6 - ARAKIN - Hidup dan Mati

53 13 15
                                    


"Lakukan," kata pemuda bermata hijau itu.

Prajurit yang berdiri di sebelah kananku mendorong tuas papan eksekusi ke bawah. Jantungku berdetak sangat keras hingga rasanya dadaku mau robek.

Detik ini, aku tidak lagi merasakan sakit memar yang berdenyut sejak prajurit menggeretku ke tiang gantungan. Rasa lapar seperti perut ditusuk-tusuk yang kurasakan karena belum makan dua hari juga tiba-tiba lenyap.

Seperti ada suar yang dinyalakan dalam diriku. Bahkan darahku terasa seperti membakar setiap otot dan sendi tubuh. Aku adalah api yang bergejolak di hadapan kematian di bawah langit mendung.

Aku melompat.

"KLATAKK!" Papan kayu jatuh di bawah kakiku, mengayun pada engsel besi yang berderit. Kedua tanganku yang terikat terjulur ke atas, berhasil menangkap tali di atas leherku sebelum kaki kehilangan pijakan. Badanku terayun berputar pada seutas tali yang menggantung sepuluh meter di atas tanah.

Telapak tanganku yang menggenggam tali seperti terbakar. Tali selebar ukuran tongkat terbuat dari serabut yang dipilin terlalu halus, sampai aku harus menekan kuat jari-jariku agar tidak tergelincir. Hanya telapak tanganku yang memerah, sementara warna pucat menyelimuti kulitku dari atas ke bawah.

Mulutku merapat dengan gigi yang menggertak keras. Mataku meremas dalam-dalam, seperti orang mengejan. Lenganku kebas dengan setiap helai otot pundak yang menjerit-jerit.

Aku tidak memedulikan suara penonton yang kian meninggi dan berisik di bawah sana, aku hanya berusaha bertahan di situasiku ini.

"Arghhh..." aku menggerang ketika memaksa mendorong seluruh energi yang tersisa ke kedua tangan untuk membawa tubuhku naik.

Aku tidak menyangka akan sesulit ini, padahal biasanya dengan mudah aku bisa bergelantungan dengan kedua tangan ketika bermain memanjat pohon atau atap. Biasanya dalam sekali ayunan lengan aku bisa mengangkat tubuhku seperti kucing yang lincah meloncat. Rasa percaya diriku untuk melompat dan memanjat tali gantungan hingga ke tiang di atas kepalaku, bukan tidak berdasar. Aku berencana memanjat naik ke batang tiang gantungan itu, melepas tali di leherku, lalu menyeberang ke atap bangunan penginapan dan melarikan diri.

Hanya saja, aku yang belum makan sejak dua hari yang lalu membuat tubuh ini kisut seperti siput yang dijemur di terik matahari kemarau yang kering. Otot-otot yang semula bertenaga jadi kuyu dan seakan mau robek ketika menegang sedikit. Satu tarikan napas rasanya begitu menyiksa.

Dari ekor mataku aku menyadari dua prajurit yang berdiri di atas menara menarik pedang mereka, mengacungkannya kepadaku. Mulutnya bergerak-gerak, tapi apa yang ia ucapkan terkaburkan oleh kericuhan penonton di bawah sana. Dari ekspresi mata yang menajam dengan tidak senang, aku menduga prajurit itu mengancamku untuk melepaskan pegangan tali.

Prajurit di sebelah kiri yang memasang kalung gantungan di leherku, dia yang pertama maju. Pria berbadan dempal itu mengayunkan pedang ke arah dadaku, dengan gerakan lurus membentuk serangan menusuk.

Tanganku mencengkeram erat tali, kemudian menegangkan otot perut dan mengangkat kakiku. Tubuhku berputar, terayun ke samping berkelit menghindari serangan. Dengan momentum yang sama, ketika badanku terayun ke arah prajurit itu, kakiku menjejak ke dadanya dengan cepat dan kuat, mendorong pria itu terjengkal ke belakang lalu berguling hingga jatuh dari menara.

Prajurit satunya menerjangku dengan satu tebasan cepat. Aku hanya sempat menghindar sedikit, tetapi ujung pedang itu menyayat pinggangku. Aku mengernyit oleh rasa perih yang menyambar seperti kilat, diiringi dengan sensasi hangat dari darah yang merembesi kain pakaian. Untungnya luka itu tidak terlalu besar, dan tidak di bagian perut. Kalau itu terjadi, mungkin aku akan mati lebih cepat.

Perburuan RomanWhere stories live. Discover now