ini !" sergah Jek sambil menangkap tanganku yang sudah siap bergerak menabok rahang Jek untuk kedua kalinya.

"Sudah. Diam. Marah-marah mulu. "

"Tak punya sopan, omongan kamu."

"Biarin !"

"Lepaskan tanganku Jek, sakit !"

"Biarin, kalau tidak begini wajahku akan jadi korban tabokan kamu, Maejeli."

"Jangan panggil aku Maejeli, aku tak suka. "

"Ok  Mae. Awas tanganmu, kalau nabok lagi, aku borgol kamu. "

Jek  mulai memeriksa kakiku. Mula-mula dia menekan-nekan pergelangan kakiku pelan-pelan, kemudian dia memutar-mutarnya. Aku mengaduh karena kakiku memang sakit. Rasanya ngilu dan berdenyut-denyut. Jek terkejut, dia memandangku sesaat kemudian sibuk kembali dengan pergelangan kakiku. Aku mengeliat ketika titik sakitku dipijat Jek. Ada seulas senyum gemas menghias wajah Jek. Kupalingkan wajahku darinya, aku malu sekali. Kutarik kakiku dengan keras supaya bebas dari pegangan Jek. kemudian aku memperbaiki posisi tubuhku, agar lebih sopan di depan Jek. Pelan-pelan aku menjauhinya.

"Aku baik-baik saja Jek,"kataku meyakinkannya bahwa cedera kakiku tak berbahaya.

"Kenapa kemari."

"Kamu yang menelepon."

"Berbahaya."

"Biarin. Jek tidak takut bahaya, apalagi jika itu menyangkut Maejeli."

"Panggil aku Mae."

"Argh!"

"Sakit ?"

"Iya."

"Kamu memang bandel, sini, diam saja ya !"kata Jek sambil memegang pergelangan kakiku. Lagaknya mirip seorang dukun pijat. Tanpa persetujuanku dia memijit pergelangan kakiku lagi, kemudian dia menggosok-gosok luka memar di sekitarnya dengan hati-hati.

MAE (Tamat)  Terbit-nominator lombaromance benitoWhere stories live. Discover now